Sabtu, 5 Juli 2025

Kebangkitan Nasional 2022: Menolak Penindasan Kepada Masyarakat Adat

Oleh: Okki Satria Djati *

MOMENTUM Kebangkitan Nasional 2022 seharusnya menjadi semangat kesadaran kebangsaan dan kebudayaan yang selama ini menjadi pondasi bangsa Indonesia.

Ibu–ibu masyarakat setempat dalam aksi mempertahankan hak adat Mayasih, Kelurahan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. (Ist)

Namun, masyarakat adat karuhun urang (AKUR) Sunda Wiwitan yang selama ini turut menjaga keindonesiaan masih merasakan diskriminasi dan ketidak adilan. Perlakuan diskriminasi itu tampak dalam penetapan sita eksekusi kasus Tanah Adat Mayasih pada Rabu (18/5/2022).

Rencana eksekusi ini berdasarkan surat Pengadilan Negeri Kuningan
W.11.U16/825/HK.02/4/2022 perihal pelaksanaan pencocokan (Constatering) dan sita Eksekusi nomor 1/Pdt.Eks. /2022/ PN Kng Jo. Nomor 7/Pdt.G/2009/Pn.Kng.

Ibu- ibu masyarakat setempat dalam aksi mempertahankan hak adat Mayasih, Kelurahan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. (Ist)

Menanggapi hal itu, Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan, Kelompok Lintas Iman Cirebon, GMNI, UNISBA, Sekretariat Nasional Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) serta beberapa tokoh keagamaan menggelar Gelar Budaya Kebangkitan Nasional di sekitar lahan adat
Mayasih, Kelurahan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Rabu.

Selain menyanyikan lagu nasional dan adat, gelaran ini juga menampilkan atraksi gamelan Mogang angklung buncis, angklung takol dan doa lintas iman. Gelar Budaya ini merupakan bentuk perlawanan kultural berbasis konstitusi yang ditampilkan masyarakat. Melawan tanpa kekerasan dan memvibrasikan gelombang harmoni bagi semesta.

Dukungan terhadap Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan juga datang dari Resi Tunggul Pamenang, Ki Damar Shasangka dan ratusan cantrik di sekitar 30 daerah, Ida Shri Begawan Penembahan Jawi Ubud, tim Sanggar JampiSae Kediri, bajrayana kasogatan dan lainnya.

Ratusan cantrik juga menggelar ritual dan doa untuk masyarakat AKUR Sunda Wiwitan.

Gelar budaya ini tak hanya menjadi ekpresi penolakan terhadap rencana sita eksekusi lahan adat. Namun juga menjadikan momentum Kebangkitan Nasional sudah saatnya dimaknai kembali dengan memberikan ruang bagi hukum adat dalam setiap proses hukum yang diakui UUD 1945. Selama ini, kami menilai, perspektif negara mengabaikan hukum adat dalam penyelesaian masalah menjadi pertimbangan dalam menentukan keadilan dalam hukum nasional.

Tanah Adat seharusnya milik komunal. Dan itu dibuktikan dengan keberadaan beberapa dokumen penting yang di keluarkan oleh Sesepuh terdahulu seperti : Pangeran Madrais
Sadewa Alibasa dan Pangeran Tedjabuwana dengan Memberikan Hak Pengelolaan Aset
tersebut kepada tokoh tokoh masyarakat, diantaranya Surat Pernyataan tahun yang dikeluarkan alm Pangeran Tedjabuwana pada tahun 1964 dan tahun 1975.

Pernyataan tersebut memberikan mandat pengelolaan aset-aset leluhur kepada tokoh tokoh
masyarakat. Tokoh itu mendirikan Yayasan dan menyerahkan pengelolaan aset bersama tersebut kepada Yayasan Pendidikan Tri Mulya. Untuk merawat dan menjaga peninggalan
aset komunal itu maka yayasan mengajukan perlindungan kepada negara terhadap kawasan Gedung Paseban Tri Panca Tunggal sebagai Cagar Budaya Nasional.

Namun, pada tanggal 22 April 2022 Pengadilan Negeri Kuningan mengeluarkan surat perintah pelaksanaan pencocokan (Constatering) dan sita eksekusi pada tanggal 18 Mei 2022. Ini yang sangat merugikan masyarakat Adat Karuhun Sunda Wiwitan dan menimbang bahwa Tanah Adat Mayasih diduga telah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang bekerja sama dengan pemohon eksekusi yang membelokkan sejarah dan secara fakta ingin merampas tanah-tanah adat, dan membunuh hak-hak Komunal/kebersamaan ruang hidup dan kebudayaan masyarakat adat.

Penolakan sita eksekusi lahan ini tidak dimaksudkan sebagai bentuk ketidataatan pada hukum yang berlaku, namun kami memandang dalam proses pengadilan yang berjalan banyak
kejanggalan sehingga membuat keputusan yang tidak berkeadilan bagi AKUR Sunda Wiwitan, dan mencederai nilai-nilai kebangsaan.

Sekali lagi Kami menegaskan Pengadilan telah keliru memahami objectum litis-nya. Karena memahami objectum litis-nya sebagai sengketa waris, padahal jelas bahwa objectum litis-nya
bukanlah sengketa waris, melainkan sengketa atas Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang terjadi pada masyarakat hukum adat.

Kami menyerukan agar negara konsisten memberi
ruang bagi masyarakat adat untuk menyelesaikan permasalahannya melalui ketentuan hukum adat, termasuk tetapi tidak terbatas pada penjatuhan sanksi adat kepada pelaku
pelanggaran hukum adat.yang dijamin juga dalam konstitusi. Sebagai elemen pembentuk bangsa yang taat pada konsensus kebangsaan (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Konstitusi, dan NKRI) kami telah menempuh berbagai cara meneguhkan eksistensi masyarakat adat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masyarakat AKUR “Menolak secara tegas” dan tidak memberikan ruang dalam eksekusi lahan
tanah adat Mayasih.

Cigugur, 18 Mei 2022

* Penulis, Okki Satria Djati, aktivis anti Orde Baru 1980’an

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru