Selasa, 7 Oktober 2025

Kebijakan Lobster: Percepat Program Budidaya

Dr. Kurtubi dan istri dipenangkaran lobster di Nusa Tenggara Barat. (Ist)

Masyarakat menyoroti ekspor benur yang saat ini telah dibuka oleh Kementeri KKP yang sempat ditutup oleh Menteri Susi Pudjiastuti sebelumnya. Perdebatan yang terjadi seharusnya bisa menghasilkan kebijakan yang tepat. Dr. Kurtubi, mantan DPR-RI menyorotinya untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)

 

Oleh: Kurtubi

KEKAYAAN laut kita sangat besar dan beragam. Ada ribuan jenis ikan, cumi, kerang, kepiting dan  udang. Belakangan kebijakan terkait lobster kembali memperoleh perhatian masyarakat dengan dibukanya kran export benur/bibit lobster. Selain itu pemerintah akan mendorong pembudidayaan benur lobster.

Secara kongkrit Pemerintah sudah menunjuk para eksportir benur lobster. Para eksportir ini akan membeli benur lobster dari nelayan dengan harga diatas Rp5.000/ekor. Publik mengetahui bahwa harga benur di Vietnam, negara yang selama  ini memiliki industri lobster yang terintegrasi dari hulu dampai hilir.

Sektor hulu (upstream) industri lobster Vietnam merupakan usaha mencari dan menangkap bibit lobster dari alam di perairan Vietnam dan membeli bibit lobster dari Indonesia dengan harga di atas Rp50.000/ekor.

Sektor tengah (midstream) industri lobster Vietnam berupa usaha budi daya benur yang ditopang olah usaha/industri pakan dan sistem penanganan penyakit lobster. Sementara sektor hilir (downstream) berupa marketing lobster untuk perhotelan, restoran maupun untuk tujuan ekspor berupa lobster hidup ke Jepang, China dan lain-lain.

Tentu harga 1 ekor lobster segar sekian kali lipat harga bibitnya. Boleh jadi sebagian besar dari industri lobster di Vietnam sangat tergantung dari supply bibit/benur lobster dari Indonesia.

Hal ini terjadi karena selama ini Kebijakan Perlobsteran di Indonesia tidak pernah secara serius diarahkan agar sektor midstreamnya (usaha pembudidayaan lobster)  dibangun dan dikembangkan.

Padahal justru sektor midstreamnya ini tempat terjadinya proses penciptaan nilai tambah (value added) lobster  yang butuh banyak lapangan kerja. Sehingga banyak pihak kurang setuju dengan kebijakan untuk mendahulukan membuka kran expor bibit lobster.  Karena selain kurang berpihak kepada nelayan, juga justru industri lobster dan industri pendukungnya terjadi diluar negeri. 

Kalau tujuan kebijakan pemerintah dibidang perlobsteran dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan,  maka saya sebagai Anggota DPR 2014 – 2019 yang kebetulan banyak berhubungan dengan nelayan di Lombok, mengusulkan:

1). Agar rencana membuka export benur dibatalkan atau ditunda 

2). Pemerintah sebaiknya konsentrasi untuk program budidaya bibit lobster di seluruh Indonesia.

3). Program budidaya lobster supaya dipercepat terutama di daerah-daerah dimana nelayannya selama ini  sudah melakukan budi daya mandiri secara sembunyi-sembunyi  karena dilarang oleh Pemerintah. Mereka lakukan budi daya secara sederhana dengan skala ukuran yg relatif kecil.

Pada tahun 2018 sebagai anggota Komisi VII DPRRI kami mengunjungi lokasi budi daya lobster oleh nelayan di Lombok Timur. Kolam-kolam kecil dibuat dalam bangunan sederhana di sekitar rumah nelayan dipinggir pantai.

Air lautnya disedot dengan mesin pompa dari laut. Mereka berhasil membesarkan benur tapi butuh waktu lama berbulan-bulan karena kekurangan pakan dan seringkali lobsternya diserang penyakit semacam susu bubuk warna putih yang nempel didada  lobster.

4). Semestinya nelayan-nelayan kecil yang sudah merintis melakukan budidaya lobster ini yang perlu segera dibantu. Bentuk bantuan berupa bimbingan budi daya lobster, termasuk pakan dan penanggulangan penyakit.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru