Selasa, 16 September 2025

Kekerasan Akibat Kegagalan Pendidikan

Oleh: Ernawati*

Berita mengenai perayaan hari pendidikan di berbagai daerah, susul menyusul dengan berita kekerasan. Ironisnya, bahkan juga di Yogyakarta yang terkenal sebagai kota pendidikan. Sepertinya menyedihkan atau memprihatinkan bukan lagi kata yang tepat. Kekerasan yang dilakukan oleh ormas bahkan memasuki lingkungan pendidikan, yang seharusnya memiliki otoritas. Kekerasan baik berupa intimidasi verbal maupun konkret kekerasan tidak dapat ditolerir sama sekali.

Kekerasan yang dilakukan oleh individu, entah itu berlatar belakang politis atau bukan juga banyak terjadi dan korbannya beragam, dari usia yang berbeda dan menimpa baik laki-laki mapun perempuan. Pelakunya juga bukan hanya orang dewasa melainkan remaja pun mulai banyak menjadi pelaku kekerasan. Dalam setiap razia yang digelar setelah terjadi kasus kekerasan, terdapat banyak remaja usia SMP yang ditangkap karena membawa senjata tajam.

Belum lagi berita tentang bunuh diri yang cukup tinggi angkanya. Di Yogyakarta  tepatnya Gunung kidul, tercatat sebagai yang tertinggi kasus bunuh dirinya. Yogyakarta, kota pendidikan kini menempati peringkat ke 4 propinsi yang memiliki kesenjangan ekonomi tertinggi di Indonesia. Di sisi lain, kontradiksi antara mereka yang tidak mampu menyekolahkan anak dan mereka yang gelisah dalam mencari sekolah untuk anaknya, dimana diantara mereka juga terdapat orangtua-orangtua yang sibuk meningkatkan prestasi anak.

Dunia anak kini diwarnai perangkat tehnologi yang dapat membuat kecanduan, game, sosial media dan pornografi. Kita juga dihantui oleh phobia akan LGBT, anak jalanan dan obat terlarang. Banyak yang kemudian mengkambinghitamkan kemajuan tehnologi juga kehidupan yang liberal. Seperti kasus kekerasan seksual yang kerap terjadi dimana pelakunya adalah remaja belasan tahun, dengan korban juga berusia belasan tahun, tudingan pertama adalah akibat terlalu banyak menonton di internet atau minuman keras. Lantas orang mulai sibuk mencari jalan keluar bagi kasus tersebut. Dari mulai pendidikan moral, agama hingga kembali pada pendidikan keluarga. Jadi, mana jalan yang terbaik, apa yang salah dengan masyarakat kita?

Kesetaraan

Setiap anak terlahir sempurna, dalam arti memiliki tubuh dan jiwa. Terlepas dari ketiadaan jenis kelamin, mental dan ketiadaan anggota tubuh tertentu. Pandangan ini harus menjadi dasar untuk mencintai kehidupan dan anak yang terlahir dalam sebuah kolektif keluarga. Apabila pandangan ini diadopsi oleh setiap pasangan, setiap anak akan dicintai dan diperlakukan secara utuh tanpa memandang jenis kelamin, warna kulit ketidaklengkapan fisik dan mental. Perlakuan yang seimbang baik dalam hal pola mengasuh, pola pikir maupun kedekatan emosional.

Perlakuan yang adil dan seimbang tercermin dalam pemilihan warna, mainan, aktivitas fisik, gizi bahkan kata-kata. Dengan tidak mengabaikan hak anak untuk menolak hal-hal yang tidak dia inginkan atau kemampuan fisiknya dalam melakukan aktivitas. Penting untuk menghargai setiap keinginan anak dan menghindari mengambil kesimpulan sebelum benar-benar memahami apa yang ada dalam pikiran seorang anak.

Pandangan dan sikap seorang anggota kolektif keluarga terhadap anggota lainnya akan menjadi dasar dalam memandang diri dan orang lain. Keluarga merupakan kolektif pertama anak sebelum menginjakkan kaki keluar rumah dan mengenal kolektif terdekat kedua, yaitu lingkungan tetangga. Dan seterusnya anak akan mulai mengenal kolektif-kolektif berikutnya yang bertambah besar jangkauannya.

Kolektif pertama menjadi penentu langkah-langkah selanjutnya bagi seorang anak, termasuk pembangunan sifat dan karakternya. Walaupun bukan faktor yang menentukan bagi keberhasilan anak kelak. Namun dapat menjadi pijakan awal untuk menempuh jalan menuju kehidupan dewasa. Bukan semata keberhasilan, karena keberhasilan dapat terjadi dari berbagai faktor yang dialami sepanjang kehidupan seseorang. Selain itu, ukuran dan makna keberhasilan yang sesungguhnya bagi tiap orang tentu berbeda. Ada makna keberhasilan yang menjadi ukuran standar di masyarakat. Namun sebenarnya setiap anak memiliki persepsi yang berbeda mengenai prestasi dan keberhasilan dalam tiap langkahnya. Hal ini yang sering diabaikan oleh orang dewasa dan masyarakat pada umumnya

Yang kerap terjadi adalah ukuran standar prestasi dan keberhasilan atau kesuksesan seseorang sudah ditetapkan oleh masyarakat untuk kemudian dipukul rata pada tiap orang. Tanpa pernah menilik proses yang dijalani dan ukuran yang dipakai oleh setiap orang pada dirinya sendiri. Dengan demikian seharusnya ukuran keberhasilan bagi seorang anak tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk menghakimi apakah dia termasuk anak yang berhasil atau tidak.

Disinilah peran keluarga dalam pendidikan dasar bagi seorang anak dimulai. Penting bagi setiap anak untuk mengenal dirinya sendiri, menghargai diri sendiri sebelum orang lain membuat penilaian atas dirinya. Bukan sekedar agar anak mengenali potensi dirinya tapi sungguh-sungguh menghargai apa yang ada pada dirinya. Bahkan untuk anak-anak ber-kebutuhan khusus sekalipun, penghargaan atas diri penting maknanya. Sikap dan penilaian kolektif pertama anak akan berpengaruh saat ia melangkah menuju kolektif demi kolektif berikutnya. Perasaan dan persepsi anak atas dirinya akan menjadi pedoman dalam membangun kepercayaan dirinya meraih keberhasilan di masa depan saat menapak kehidupan dunia dewasa kelak.

Peran kolektif keluarga tidak terbatas hanya pada pengenalan aspek diri anak dalam hal prestasi melainkan juga mengenai seksualitas. Setiap anak yang mendapat perlakuan yang adil dan seimbang akan mampu mengenali perbedaan seksualitas tanpa kesan mengungguli atau melemahkan. Keluarga berperan untuk menunjukkan perbedaan jenis kelamin dari ayah dan ibu atau saudara laki-laki dan perempuan serta apa arti gender dalam makna yang sederhana. Dari sini anak akan belajar untuk menghargai jenis kelamin yang berbeda namun tetap berlaku adil sehingga terbentuk pola pikir mengenai kesetaraan gender.

Pendidikan Seksual

Dari sinilah pendidikan seksual dimulai. Pengenalan akan fungsi-fungsi genital dan kesehatan reproduksi. Segalanya dilakukan seecar bertahap sejak anak masih belia. Misalanya tentang perlunya memakai celana dalam, mengapa kita harus mengganti celana setiapkali basah atau kotor, mengapa bagian tubuh tertentu tidak boleh dilihat oleh orang lain dan lain sebagainya. Tanpa kita sadari hal ini sudah masuk dalam pendidikan seksual dan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi. Hal ini penting agar kelak anak tidak terjebak dalam mitos seksual yang salah dan kekurang pengetahuan akan fungsi reproduksi tubuhnya. Kesadaran mengenai fungsi reproduksi sejak dini diharapkan dapat mengurangi kesalahan-kesalahan fatal seperti kehamilan di usia remaja dan penyikapan orang lain atas tubuhnya.

Pada anak dan remaja yang sudah tertanam pola pikir kesetaraan gender akan terbawa hingga menginjak usia dewasa. Saat itu anak juga mulai dapat mengenal kondisi psikologis seseorang yang kadang berbeda dengan jenis kelamin yang terlihat secara fisik. Atau dengan kata lain anak mulai mengenal transgender. Pandangan dan pengetahuan orangtua dalam hal ini akan sangat berpengaruh. Apabila kesetaraan gender dipahami secara benar tanpa pengaruh agama dan moral, orangtua dan anak dapat melihat pribadi setiap orang secara murni dan adil

Gambaran ideal mengenai pendidikan keluarga mungkin sulit untuk diterapkan pada anak yang lahir dan diasuh oleh orangtua tunggal. Baik itu hanya ayah saja atau ibu saja. Walaupun sejatinya hal tersebut tidak akan menjadi masalah apabila orangtua tunggal tersebut menyadari perannya dan memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan keluarga. Ketidakseimbangan dalam mengasuh dan membesarkan anak tidak menjadi halangan untuk melakukan pendekatan pada anak. Dalam hal ini, yang paling utama adalah mengatasi persoalan emosional si orangtua. Apapun penyebab hingga menjadi orangtua tunggal seharusnya tidak mempengaruhi emosional dan pola pikir anak. Tentu saja semuanya tidak terjadi seketika. Semuanya melalui proses yang terkadang butuh waktu bertahun-tahun.

Yang perlu mendapat perhatian lebih adalah anak-anak di daerah pedalaman. Selama ini pemerintah jarang memberi perhatian lebih pada kondisi mereka. Bukan sekedar pada bangunan fisik atau fasilitas belajar saja. Pendidikan mencakup kondisi sosial ekonomi keluarga. Pemahaman orangtua atas kebutuhan pendidikan anak dan perhatian orangtua pada anak.

Di daerah hingga jauh ke pedalaman, anak-anak tentu tidak membutuhkan berbagai lomba dan mengejar prestasi. Namun kesadaran akan diri, potensi dan kesehatan reproduksi tetap perlu diperkenalkan sejak usia dini dan peran kolektif keluarga dalam proses pembentukan karakter anak.

Revolusi Pendidikan

Berita kekerasan yang baru-baru ini terjadi tentu menghenyakkan banyak pihak. Baik korban maupun pelaku masih berusia belasan tahun. Apabila pendidikan keluarga yang ideal dimulai sejak anak berusia dini, lantas bagaimana dengan mereka yang sudah remaja? Tentu akan dipandang terlambat untuk memaksimalkan pendidikan keluarga. Memang dalam hitungan usia sudah terlambat namun kita tidak boleh pesimis. Masih ada banyak cara untuk memperbaiki namun tentu saja, dibutuhkan kerelaan, kemauan dan kerjasama antara anak, orangtua, masyarakat, lingkungan pendidikan dan pemerintah. Persoalan mendasar dalam bidang pendidikan dapat diatasi dengan melakukan revolusi pendidikan. Namun hal ini tentunya membutuhkan keberanian besar untuk melaksanakannya. Sebuah revolusi dalam arti yang sebenarnya, merombak tatanan pendidikan yang sudah mengakar kuat di semua kalangan. Bukan sekedar perombakan pada biaya operasional pendidikan tapi lebih pada metode.

Orangtua harus lebih banyak meluangkan waktu untuk berbicara dengan anak, mendengarkan dan melakukan kegiatan bersama anak. Hal ini dapat dimulai dengan hal-hal kecil di pagi hari, meminta pendapat dan saran anak untuk menu hari ini. Tentu bagi sebagian kalangan tindakan ini terasa aneh saat semuanya berjalan secara otomatis, Ibu menyediakan sarapan lalu sibuk dengan aktivitas lainnya. Namun apabila hal kecil seperti ini dilakukan, tanpa disadari kita belajar untuk mendengarkan keinginan anak, dalam hal yang paling remeh sekalipun. Dari mulai menu, keadaan rumah hingga beranjak ke masalah sekolah dan lingkungan. Dari situ kita dapat mengetahui keinginan, perasaan dan pendapat anak mengenai dirinya dan interaksi sosialnya

Mendengarkan tentu disertai dengan tanggapan. Mulai dari sekedar meng-iyakan, memuji serta memberi saran namun bukan solusi. Biarkan anak menemukan sendiri solusi atas setiap masalah sesuai dengan kemampuannya. Dari sini anak akan belajar untuk menemukan dan memutuskan solusi terbaik dari masalah kecil hingga masalah yang tergolong berat. Masalah dari mulai perilaku, moral, ekonomi hingga sosial. Masalah baik yang dihadapinya secara pribadi, keluarga, lingkungan tetangga, masyarakat hingga yang terbesar adalah negara

Kita mulai dari satu langkah sederhana namun apabila kita konsisten melakukannya maka dampaknya besar bagi perkembangan anak hingga dewasa nanti. Karena di jaman yang sibuk ini dengan kemajuan tehnologi, terjadi percepatan arus informasi yang tidak semuanya benar dan dapat diterima oleh anak. Orangtua berperan untuk memilah informasi secara benar dan meluruskan pada anak. Memang bahkan orangtua sendiri pun dapat salah menerima informasi. Terlebih bagi mereka yang buta tehnologi, memiliki pengetahuan terbatas dan berada di daerah pinggiran atau pedalaman. Bukan karena rendahnya pendidikan. Pendidikan yang rendah pada orangtua bukan menjadi penghalang untuk memiliki pengetahuan yang luas. Baik itu kuli bangunan, tukang becak atau pedagang sayur sekalipun. Informasi dan pengetahuan terdapat dimanapun. Namun menjadi berbeda bagi mereka yang berada di daerah pedalaman, yang harus diutamakan adalah menghapus mitos kesehatan, hak-hak dasar dan pengetahuan akan sumber daya alam di sekitarnya.

Salah satu hal yang tidak disukai anak adalah pelajaran di sekolah. Itu sebabnya banyak remaja bolos sekolah dan keluyuran, bergerombol dan akhirnya saling menularkan ide-ide yang tidak benar dan bisa menyakiti sesama. Oleh karena itu penting untuk menciptakan sistem pendidikan yang menyenangkan dan tidak membebani anak. Perombakan secara total pada sistem pendidikan yang tentu saja membutuhkan kemauan dan keluasan cara berpikir semua pihak. Dasar pemikirannya adalah pendidikan terbaik untuk anak dan orangtua. Bukan hanya menitikberatkan pada memberi dasar tuntunan pada perilaku anak, tapi juga memperbaiki pola pikir orangtua. Ketika anak di cap nakal apakah itu serta merta kesalahan mutlak anak atau karena ada kesalahan juga di pihak orangtua, masyarakat bahkan negara? Oleh karena itu kita harus menghindari stigma anak nakal dan bahkan mengucapkannya karena akan sangat berpengaruh pada anak.

Perombakan total diawali dengan sekolah tanpa kurikulum, tanpa buku dan tanpa guru. Mana mungkin, apa bisa? Gagasan ini sudah pasti akan menuai pro kontra dan tentangan keras dari semua pihak dari Sabang sampai Merauke. Tapi sesungguhnya jawabannya adalah bisa dan mungkin saja dilakukan. Ada sebuah sekolah di Yogyakarta yang telah menerapkan sistem ini dan berhasil. Untuk saat ini di sekolah tersebut baru ada Kelompok Bermain hingga SMP. Setelah berjalan selama beberapa tahun, sekolah tersebut telah menghasilkan lulusan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Petama yang ketika memasuki sekolah reguler/formal, para alumni sekolah ini tidak mengalami kesulitan dalam pelajaran dan interaksi sosial di sekolah baru bahkan beberapa diantaranya berhasil menduduki peringkat pertama di sekolah.

Pendidikan Keluarga

Dengan tetap berpegang pada konsep Pendidikan Keluarga dimana orangtua turut berperan dalam pendidikan baik di sekolah maupun di rumah, anak diajak untuk berpikir kritis dan mengemukakan pendapat. Dengan belajar tanpa kurikulum, memudahkan dan memberi keleluasaan pada anak untuk memilih yang ia suka. Dengan melakukan diskusi bersama orangtua dan pihak sekolah, anak akan menemukan dan memutuskan materi serta metode belajarnya. Tanpa harus membeli buku baru, anak dapat dengan mudah mendapatkan bahan ajar karena buku-buku paket yang sudah ada masih cukup relevan untuk dipelajari. Kemajuan tehnologi informasi juga menyediakan banyak informasi dan data yang dibutuhkan untuk melengkapi bahan ajar.

Metode belajar tanpa mendikte dan mengatur atas mata pelajaran tertentu dan buku tertentu juga akan membebaskan orangtua dari beban membeli buku paket yang bertumpuk-tumpuk dan berganti-ganti setiap tahun. Tidak semua anak gemar membaca dan tidak semua anak gemar matematika. Hal terpenting adalah mengetahui keinginan tiap anak, minat dan kemampuannya. Orangtua dan guru dapat menjadi fasilitator yang berperan dalam memfasilitasi kebutuhan anak dalam memenuhi kebutuhan dan kehausannya akan pengetahuan. Anak membutuhkan teman, bukan atasan yang mendikte tentang apa yang harus dilakukan. Tentu anak membutuhkan panutan namun harus dihindari dari menjadikan anak peniru atas panutannya. Setiap anak bisa mencari contoh dari panutannya untuk membantunya mengembangkan diri bukan untuk menjadi prototype panutannya.

Dengan mengajak bicara anak, kita bisa mengetahui keinginan dan perasaan anak, menggali ide dan memancing sifat kritisnya. Dengan demikian kita juga dapat meluruskan pandangan yang keliru atau mitos. Misalnya mengenai hubungan dengan lawan jenis, reproduksi, tehnologi hingga minuman keras dan obat-obatan terlarang. Kita tentu tidak dapat mencegah anak atas usaha pencarian jaati dirinya namun dengan metode yang tepat kita dapat menempatkan diri secara bijaksana pada tiap celah pencarian jati diri tersebut.  Dengan demikian peran orangtua dan keluarga sebagai kolektif terdekat anak tetap dapat menjadi solusi. Kuncinya adalah cinta dan kasih sayang yang aktif dan kritis. Demi kebutuhan anak dan bukan semata kebutuhan egoisme orangtua.

*Penulis adalah aktivis perempuan, ibu rumah tangga, tinggal di Yogyakarta 

 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru