JAKARTA – Kepala kepolisian daerah atau Kapolda Papua, Mathius Derek Fakhiri, merespons unggahan poster dan tagar All Eyes on Papua yang viral di media sosial akhir-akhir ini. Dia menyebut setiap jengkal tanah di Papua ada pemiliknya.

Dikutip dari Antara, Rabu (5/6/2024), Fakhiri mengatakan dia dan Kapolres Mappi serta Kapolres Boven Digoel sudah mengirimkan Dirkrimsus untuk meninjau langsung persoalan yang terjadi. Boven Digoel akan menjadi perhatian khusus.
“Ini menjadi perhatian serius, tadi saya juga sudah minta Dirkrimsus segera menurunkan tim ke lokasi, nanti bersama-sama dengan Kapolres Boven Digoel (Papua Selatan) dan Kapolres Mappi (Papua Selatan) untuk bisa melihat persoalan yang terjadi,” kata Kapolda Papua Irjen Pol Mathius D. Fakhiri memberikan keterangan di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, Selasa (4/6).
Kehadiran Fakhiri di Kabupaten Merauke terkait dengan kunjungan kerja Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin di kabupaten tersebut.
Adapun, unggahan poster “All Eyes on Papua” yang viral di media sosial Instagram menyebutkan bahwa hutan di Papua tepatnya di Boven Digoel yang luasnya 36 ribu hektare atau lebih dari separuh luas Jakarta akan dibangun perkebunan sawit dan berada di hutan adat marga Woro-bagian dari Suku Awyu.
Izin itu diberikan kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL). Suku Awyu pun menggugat Pemerintah Provinsi Papua yang mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL.

Pada 27 Mei 2024, masyarakat adat Suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya berdemo di depan Mahkamah Agung dan menolak pembabatan hutan ini karena hutan ini adalah hutan adat tempat mereka hidup secara turun temurun serta sumber penghidupan, pangan, budaya, dan sumber air akan hilang jika hutan ini dibangun perkebunan sawit.
Fakhiri berharap ada titik temu antara masyarakat adat dengan perusahaan sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
“Tentunya mungkin perhatian khusus kita nanti yang di Boven Digoel. Saya berharap dalam minggu ini bisa kita selesaikan sehingga masyarakat bisa dapat jalan keluar dan mudah-mudahan ada titik temu antara masyarakat adat dengan perusahaan,” ujar dia.
Lebih lanjut, ia juga meminta perusahaan yang berinvestasi di tanah Papua juga dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat adat setempat.
“Saya ingatkan kepada para perusahaan yang sedang bekerja di tanah Papua bahwa sangat penting itu memperhatikan bagaimana masyarakat lokal yang ada di situ karena setiap jengkal tanah yang ada di tanah Papua ini mempunyai tuannya,” kata Fakhiri.
“Tidak ada salahnya kalau kita berinvestasi, kita juga mengajak serta masyarakat adat untuk duduk bicara sehingga hak-hak yang harus mereka dapat bisa kembali kepada mereka,” dia menambahkan.

All Eyes on Papua Digemakan di Sosial Media
Setelah adanya gerakan All Eyes on Rafah yang digemakan warganet seluruh dunia, ada pula gerakan All Eyes on Papua. Aksi itu tidak kalah gencar di media sosial.
Poster bertuliskan All Eyes on Papua beredar di media sosial X beberapa hari terakhir. Poster itu bernada sama dengan upaya masyarakat global yang menyuarakan penderitaan warga Palestina yang tengah dibombardir serangan Israel di Rafah.
Adapun arti All Eyes on Papua dalam bahasa Indonesia berarti ‘semua mata tertuju pada Papua’. Itu bisa diartikan bahwa masyarakat peduli dengan apa yang tengah terjadi di Papua.
Latar belakang gerakan ini adalah isu soal hutan Papua yang akan dibabat untuk dijadikan perkebunan sawit. Yang disebut luasnya mencapai separuh Jakarta.
Tak hanya gerakan di sosial media, masyarakat adat Papua pun tengah memperjuangkan hak mereka atas tanah adat. Suku Awyu dan Suku Moi pun sampai menggelar aksi di Jakarta pada Senin (27/5/2024). Mereka menggelar aksi damai untuk mengaspirasikan penolakan sembari mengenakan baju adat

“Di tempat kami itu ada terancam oleh perusahaan atau investasi perusahaan perkebunan kelapa sawit. Hal ini pelanggaran HAM, kami ini korban pelanggaran HAM. ini hak kami hak mutlak,” kata masyarakat Adat Awyu, Hendrikus Woro, dalam aksinya di Jakarta, dikutip dari video @wespeakup.org di Tiktok.
Aksi yang dilakukan masyarakat adat Papua di depan gedung MA dilakukan usai gugatan mereka di pengadilan tingkat pertama dan kedua gagal. Gugatan kini masuk ke tahap Kasasi, sekaligus menjadi harapan terakhir bagi masyarakat adat Papua dalam mempertahankan hutan adat mereka.
Adapun masyarakat adat Papua menolak rencana pembabatan hutan seluas 36 ribu hektar. Itu karena hutan adat adalah sumber penghidupan utama bagi masyarakat adat. Luas itu disebut sebesar setengah dari Jakarta.

Gerakan pun telah dilakukan melalui laman petisi change.org yang diinisiasi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat sejak 2 Maret 2024. Petisi itu menyerukan pencabutan izin sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL).
Jika pembabatan terjadi, diprediksi hilangnya hutan Papua akan menghasilkan emisi 25 juta ton CO2.
Menurut Greenpeace, selain kasasi perkara PT IAL, sejumlah masyarakat Awyu juga mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raja. Dua perusahaan sawit itu juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel. Adapun PT KCP dan PT MJR sebelumnya kalah di PTUN Jakarta. Setelah mengajukan banding, mereka dimenangkan oleh hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.
“Kalau separuh wilayah Jakarta diratakan, kemudian dibangun perkebunan sawit, pasti langsung jadi berita dan banyak orang menentang. Warga Jakarta pasti menolak pergi. Tapi, kalau terjadi di wilayah timur Indonesia, apakah orang-orang akan peduli,” ungkap yayasan tersebut di petisi.

“Di Boven Digul Papua, hutan seluas 36 ribu hektar, atau lebih dari separuh luas Jakarta, akan dibabat. Dan dibangun perkebunan sawit oleh PT Indo Asiana Lestari,” dia menambahkan.
Mengenal Suku Awyu di Balik Semua Mata Tertuju Papua
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, All Eyes on Papua bergema di media sosial, menyusul All Eyes on Rafah yang lebih dulu viral. Aksi tersebut menggambarkan perjuangan Suku Awyu mempertahankan tanah adat.
Gerakan All Eyes on Papua menandakan kepedulian masyarakat dengan yang terjadi di Boven Digoel, Papua Selatan. Dikabarkan lahan hutan seluas 36 ribu hektar atau lebih dari separuh luas Jakarta akan dibabat untuk dialihfungsikan menjadi lahan sawit di sana.

Banyak masyarakat adat di Papua menganggap hutan sebagai Ibu. Itu karena mereka sangat menggantungkan kehidupan dari alam.
“Kehidupan Suku Awyu sangat bergantung pada tanah, hutan, sungai, rawa, dan hasil kekayaan alam lainnya. Itu semua menjadi sumber mata pencaharian, pangan, dan obat-obatan, serta identitas sosial budaya kami. Hutan adalah ‘rekening abadi’ bagi kami masyarakat. adat,” kata pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu, Hendrikus Franky Woro, dikutip dari GreenPeace , Senin (3/6/2024).
Hutan sebagai rekening abadi berguna untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Awyu dari generasi ke generasi. Sayangnya, keberadaan hutan adat kian terancam akibat izin sejumlah perusahaan sawit di Boven Digoel.
Masyarakat adat pun khawatir hadirnya perusahaan sawit akan merusak alam tempat mereka tinggal. Tak hanya hutan dan isinya, tetapi juga rawa hingga sungai alami yang menjadi sumber air utama masyarakat.

Suku Awyu bersikukuh secara konsisten mengupayakan hak mereka untuk tinggal dengan berbagai langkah. Mereka disokong banyak komunitas dan organisasi lingkungan. Hendrikus pun mendaftarkan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke PTUN Jayapura.
Suku Awyu
Melansir berbagai sumber, Suku Awyu disebut juga sebagai Awya. Suku adat itu mendiami daerah aliran Sungai Digoel di Pesisir Papua Selatan. Daerah itu masuk ke wilayah Kabupaten Mappi. Daerah itu juga didiami oleh orang Yahraim dan orang Muyu di bagian baratnya.
Menurut sensus penduduk tahun 2017, jumlah populasi Suku Awyu berkisar 27.300 jiwa.
Sementara itu, berdasarkan organisasi yang berbasis di Amerika Serikat, Joshua Project, Suku Awyu terbagi menjadi beberapa sub suku. Yakni Aghu, Nohon (Awyu Tengah), Pisa (Asue), Jair, dan Awyu Selatan.
Pada bagian Awyu Selatan terdiri juga beberapa suku besar yakni Malind, Mandobo, dan Asmat. Suku Awyu termasuk dalam suku Mappi yang terbagi menjadi 2 suku besar yakni Awyu Darat dan Awyu Laut.
Sebagian besar mata pencaharian suku tersebut adalah pemburu dan peramu. Makanan utama mereka yakni seperti sebagian besar masyarakat di Papua, yakni sagu. Selain itu, mereka juga berburu ikan dan udang, karena mereka tinggal di dekat daerah sungai atau rawa.

Bahasa yang mereka gunakan merupakan Bahasa Awyu, yang termasuk ke rumpun Bahasa Papua yang terbagi atas 5 hingga 11 dialek. Beberapa di antaranya yakni Asue, Pisa, Pasue, Aghu, Yenimu (Oser), Siaxa (Siagha), serta Aghu Jair (Sungai Edera, Kia Atas, dan Kia Bawah). (Enrico N. Abdielli)