JAKARTA- Berbeda dengan Pemilu Langsung pada tahun 2004 dan tahun 2009, kali ini keterlibatan Amerika Serikat secara terbuka dan terang-terangan di lakukan dalam Pemilu 2014. Pemilihan figur populis tidak lepas dari kepentingan Amerika yang saat ini sedang berhadapan dengan kebangkitan kesadaran nasionalis progresif-revolusioner di Indonesia, sebagai akibat kebijakan-kebijakan neoliberal yang sudah diterapkan sejak pemerintahan rejim-rejim sebelumnya. Hal ini disampaikan oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Poppy Dharsono dalam Forum Publik yang bertemakan ‘Kejahatan Pilpres Tuai Malapetaka’ di Jakarta Senin (18/8).
Ia menggambarkan agenda kedaulatan bangsa dalam setiap aksi-aksi yang menuntut nasionalisasi semua perusahaan dan perkebunan dengan seruan revolusi mengingatkan Amerika pada masa rakyat Indonesia bersatu dipimpin Presiden Soekarno melawan Amerika dan Inggris di tahun 1950-1960-an.
“Bagi Amerika, kebangkitan kesadaran nasionalisme yang luas dan meninggi perlu segera diwadahi pada satu figur pimpinan yang dapat dikendalikan agar tidak menjadi lebih jauh dan membesar kemudian memukul kepentingan Amerika,” jelasnya.
Oleh karena itu menurut Poppy Dharsono, Amerika memilih seorang figur yang populis tapi bisa menjaga dan mengakomodir kepentingan Amerika.
“Tidak sulit bagi negara sebesar Amerika untuk mempopulerkan figur itu. Seperti menciptakan tokoh kartun Disneyland. Yang penting ada branding dan menggunakan media massa untuk mempopulerkannya,” ujarnya.
Defisit Kemuliaan
Sementara itu, Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat, Ahmad Mubarok dalam kesempatan itu mengatakan bahwa, pemilihan presiden seyogyanya didasari dengan niat tulus dan dan tujuan mulia untuk membangun bangsa dan mensejahterahkan rakyat Indonesia. Namun ternyata, yang terjadi menurutnya adalah kebalikannya.
“Bangsa ini telah defisi niat tulus dan tujuan mulia itu. Sehingga lima tahun ke depan bukan lagi membangun bangsa dan mensejahterahkan rakyat yang dihasilkan, tetapi kejahatan demi kejahatan,” ujarnya dalam kesempatan itu.
Mantan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hatta Taliwang mengatakan bahwa sistim yang dijalankan saat ini melepaskan tanggung jawab pemerintahan terhadap hasil kerja selama 5 tahun.
“Ini sistim apa? Pemerintahan berakhir tapi gak ada laporan kerjanya. Menteri-menteri tidak memberikan laporannya pada rakyat. Presiden hanya menyampaikan keberhasilan-keberhasilan yang tidak bisa dievaluasi,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Pemilu presiden yang baru berlangsung menurutnya berada dalam satu sistim yang membuka peluang semua pihak untuk berbuat curang.
“Kalau dalam permainan catur, ada istilah illegal move, maka permainan perlu diulang. Atau remis, sehingga tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Sistim pemilu presiden kali ini memaksakan harus ada yang menang dan kalah. Padahal bisa mengakibatkan bencana pada bangsa ini. Ini sudah merupakan Agenda Setting Imperialisme Amerika,” ujarnya. (Web Warouw)