Oleh: Ernawati
Ibu-ibu Kendeng itulah Kartini yang sesungguhnya. Jika Kartini masih hidup, bisa jadi perjuangan seperti itulah yang akan dilakukan oleh Kartini. Salah satu pernyataan yang keluar dalam sebuah diskusi mengenai Sosok Kartini. RA Kartini, satu abad berlalu dan perjuangannya masih tetap dikenang dan dirayakan. Tapi dihubungkan dengan perjuangan Ibu-ibu Kendeng yang tak kenal menyerah, benarkah Kartini juga akan melakukan cara yang sama dalam berjuang? Bukankah gambaran Kartini selama ini adalah sosok perempuan Jawa dengan kebaya dan sanggul, putri ningrat yang ayu, santun , terpelajar dan tunduk pada aturan? Yang menikmati kenyamanan sebagai putri priyayi dan menerima untuk dinikahkan pada usia muda? Atau mungkin karena sama-sama berasal dari Rembang dan memakai kebaya dan jarik sehingga Ibu-ibu Kendeng digambarkan sebagai Kartini jaman ini?
Tentu saja pernyataan itu tidak asal membuat kesimpulan. Untuk memahaminya kita juga harus benar-benar memahami perjuangan Kartini, membaca ulang surat-suratnya dan mungkin juga ulasan yang dibuat para penulis mengenai Kartini. Mengapa Kartini menjadi satu dari sekian pahlawan di Indonesia yang terus dikenang bahkan hari lahirnya dirayakan di kampung dan di sekolah-sekolah. Apa kelebihan Kartini dibanding para pahlawan lainnya, terutama pahlawan perempuan sesudah Kartini.Tidak kurang pahlawan perempuan yang lebih heroik daripada Kartini. Tapi tidak ada penetapan hari nasional untuk pahlawan lainnya
Kartini, pada usia 12 tahun sudah cukup mengenal bahasa Belanda. Untuk ukuran jaman ini, setara dengan murid kelas 6 sekolah dasar. Pada usia itu pula Kartini mulai dipingit untuk disiapkan menjadi wanita yang siap untuk menikah. Sesuai tradisi, di masa itu abad 18, usia pernikahan minimal 16 tahun sudah dianggap dewasa.
Bandingkan dengan saat ini, di abad 20 yang masih memegang Undang-undang perkawinan tahun 1974 dengan batas usia perkawinan yang sama, 2 abad yang lalu dan masih tetap diberlakukan. Walaupun pada akhirnya Kartini baru menikah pada usia 24 tahun berkat ayahnya yang berpikiran maju dan awalnya mengijinkan Kartini untuk melanjutkan belajar menjadi guru di Betawi. Dalam masa pingitannya Kartini tidak berdiam diri. Justru Kartini semakin menguasai bahasa Belanda dengan terus membaca berbagai buku dan terbitan serta memulai koresponden dengan teman-temannya di Belanda. Sebelum usia 20 tahun, buku-buku yang dibaca Kartini adalah bacaan yang memberi penyadaran akan rasa kebangsaan dan kemajuan bagi bangsanya.
Sosok Kartini tidak serta merta mencuat. Tujuh tahun setelah kematiannya, barulah surat-suratnya diterbitkan dan setahun sesudahnya yaitu pada tahun 1912 didirikan sekolah Kartini untuk mengenang perjuangannya. 60 puluh tahun sesudahnya, Presiden Soekarno menerbitkan keppres yang menetapkan Kartini sebagai pahlawan kemerdekaan nasional dan hari lahir Kartini sebagai hari besar nasional. Â Terlepas dari nilai perjuangan Kartini, banyak kalangan yang membaca tindakan politik Soekarno sebagai langkah untuk mengambil hati gerakan perempuan yang saat itu memprotes poligami yang dilakukan oleh Presiden Soekarno. Dan kini di abad 20, Hari Kartini masih dirayakan dengan berbagai kesalahkaprahan tanpa mengenal dan memahami nilai perjuangan Kartini yang sesungguhnya.
Pada era Orde Baru, setelah pemberangusan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), hegemoni negara atas perempuan hadir dalam bentuk pandangan mengenai perempuan sebagai istri dan ibu yang ditularkan melalui organisasi resmi Dharma Wanita dan PKK. Peringatan hari Kartini menjadi sosok yang memperkuat hegemoni negara mengenai perempuan yang santun dan berbudi luhur. Sehingga perayaan yang dilakukan tak lebih dari seremonial kebaya dan lomba busana. Salon dan tempat penyewaan menjadi laris bahkan anak-anak perempuan (terpaksa) rela untuk antri dari pagi buta untuk merias wajah dan menata rambutnya di salon.
Ya, terlepas dari hakekat perjuangan Kartini yang sesungguhnya, hegemoni politik hadir dalam peringatan hari besar nasional Kartini. Dan kini Hari Kartini menjadi komoditas yang manis untuk kebutuhan pasar. Walaupun dikemas dalam upaya pelestarian tradisi budaya dan pendidikan namun tetap saja Kartini hadir sebagai komoditas di berbagai tempat. Memang kemudian peringatan itu juga untuk merayakan kemajuan kaum perempuan di bidang ekonomi, politik dan ilmu pengetahuan. Perempuan semakin maju, cerdas dan menempati berbagai profesi dan posisi jabatan. Orde baru terkenal dengan istilah kemajuan di berbagai bidang. Namun tentu saja asal masih dalam lajur budaya patriarkhi. Sesuai dengan kodratnya sebagai istri dan ibu. Hegemoni ini dengan hebat bertahan hingga 2 (dua) abad lebih.
Kini para Ibu Kendeng menghadirkan kebaruan dalam mengenang Kartini. Para ibu yang sederhana dalam balutan jarik dan kebaya, bukan untuk memperingati hari besar Kartini melainkan kenyataan perempuan desa yang tampil apa adanya dan kejujuran. Kegigihan dan tekad penuh keberanian, semata demi kepentingan perut, bukan popularitas, status sosial apalgi kekayaan. Sederhana saja, kebutuhan ekonomi yang mendesak para ibu ini dengan gigih berjuang mempertahankan pegunungan Kendeng. Kegigihan para Ibu Kendeng inilah yang banyak menimbulkan rasa haru dan bangga. Sama seperti Kartini yang dengan gigih berjuang untuk kemajuan kaum perempuan dan kemerdekaan bangsanya.
Peringatan hari besar Kartini kemudian menjadi sarat dengan kepentingan ekonomi dan politik. Hal ini jelas mengecilkan arti perjuangan Kartini. Semangat Kartini seharusnya hadir dalam bentuk semangat perjuangan untuk kemajuan kaum perempuan dan kesejahteraan bangsa. Teladan yang dibeikan oleh Kartini tersirat pada kegigihannya untuk belajar dan berjuang. Pada usia yang sama, setara dengan SD, SMP dan SMU, Kartini banyak membaca koran, majalah dan buku yang berisi tentang kondisi bangsanya dan perspektif untuk memajukan kaum perempuan dan bangsanya. Selain membaca, Kartini juga menulis dan melakukan tindakan nyata sesuai prinsip yang dianutnya
Diantara sekian pahlawan Indonesia, tidak banyak yang meninggalkan jejak berupa tulisan. Hal ini karena kondisi tiap pejuang berbeda. Kartini cukup beruntung dengan fasilitas yang dimilikinya dan di usia yang semuda itu dengan cerdas memanfaatkan fasilitas dan situasi. Dibandingkan dengan masa kini, abad 20, tentu Kartini jauh tertinggal dalam hal fasilitas namun berapa banyak dari kita yang dengan cerdas mampu memiliki tekad dan keberanian seperti Kartini, seerta kecerdasan untuk memanfaatkan fasilitas dan situasi untuk berjuang bagi kemajuan kaum perempuan dan bangsanya. Bukan semata menggunakan fasilitas dan kemajuan tehnologi untuk kepentingan pribadi, dan bukan pada hal-hal yang tidak esensial seperti riasan wajah, model rambut, trend busana serta bentuk tubuh.
Bukan hanya ibu-ibu Kendeng, sosok Kartini juga hadir dalam perjuangan para buruh perempuan dalam negri dan buruh migran, buruh tani dan buruh rumahan. Kemajuan perempuan yang didorong demi kepentingan kapitalis telah menundukkan perempuan dalam dimensi baru penindasan. Kesadaran budaya palsu yang dihembuskan kapitalis telah begitu menghegemoni hingga pasar tidak sadar dan berlomba-lomba mengikuti kemauan kapitalis.
Untuk mengikuti teladan Kartini, kaum muda perempuan seharusnya bergerak dalam koridar perjuangan untuk meningkatkan kemajuan seluruh perempuan dari semua golongan dan lapisan masyarakat. Penghargaan atas Kartini dapat dimulai dengan berhenti menjadikan Kartini sebagai komoditas. Tidak memperingati hari besar Kartini secara seremonial belaka namun tindakan nyata. Penting bagi kaum perempuan untuk terus bergerak mencerdaskan diri, bukan demi kepentingan pribadi melainkan bagi seluruh kaum perempuan. Penting bagi kaum perempuan, tua dan muda untuk terus membaca, memahami dan menganalisa kondisi kaum perempuan dan bangsanya. Menulis juga menjadi salah satu hal yang penting untuk dilakukan. Bukankah Kartini dapat dikenang dan diketahui perjuangannya berkat kegemarannya menulis
Untuk memperjuangkan seluruh kaum perempuan dan rakyat pada umumnya, kaum perempuan juga harus belajar dan bergerak bersama dalam sebuah komunitas atau organisasi. Dalam sebuah organisasi, kita dapat saling berdialektika dan memperjuangkan prinsip yang sama. Perjuangan tidak dapat dilakukan sendirian karena perjuangan secara sendiri hanya akan menumbuhkan keegoisan dan menampilkan kepentingan pribadi. Masih banyak persoalan ketidakadilan di masyarakat yang harus diperjuangkan dan kaum perempuan dapat menjadi instrumen penting yang menegakkan prinsip-prinsip perjuangan.
Kaum perempuan Indonesia memiliki sejarah gerakan yang panjang. Dimulai dari Kartini, Dewi Sartika, Rohana yang berjuang di bidang pendidikan hingga Cut Nyak Dhien, Martina Tiahahu dan banyak lagi yang berjuang mengangkat senjata untuk melawan penjajahan Belanda. Di masa kemerdekaan pun banyak organisasi perempuan yang berjuang mengangkat isu melawan penindasan atas kaum perempuan. Penghargaan atas Kartini adalah dengan terus berjuang bagi kemajuan kaum perempuan dari segala lapisan. Hingga saat ini kaum perempuan masih mengalami masalah kekerasan, budaya patriarkhi dan posisi tawar di ranah publik termasuk dunia politik.
Keberhasilan perjuangan bukan diukur dengan banyaknya kaum perempuan yang memiliki karir di luar rumah, baik sebagai pegawai kantoran maupun pengusaha. Keberhasilan perjuangan perempuan ketika mampu mengikis budaya patriarkhy, kesetaraan gender dan lingkungan yang lebih ramah perempuan, terbebas dari teror kekerasan. Baik kaum perempuan yang bekerja di sektor domestik maupun publik. Membaca, menulis dan bergerak. Majulah Kaum Perempuan Indonesia. Selamat Hari Kartini
Â
*Penulis adalah ibu rumah tangga, seorang aktivis gerakan pembebasan perempuan, tinggal di Yogyakarta
Â