Kemandirian dibidang ekonomi adalah salah satu dari pesan kuat Nawacita Pemerintahan Joko Widodo. Cita-cita ini yang menyebabkan Bung Karno harus disingkirkan dalam Kudeta Militer 1965 yang diback up oleh Amerika Serikat dan berdirinya Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Sejak itulah Defisit Transaksi Berjalan terus diwarisi bangsa Indonesia sampai hari ini dan menjadi beban Pemerintahan Jokowi. Dibawah ini tulisan pengamat dan pelaku ekonomi, Winoto kepada Bergelora.com (Redaksi)
Oleh: Winoto
SIARAN Pers Bank Indonesia (BI) 8 Februari 2019 lalu menyampaikan, setelah mengalami Defisit Neraca Pembayaran pada triwulan ke III tahun 2018, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan ke IV mengalami Surplus sebesar 5,4 milyar US$. Namun jangan keburu seneng dulu, ini tidak berarti Ekonomi Indonesia menjadi baik dan punya daya tahan kuat!
Pada triwulan ke IV tahun 2018, Surplus Transaksi Modal dan Finansial memang meningkat signifikan, yaitu tercatat surplus sebesar 15,7 milyar US$, dibanding triwulan ke III yang surplus 3,9 milyar $.
Namun peningkatan surplus tersebut adalah ditopang oleh Investasi Portofolio dan Penerbitan Obligasi Global oleh Pemerintah dan Korporasi.
Artinya adalah, Surplus Transaksi Modal dan Finansial tersebut merupakan dana (devisa) Investasi Portofolio yang masuk sebagai uang panas spekulan yang bermain di bursa saham,— yang setiap saat bisa kabur keluar.
Surplus Transaksi Modal dan Finansial tersebut juga sebagai hasil dari Penerbitan Obligasi yang merupakan utang baru yang dilakukan oleh Pemerintah dan Korporasi.
Jadi Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan ke IV th 2018 sebesar 5,4 milyar US$ ini adalah hasil uang panas spekulan yang masuk ditambah hasil dari utang baru dari Pemerintah dan Korporasi.
Pada tahun 2018 sekalipun tercatat Surplus Transaksi Modal dan Finansial secara signifikan sebesar 25,2 milyar US$, namun Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tahun 2018 tetap mengalami defisit 7,1 milyar US$.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mengalami defisit karena disebabkan oleh defisit Transaksi Berjalan yang akut. Sudah 7 tahun ini Transaksi Berjalan Indonesia mengalami desfisit terus menerus! Pada tahun 2018 ini mencapai rekor,– defisit Transaksi Berjalan tahun 2018 jebol sebesar 31,1 milyar US$. Dari sumber lebih rinci adalah 31,4 milyar US$, yaitu,– sebesar 5,5 miyar US$ (Triwulan I); 8 milyar US$ (Triwulan II); 8,8 milyar US$ (Triwulan III) dan 9,1 milyar US$ (Triwulan IV)
Sementara angka defisit Transaksi Berjalan dari tahun ketahun sebesar,– 24,4 milyar US$ (2012), 29,1 milyar US$ (2013), 26,2 milyar US$ (2014), 17,76 milyar US$ (2015), 16,3 milyar US$ (2016), 17,3 milyar US$ (2017) dan 31,1 milyar US$ (2018)
Perlu disadari bahwa, angka Transaksi Berjalan adalah indikator yang menunjukkan Kekuatan Ekonomi yang sebenarnya (riil) dari sebuah negara. Karena komponen utama dari Transaksi Berjalan adalah potensi kemampuan menciptakan Hasil Export Versus kebutuhan Import,–ditambah perdagangan Jasa, pembayaran bunga, cicilan dan Utang, serta deviden modal asing yang direpatriasi.
Angka Transaksi Berjalan menunjukkan pula sehat tidaknya struktur ekonomi sebuah negara. Sepanjang angka Transaksi Berjalan kita masih dominan defisit, maka kita masih terlalu jauh dari “Kemandirian Ekonomi”!
Selama ini Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) ditopang oleh surplus Transaksi Modal dan Finansial,– yaitu ditopang oleh arus uang panas dari luar yang masuk ke dalam investasi portofolio dan obligasi global yang dikeluarkan pemerintah maupun korporasi,–bukan ditopang oleh HASIL EXPORT DARI EKONOMI SEKTOR RIIL!
Maka ibarat manusia, dia masih tegak berdiri karena ditopang dengan obat doping, bahkan narkoba. Inilah problem ekonomi Indonesia hari ini yang merupakan warisan Soeharto sejak Konferensi Jeneva 1967! Ini yang membebani sampai hari ini!