Gerakan Kaji Ulang Perubahan (GKUP) UUD’45 mendorong agar perubahan UUD 45 hasil amandemen segera dikaji ulang. Letjen Purnawirawan Bambang Darmono dari Sekretariat Bersama GKUP UUD 1945 menuliskannya untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Letjen (Purn) Bambang Darmono
“Sah-sah saja kalau ada orang yang mengaku dirinya Pancasilais, tetapi kalau.tidak mendukung Kaji Ulang UUD NRI 1945, mereka adalah munafik”
TIDAK ada produk hukum yang mengesahkan UUD 10 Agustus 2002 (UUD 1945 palsu) dan tidak ada produk hukum yang membatalkan UUD 18 Agustus 1945 (UUD 1945 asli). Terjadi dualisme konstitusi di Indonesia selama 19 tahun, wajar kalau terjadi kerancuan berbangsa dan bernegara. Inilah penggalan kalimat dr Zulkifli di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 28 Oktober 2020 atas laporannya kepada Bareskrim Polri pada tanggal 17 September 2020 tentang pemalsuan dokumen UUD 1945.
Dalam salah satu gugatannya dr. Zulkifli mengatakan, bahwa dalam perubahan keempat UUD 1945, tergugat MPR-RI dalam konsideran Penetapan Perubaan UUD 1945 Keempat yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002, telah mencantumkan kalimat sebagai berikut: “Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan perubahan keempat ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tangal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat”.
Bahwa adanya pernyataan yang menyatakan bahwa Perubahan UUD 1945 adalah UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah secara nyata merupakan pernyataan pemalsuan dokumen, sebagai-mana ditentukan dalam pasal 262 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sungguh ironi apabila pernyataan diatas benar, sebab Indonesia adalah negara hukum sementara hukum dasar tertingginya dinyatakan palsu sebagai akibat atau mungkin kecerobohan. Baik kesengajaan maupun kecerobohan, lebih jauh ironinya UUD NRI 1945 telah dirujuk untuk menyusun peraturan perundangan turunannya yang operasional untuk mengatur tatakelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. “Kerancuan berbangsa dan bernegara”, kata dr Zulkifli, Paradoks!.
Apabila pernyataan diatas benar, konsekuensinya semua produk peraturan perundangan pasca dan merujuk UUD NRI 1945 merupakan produk hukum yang tidak memiliki landasan konstitusional. Oleh karena itu peraturan perundangan tersebut seharusnya batal demi hukum. Patut ditunggu hasil persidangan di Pengadilan Jakarta Pusat tersebut, agar semuanya menjadi terang benderang dan tidak menjadi gosip politik. Bahkan momentum ini bisa digunakan untuk saling membuka dan melengkapi, sehingga menjadi terang benderang sebagai bagian rembuk nasional dalam upaya memperbaiki kerancuan berbangsa dan bernegara.
Kalaupun gugatan dr. Zulkifli kalah, faktanya klausul gugatan tersebut nyata adanya. Harus diakui menang atau kalah di Pengadilan Indonesia terkadang bukan hanya ditentukan kebenaran formil dan materiilnya saja, tetapi juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang kadang-kadang sulit dipahami. Yang pasti, kita harus menunggu proses peradilan tersebut. Apapun argumentasi yang dibangun, sesungguhnya sangat ironi dan menyedih-kan cara-cara perwakilan kita melakukan perubahan UUD 1945 sebagaimana gugatan tersebut.
Apabila dirunut lebih dalam, gugatan hukum diatas sangat berhubungan erat dengan implementasi Pancasila yang harus membumi di Indonesia baik sebagai filosofi maupun sebagai sumber dari segala sumber hukum. Dengan hukum dasar UUD 1945 yang yang dijiwai nilai-nilai dasar filosofi Pancasila, memberikan jaminan bahwa kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dapat diwujudkan di Indonesia. Sebaliknya dengan hukum dasar UUD NRI 1945 yang tidak dijiwai nilai-nilai dasar Pancasila jangan berharap kehidupan berdasarkan Pancasila akan dapat diwujudkan.
Sejak diundangkannya pada 10 Agustus 2002, waktu berlaku UUD NRI 1945 telah mencapai 19 tahun, hampir satu generasi. Dalam perjalanan selama itu, selain ada hal-hal positif yang dirasakan, terlalu banyak hal-hal mudarat terhadap Pancasila yang mengakibatkan banyak pihak mewacanakan kembali ke UUD 1945, Amandemen terbatas dan Kaji Ulang.
Dalam kontek Kaji Ulang Perubahan UUD 1945, Forum Bersama Purnawirawan TNI-POLRI dan Organisasi Mitra Seperjuangan dalam Pengantar Buku Kaji Ulang Perubaan UUD 1945 menyatakan: “Dari berbagai tinjauan filosofis, ideologis, historis, sosiologis, empiris dan yuridis, amandemen empat kali UUD 1945 tersebut dilakukan tanpa konsep (grand design), tidak komprehensif, tergesa-gesa, bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, bahkan ditandai dengan adanya campur tangan asing, melanggar kesepakatan MPR-RI sendiri, serta tidak dilakukan dengan adendum, sehingga nilai-nilai dari keaslian UUD 1945 hilang, terlebih dengan dihapuskannya Penjelasan telah menimbulkan multi tafsir yang menyesatkan”.
UUD 1945, sebagaimana telah diamandemen keempat kali, telah mengakibatkan tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mengalami perubahan, apalagi dalam kontek filosofie grondslag, staats fundamental norm dan dasar negara, Pancasila seharusnya menjadi rujukan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara baik dalam perspektif ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, pertahanan dan keamanan. Benar bahwa Pancasila merupakan living ideology atau open ideology, dan karena itu implementasinya harus dapat menyesuaikan dengan kemajuan jaman dan peradaban bangsa Indonesia.
Dalam perspektif living ideology dan open ideology, nilai-nilai dasar ke-Indonesia-an di dalamnya tentu tidak boleh diubah dan harus tetap lestari, karena di dalamnya berisi karakter yang menunjukkan jati diri bangsa Indonesia. Perubahan yang sesuai dengan keadaan jaman tetapi meninggalkan karakter dan sifat bangsa Indonesia sama halnya dengan mencabut akar jati diri bangsa. atau membubarkan negara.
Apabila dirunut dari sidang-sidang BPUPKI, terlihat jelas bahwa para pendiri bangsa mencari dan mengeksplor sifat dan karakter bangsa Indonesia yang akhirnya mereka bersepakat bahwa Pancasila sebagai dasar negara. Persoalan aktual yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah hubungan antara pembukaan dan batang tubuh UUD NRI 1945 yang tidak koheren, karena batang tubuh yang dirumuskan bukan hasil dari transformasi pembukaan. Kalau kondisi ini dibiarkan kerusakan negara akan terjadi permanen.
Tinjauan Perspektif Ipoleksosbudhankam Terhadap UUD NRI 1945.
Ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta pertahanan dan keamanan yang oleh Lemhannas disebut Panca Gatra, merupakan unsur-unsur ketahanan nasional yang satu dengan lainnya saling mempengaruhi. Apabila salah satu gatra dalam kondisi kurang baik maka akan mempengaruhi ketahanan nasional secara keseluruhan. Dalam perspektif Pancasila sebagai filosofie groundslag, staats fundamental norm dan dasar negara, kondisi obyektif tiap gatra dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, adalah hasil (output) dari UUD NRI 1945. Oleh karena itu tinjauan terhadap tiap gatra menjadi indikator ada tidaknya kesesuaian sifat dan karakter ke-Indonesia-an ada di dalam UUD NRI 1945 tersebut.
Perspektif Ideologi
Dengan UUD NRI 1945 yang berlaku saat ini, kebebasan yang nyaris tanpa batas dan tanpa disertai tangung jawab telah lahir, bahkan dijadikan roh dan icon demokrasi untuk mengatur tata kelola bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sangat disadari bahwa kebebasan adalah hakekat utama dari kemerdekaan yang diperoleh melalui perjuangan para pendiri bangsa. Tetapi kebebasan yang tidak bertanggung jawab pada dasarnya pengingkaran terhadap kemerdekaan itu sendiri yaitu membelenggu kebebasan itu sendiri.
Akibat kebebasan yang nyaris tanpa batas inilah yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai kurusetra (medan peperangan) perebutan tiga kutub ideologi dunia yaitu liberal kapitalis, komunis dan khilafah sebagai akibat kevakuman transformasi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara baik dalam peraturan perundangan yang mengatur kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara maupun dalam pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan. Pancasila hanya dijadikan jargon untuk kepentingan justifikasi dan legalitas formal semua aktivitas.
Berkembang pesatnya oligarki disemua sektor dan berkembang pesatnya paham khilafahisme sejak tahun 2007 melalui nilai-nilai ideologi merupakan indikator tentang hal ini. Semua ini nyata dalam kehidupan bangsa Indonesia. Produk nyata liberal kapitalis adalah UUD NRI 1945, secara perlahan tetapi pasti akan merubah gaya hidup masyarakat dan bangsa, apabila tidak segera disadari. Produk nyata Khilafahisme adalah meningkat pesatnya radikalisme dalam kehidupan masyarakat yang dalam banyak kesempatan kerapkali menghasilkan kekerasan. Penganut ideologi ini dengan sengaja telah memanfaatkan komunis phobia di Indonesia dan kebebasan yang disediakan oleh UUD NRI 1945 secara intensif menarik simpati masyarakat Indonesia untuk kepentingan meluaskan promosi ideologi khilafah.
Infiltrasi ideologi komunis hampir mewujud apabila RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) tidak disadari bangsa Indonesia. Walaupun cukup terdadak, beruntung kepekaan terhadap gejala yang muncul masih hidup dalam masyarakat, sehingga memudahkan upaya mencegahnya. Faktanya, pasca para Purnawirawan TNI menggulirkan pandangannya, isu menolak RUU HIP bergulir seperti bola salju dan berakhir dengan ketidak setujuan pemerintah terhadap RUU HIP.
Perspektif Politik
Implementasi UUD NRI 1945 ini, telah mengakibatkan sistim ketatanegaraan dan sistim politik di Indonesia telah berubah total. Kedaulatan rakyat telah berubah menjadi kedaulatan partai bahkan menjadi kedaulatan Ketua Umum Partai. Kedaulatan rakyat hanya menjadi jargon politik. Sistim pemilu yang lebih mengutamakan demokrasi kuantitatif menghasilkan kepemimpinan yang korup karena mahar kepada Partai Politik dan politik uang, yang merusak karakter dan sifat bangsa Indonesia. Kualitas dan keberhasilan seseorang kurang mendapat tempat diruang publik, tetapi berganti menjadi Popular Vote. Mereka yang populer diruang publik atau menjadi media daring akan mudah terpilih, soal kapasitas nomor kesekian. Politik musyawarah untuk mufakat sebagai ciri utama sistim sendiri menjadi tidak berlaku dan secara perlahan dijauhi anggota parlemen, karena membutuhkan kepiawaian berargumentasi dalam menggalang kesamaan pemahaman dalam pengambilan keputusan. Cara pengambilan keputusan telah berubah dengan mengedepankan voting yang mengandalkan oligarki yang menonjolkan kekuatan kekuasaan, popularitas dan uang. Secara keseluruhan mengakibatkan Indonesia jatuh ketangan kekuasaan orang yang menjadi media daring dan banyak uang. Mereka adalah kelompok masyarakat yang dengan mudah menge-goal-kan perturan perundangan yang mereka inginkan.
Isu tentang sembilan naga memang sekadar isu yang bertebaran di dalam ruang publik, tetapi patut dicermati. Dalam suatu forum Focus Group Discussion (FGD) di PPAD, Bambang Susatyo Ketua MPR-RI yang juga mantan Ketua DPR-RI mengatakan, “untuk meng-goal-kan sebuah Rancangan Undang Undang (RUU) di Indonesia, yang perlu dikuasai adalah Partai Politik”. Seirama dengan pernyataan di PPAD, masih menurutnya, “untuk menguasai Partai Politik seorang pemodal cukup merogoh kantong tak lebih dari Rp. 1 T”. Pernyataan ini adalah indikator oligarki karena kekayaan dan bisnis yang menguasai panggung politik di Indonesia.
Perubahan total dari substansi berpolitik berdasarkan Pancasila adalah hilangnya kedaulatan rakyat untuk menentukan arah pembangunan bangsa dan daerah. Arah pembangunan menjadi barter antara partai pengusung dan calon yang tertengarahi di rancang atau di framing untuk menggiring rakyat melalui polling. Arah pembangunan tidak lagi ditentukan oleh rakyat sebagai pihak yang menerima akibat dari kebijakan yang dihasilkan. Sebab, rakyat bukan lagi sebagai pihak yang berdaulat yang berhak menentukan arah pembangunan. Dalam kontek arah pembangunan, satu-satunya kedaulatan rakyat yang masih dapat dinikmati adalah memilih pemimpin dengan berbagai janji dan jargonnya untuk membangun bangsa atau daerahnya.
Sebaliknya kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui hikmat permusyawaratan yang berkeadilan sosial sebagaimana kehendak sistim sendiri yang diciptakan para pendiri bangsa tidak menjadi pilihan. Padahal sistim sendiri merupakan rumusan terbaik dari upaya memperbandingkan sistim presidensial dan sistim parlementer yang dianalisis menggunakan sifat, karakter dan berbagai adat istiadat dan local widom yang berlaku di Indonesia. Bukankah seharusnya harus membanggakan ciptaan bangsanya sendiri.
Perspektif Ekonomi
Persoalan sistim ekonomi juga tidak kalah ruwet dibandingkan sistim politik yang mengutamakan demokrasi kuantitatif dan popular vote, karena perubahan pasal 33 UUD NRI 1945 yang kemudian menghidupkan kapitalisme. Perubahan ini memupus cita-cita para pendiri bangsa untuk menghapus kapitalisme.
Dalam perspektif kerakyatan, sejak awal pasca reformasi sesungguhnya diskursus dan upaya menghidupkan ekonomi kerakyatan sangat intens, tetapi sayangnya berhenti pada diskursus di panggung politik. Masyarakat telah diajak terjebak pada definisi ekonomi kerakyatan yang menjadi bola liar, tetapi tidak diajak menemukan dan membangun definisi ekonomi kerakyatan serta mengimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kalaupun kemudian pengamatan banyak pihak menilai bahwa pengelolaan ekonomi Indonesia kurang baik, patut dicermati. Laporan dari Global Wealth Report 2018 yang menyebut 1% orang terkaya Indonesia menguasai 46% dari total kekayaan penduduk, sementara 10% orang terkaya menguasasi 75,3% total kekayaan penduduk mungkin ada benarnya. Lihat saja daftar orang kaya di Indonesia dan apa saja bisnis mereka. Sebab, dalam daftar tersebut dapat teridentifikasi terlihat jelas.
Banyak suara di dalam masyarakat yang mengutarakan bahwa penguasa dalam banyak hal saat ini dipegang oleh para politisi. Maka tidak heran apabila korupsi banyak terjadi di lembaga legislatif. Begitu pula ungkapan Megawati dalam peringatan HUT ke 119 Proklamator RI Mohamad Hatta, yang mengatakan, agar dalam setiap membangun pendirian koperasi di Indonesia itu harus memperhatikan konsep Bung Hatta yang memakmurkan dan menyejahterakan anggotanya: “Membangun koperasi itu piye gitu loh, yang diinginkan Bung Hatta itu loh, makmur, sejahtera. Jangan seremonial-seremonial melulu”.
Lebih jauh, sesungguhnya makin sulit membayangkan sistim ekonomi Indonesia di dalam UUD NRI 1945, ketika utang BUMN mencapai 2000 T, dimana 43% merupakan utang luar negeri dan 57% adalah utang dalam negeri serta masih ada Penyertaan Modal Negara (PMN) yang mencapai 77,3 T, tetapi sebagian besar rakyat Indonesia tidak mendapatkan tumpahan kesejahteraan seperti UKM dan Pengusaha Mikro. Mereka yang mendapatkan manfaat BUMN adalah para pengurus BUMN itu sendiri, bahkan dalam banyak kasus dikorupsi, maka banyak BUMN yang nyaris bangkrut.
Pada akhirnya rakyat akhirnya akan memikul beban utang yang mereka buat. Paling mutakhir yang dirasakan oleh rakyat, adalah keraguan pemerintah memilih kebijakan kekarantiaan sepanjang bulan Maret 2020, disaat awal penularan Covid-19. Keraguan tersebut kelihatannya dipengaruhi kewajiban Pasal 55 ayat 1, UU Nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan, walaupun akhirnya harus memberikan bantuan sosial untuk PPKM Darurat, hingga PPKM level 3 dan 4 sampai dengan penetapan yang keempat.
Perspektif Sosial dan Budaya.
Relasi hubungan masyarakat mengalami perubahan yang kurang masuk akal. Banyak kasus intoleransi yang muncul kepermukaan dialami sebagian masyarakat. Keterbukaan dan kebebasan berpendapat bukannya mengurangi intoleransi tetapi justru mendorong intoleransi berkembang di dalam masyarakat atas nama kebebasan berekspresi khususnya dalam hubungan mayoritas dan minoritas. Kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi adalah argumentasi pemerintah saat harus menghadapi apel HTI di Senayan pada tahun 2013.
Liberalisasi pendidikan semakin merajalela yang memungkinkan dan memberi kebebasan bisnis pendidikan berkembang di Indonesia baik berbasis bisnis maupun berbasis agama. Kebijakan ini pada akhirnya mengakibatkan gap relasi sosial yang semakin melebar di dalam masyarakat antara yang kaya dan miskin. Belum lagi dampak dari UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sisitim pendidikan nasional yang berbasis kompetensi, yang pada akhirnya mengakibatkan pendidikan karakter ditinggalkan. Ujungnya materi pendidikan Pancasila ditinggalkan, jadilah keadaan menghasilkan banyak fenomena kebebasan yang kebablasan.
Fenomena korupsi merajalela dan kasusnya meningkat pesat, walaupun Indonesia memiliki Komisi Pemberantasan Korupsi. Kalau di zaman orde baru korupsi berpusat di Jakarta, saat ini ratusan kepala daerah telah terjerat kasus korupsi. Telah terjadi pemerataan tetapi pemerataan korupsi. Anehnya fenomena kasus korupsi tidak pernah dapat terjawab, bahkan koruptor pun terlihat di media televisi melambaikan tangan kepada pendukungnya. Harga diri dan rasa malu sepertinya telah hilang dengan dalih dizolimi atau dalih yang lain. Ironi memang.
Beberapa fenomena yang hadir di masyarakat mengindikasikan bahwa kondisi sosial dan budaya telah mengakibatkan pergeseran orientasi relasi sosial dalam masyarakat yang pasti berpengaruh terhadap tatakelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang lebih menonjolkan oligarki dan KKN.
Perspektif Pertahanan dan Kemanan.
Sejak reformasi tahun 1998, telah terjadi pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan secara hitam putih, tanpa melihat apa fungsi TNI dan Polri bagi negara sejak pembentukannya. Apabila melihat peran sejak pembentukannya, TNI memang tidak dirancang untuk melaksanakan tugas militer di luar Indonesia, kecuali tugas-tugas pemeliharaan perdamaian sebagaimana terlihat jelas pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Tentu sangat berbeda jauh apabila membandingkan dengan peran militer Amerika Serikat. Mereka dirancang untuk melaksanakan tugas-tugas militer di luar Amerika. Celakanya para perancang dan aktivis di sektor pertahanan dan keamanan saat reformasi terjadi, lebih berorientasi ke Amerika Serikat dan negara-negara Barat yang berbeda latar belakang sejarah pembentukan militernya. Reformasi disektor keamanan diarahkan kepada cara bangsa-bangsa lain mengelola negaranya.
Hal yang lebih menjadi rancu ketika UU No.3/2002 tentang Pertahanan Negara di undangkan, tetapi UU tentang Keamanan Negara tidak pernah ada. Sementara itu UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia ditafsir dan difungsikan sebagai UU Keamanan Negara, yang absen. Padahal Pasal 30 ayat 2 UUD NRI 1945 menyebutkan, “usaha pertahanan dan keamanan negara dijalankan menurut sistim pertahanan dan kemanan rakyat semesta dengan TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”.
Hingga saat ini UU turunan dari pasal ini tidak pernah ada. Akibatnya, friksi psikologis antara TNI dan Polri terus akan terjadi dalam kontek peran. Ketika muncul kesadaran bahwa tidak mungkin tugas-tugas keamanan dalam negeri dijalankan sendiri oleh Polri, muncul terminologi sinergitas TNI/Polri. Dalam terminologi ini, yang terlihat TNI hanya sebagai subsistim dari Polri dalam tugas-tugas keamanan dalam negeri. Persoalan inilah yang harus ditata secara benar agar konflik psikologis tidak berlanjut terus.
Mengapa UUD NRI 1945 Harus di Kaji Ulang.
Kaji Ulang adalah penerapan prinsip perbaikan berkelanjutan (continual improvement) dari waktu ke waktu, melalui proses pengkajian secara menyeluruh untuk memastikan keberlanjutan, kesesuaian, kecukupan dan efektivitas pelaksanaannya sesuai dengan persyaratan. Memahami definisi kaji ulang ini, maka tinjauan dari beberapa perspektif perlu dilakukan untuk mendapatkan argumentasi yang tepat, sehingga kaji ulang merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari dan ditunda-tunda untuk menyelamatkan kehidupan bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dari kerusakan dan kehancuran permanen. Beberapa tinjauan terkait pernyataan di dalam Buku Kaji Ulang Perubahan UUD 1945.
Tinjauan Filosofis
Secara tekstual Pembukaan UUD 1945 juga memuat tujuan-tujuan bersama yang biasa disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee yang berfungsi filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat Indonesia dalam kontek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena Pancasila sebagai dasar filosofis terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang juga merupakan kesepakatan pertama penyangga konstitusionalitas, maka Pancasila tetap sebagai dasar-dasar filosofis bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu siapapun warga negara Indonesia termasuk Presiden RI wajib mematuhi dan menjalankannya dengan sebaik-baiknya.
Untuk dapat dipatuhi, maka Pancasila harus ditransformasikan kedalam UUD 1945. Bahwa berbagai studi juga menyebutkan UUD NRI 1945 dinilai banyak pihak sangat liberal kapitalis termasuk perspektif Panca Gatra, maka perubahan ini harus dikembalikan pada nilai-nilai dan karakter yang harus menjiwainya, yaitu Pancasila.
Tinjauan Ideologis
Ideologi menurut rumusannya adalah ide dasar bernegara. Dalam kontek Indonesia, ide dasar bernegara secara jelas dituliskan di dalam Pembukaan UUD 1945. Secara keseluruhan ide dasar bernegara yang terdiri dari empat alinea tersebut mengandung empat pokok pikiran yaitu: “Persatuan bangsa, Keadilan sosial, Kerakyatan atau demokrasi perwakilan, serta Budi pekerti luhur yang berdasarkan kepada Ketuhanan yang maha Esa dan kemanusiaan yang adil beradab. Artinya nilai-nilai Pancasila adalah ide dasar bernegara Indonesia yang ditetapkan oleh para pendiri bangsa.
Agar Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sebagai ideologi negara dengan pokok-pokok pikiran yang terkandung menjadi tuntunan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka UUD 1945 sebagai hukum dasar negara harus memenuhi seluruh nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Masalahnya adalah UUD NRI 1945 tidak lagi terjiwai oleh ideologi pancasila, tetapi ideologi liberal kapitalis yang banyak pihak menyebutnya neolib. Dengan demikian, maka peraturan perundangan turunannya secara otomatis akan dijiwai Pancasila. Dalam kondisi peraturan perundangan yang telah dijiwai Pancasila, maka Pancasila akan terimplementasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sama halnya dengan tinjauan filosofis, maka UUD NRI 1945 harus dikaji kembali dan dikembalikan kepada nilai-nilai dasar yang harus menjiwainya, yaitu Pancasila.
Tinjauan Historis
Secara historis, penyusunan dasar negara telah dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekan Indonesia (BPUPKI). Pada sidang pertamanya yang dilakukan pada 29 Mei s.d 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan pidato yang mengemukakan rumusan awal Pancasila sebagai dasar negara pada 1 Juni 1945. Pada awalnya pidato ini disampaikan Bung karno tanpa teks, secara aklamasi diterima tanpa judul dan baru mendapat sebutan “Lahirnya Pancasila” oleh Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat dalam kata pengantar buku yang berisi pidato, yang dibukukan oleh BPUPKI. Dalam pidato tanpa teks itu, Bung Karno menyebut lima sila hasil pemikirannya sebagai rekomendasi dasar negara yang meliputi: Kebangsaan; Internasionalisme atau Perikemanusiaan; Demokrasi; Keadilan Sosial, dan; Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada 9 Juni 1945, BPUPKI membentuk Tim, yang disebut Panitia sembilan. Pada 22 Juni 1945, melalui perdebatan yang sangat alot, Panitia sembilan berhasil merumuskan lima pikiran Bung Karno tersebut, mengubah urutannya, serta mengganti beberapa kata.
Rumusan dasar negara tersebut menjadi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan perwakilan, serta; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila-sila ini dicantumkan di dalam Piagam Jakarta sebagai rumusan hasil kerja Panitia Sembilan.
Menjelang proklamasi kemerdekan, tujuh kata (dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya) ini dipersoalkan oleh para wakil dari Indonesia Timur, dengan dalih komposisi masyarakat di wilayah Timur berbeda. Karenanya dasar negara diminta tak menggunakan agama tertentu. Akhirnya, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, diputuskan bahwa dasar negara yang disepakati adalah sila-sila sebagaimana tertulis di dalam Pembukaan UUD 1945.
Pasca kemerdekaan, Indonesia langsung dihadapkan pada situasi menghadapi sekutu dan Belanda yang membonceng di dalamnya, sehingga UUD 1945 yang baru disahkan oleh PPKI tidak segera dapat diimplementasikan. Dinamika sejarah bicara lain, karena faktor tarik ulur dengan Belanda, memaksa Indonesia memberlakukan UUDS tahun 1950 dengan sistim pemerintahan parlementer yang berkarakter liberal. Keguncangan politik sejak berlakunya UUDS 1950 terjadi. Akhirnya melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Undang-Undang Dasar 1945 diberlakukan kembali serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam proses reformasi 1998, melalui kesepakatan bangsa Indonesia TAP MPR No. XVIII/MPR/ 1998 disepakati Pencabutan TAP MPR No II/MPR/1978 tentang P4 dan Mentapkan Pancasila sebagai Dasar Negara. Selain ketetapan tersebut masih ada kesepakatan MPR yang lain, kemudian menjadi lampiran dari TAP MPR No. IX/MPR/1999, yang menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak boleh di ubah. Dalam lampiran tersebut di nyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 memuat cita-cita bersama sebagai puncak abstraksi yang mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme.
Berdasarkan tinjauan historis ini terlihat jelas bahwa Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya memuat Pancasila merupakan dokumen kesepakatan rakyat Indonesia yang tidak dapat dirubah oleh siapapun. Tetapi, MPR-RI tidak konsisten mengimplementasi-kannya dan kemudian merubah UUD 1945 dengan nilai-nilai liberal yang nyata-nyata mengingkari Pancasila sebagai dasar negara. Oleh karena itu Kaji ulang UUD NRI 1945 merupakan keniscayaan, untuk mengembalikan jiwa dan nilai-nilai Pancasila kedalam UUD 1945.
Tinjauan Sosiologi
Dalam perspektif sosiologi, bangsa Indonesia adalah kelompok masyarakat timur yang berbasis komunitas atau komunal, sehingga norma-norma komunitas tersebut tidak serta merta dapat dikesampingkan atau dihilangkan, karena nilai-nilai komunitas itu memiliki nilai kebenaran yang hanya berlaku diantara mereka. Oleh kerena itu maka Bung Karno dan para pendiri bangsa lainnya merumuskan Pancasila yang oleh banyak pihak, digali dari nilai-nilai luhur komunitas bangsa Indonesia. Nilai-nilai ini pada dasarnya mengikat masyarakat bangsa yang sekaligus menjadi sifat dan karakter bangsa Indonesia. Sifat dan karakter ini template dalam kehidupan sehari-hari masyarakat bangsa Indonesia. Oleh karena itu relasi kehidupan dan padangan hidup masyarakat bangsa Indonesia tentu berbeda dengan relasi dan pandangan hidup masyarakat bangsa yang lain.
Apabila kemudian Pancasila dinyatakan sebagai dasar bernegara masyarakat Indonesia, penetapan ini adalah upaya untuk menegaskan bahwa Pancasila sesungguhnya adalah nilai-nilai dasar bangsa Indonesia yang kemudian disebut filosofi dan staats fundamental norm bangsa Indonesia.
Dalam kontek Perubahan UUD 1945, perubahan tersebut memang dimungkinkan, apalagi Pancasila juga dikatakan sebagai living ideology dan open ideology yang harus dapat melakukan penyesuaian dengan perubahan dan kemajuan jaman, tetapi tidak merusak nilai-nilai dasar dan sudah template dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Perubahan nilai-nilai dasar liberal kapitalis yang menjiwai UUD NRI 1945 saat ini, tentu bukan nilai-nilai dasar yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia, sebab nilai-nilai liberal kapitalis adalah nilai-nilai masyarakat yang berbasis individual. Kalau saat ini menimbulkan banyak masalah dalam tata kelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, hal ini merupakan ekses dan dampak pemaksaan tata nilai masyarakat individual kedalam tata nilai masyarakat bangsa Indonesia yang komunal. Oleh karena itu, dari tinjauan sosiologis inipun, kaji ulang Perubahan UUD 1945 merupakan keniscayaan.
Tinjauan Yuridis
Pandangan Prof. Dr, Notonegoro tentang staats fundamental norm menjadi rujukan utama untuk meluruskan pendapat sejumlah pihak dalam perdebatan yang menghendaki amandemen Pembukaan UUD 1945, yang akhirnya menghasilkan TAP MPR No. IX/MPR/1999 yang menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak boleh diubah. Menurut Prof Dr. Notonegoro, Pancasila adalah Pokok-Pokok Kaidah Negara yang Fundamental (staats fundamental norm) yang dituliskan, sehingga tidak dapat diubah, kecuali dengan pembubaran negara. Dalam kedudukannya sebagai staats fundamental norm, ia adalah norma dasar bagi pembentukan konstitusi dalam hal ini UUD 1945.
Sebagai staats fundamental norm, menyebabkan Pancasila menempati urutan tertinggi dalam hirarkhi peraturan perundangan di Indonesia. Bahkan batang tubuh UUD 1945 yang juga menjadi sumber hukum tertinggi di Indonesia yang sama sekali tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.
Dalam kedudukan hukumnya sebagai staats fundamental norm, Pancasila memiliki dua fungsi, yaitu: Fungsi kostitutif, karena akan menentukan dasar-dasar tata hukum negara, dan; Fungsi regulatif, Pancasila akan menentukan apakah suatu hukum positif adalah hukum yang adil atau tidak adil bagi negara.
Dari tinjauan yuridis ini, UUD NRI 1945 yang banyak bertentangan dengan Pancasila harus dikaji ulang agar koheren dengan Pancasila. Setiap warga negara Indonesia seharusnya memiliki komitmen menempatkan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi di Indonesia yang harus dijiwai oleh Pancasila.
Keterlibatan Asing dalam Proses Amendemen UUD 1945.
Sebagaimana telah diungkap dalam tinjauan sosiologi, bahwa UUD NRI 1945 merupakan konstitusi yang seharusnya mengatur masyarakat bangsa yang berbasis individual, bukan mengatur bangsa Indonesia yang berbasis masyarakat komunal. Kalau kemudian proses ini dapat terjadi dalam kontek perubahan UUD 1945, kasus ini adalah dampak globalisasi yang dipaksakan oleh Amerika Serikat dan negara Barat lainnya yang ingin mengekspor ideologi liberal kapitalis melalui demokratisasi. Maka tidak mengherankan apabila Amerika Serikat menumpangkan The National Democratic Institute (NDI) melalui Cetro untuk mengubah cara kehidupan Pancasila menjadi cara kehidupan liberal kapitalis. Sayangnya banyak pihak yang mengaku tokoh bangsa Indonesia yang terlibat pada proses ini tetapi tidak memahami atau mungkin tidak mau memahami terhadap hal yang esensial dan mendasar bagi bangsa Indonesia, atau mungkin untuk kepentingan dan keuntungan pribadi.
Menurut Buku Kaji Ulang Perubahan UUD 1945, selama proses amandemen UUD 1945 hingga empat kali, keterlibatan pihak asing dalam hal ini NDI memiliki peran yang dominan sebagaimana tercatat di dalam Mandat dan Filosofi NDI. Selain NDI, the International Republican Insitute (IRI) juga bermain, keduanya bermarkas di Washington. Dalam kontek perubahan UUD 1945, masih menurut Buku Kaji Ulang UUD 1945 ada 6 LSM dari Amerika, 7 LSM dari Eropa dan Australia, 9 orang agency Amerika Serikat dan 1 LSM Indonesia adalah Cetro.
Kepentingan pihak asing terutama NDI dan IRI serta sejumlah LSM asing ini terlibat, menurut Buku Perubahan Konstitusi dan Demokrasi Indonesia yang ditulis oleh Donald R Harowitz adalah kepentingan dan minat mereka yang sangat kuat pada institusi-institusi bergaya Amerika sebagai fasilitator demokrasi akar rumput yang menurut mereka jelas-jelas tidak ada di Indonesia. Secara kebetulan, seiring dengan dimulainya proses reformasi Indonesia, proses tersebut sangat terbuka dengan inspirasi asing.
Masih menurut Harowitz, keterlibatan LSM-LSM asing ini adalah mendukung Tim Tujuh dalam memosisikan institusi-institusi perwakilan Amerika Serikat atau negara lainnya agar bekerja demi proses demokrasi Indonesia. Tim Tujuh adalah sebuah kelompok di era Presiden BJ Habibie yang diketuai oleh pejabat negara senior yang berorientasi akademis. Tim ini terdiri atas seorang mahasiswa dan 6 akademisi, lima diantaranya berlatar belakang kuat ilmu politik Amerika serikat. Kelimanya menimba ilmu di Northern Illinois, negara bagian Ohio, atau Hawai. Beberapa desertasinyanya menyoroti sistim pemilu di Indonesia dan perilaku pengambilan suara. Kesamaan pendidikan Amerika mempersatu-kan mereka.
Masih terkait Tim Tujuh ini, Horowitz tidak menyebut secara spesifik tokoh-tokoh tersebut. Tetapi, Jurnal Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Siosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada Yogyakarta (JSP), Volume 2, Nomor 2, November 1998, tim yang ditugasi untuk merancang UU tentang Pemerintah Daerah dan Lembaga Kepresidenan berasal dari kalangan akademis yang berjumlah tujuh orang dan karenanya disebut sebagai Tim Tujuh. Mereka adalah, RR ketua Tim, AG, RS, AM, D, L dan Mahasiswa perwakilan politik. Tim Tujuh ini dibentuk melalui Keputusan Mendagri. Mereka ini sebagian besar memiliki latar belakang Northern Illionois University (NIU), Ohio atau Hawai.
Dari penjelasan tersebut, terlihat jelas ada pihak-pihak yang berniat membawa sistim Amerika ke Indonesia dan menjadi sistim pemerintahan yang berlaku di Indonesia. Sesuatu yang naif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ada orang Indonesia yang ingin memaksakan sistim orang lain berlaku di Indonesia. Kalaupun orang menginterpretasi ada niatan pihak-pihak tersebut menjual bangsa yang telah diperjuangkan kemerdekaannya oleh para pejuang bangsa yang mengorbankan jiwa, raga dan harta benda mereka, sah-dah saja, walaupun barangkali niatan mereka ingin memperbaiki bangsanya lewat demokrasi ala Amerika. Mereka boleh dikatakan Proxy Negara Sponsor.
Kesimpulan
Setelah berjalan 19 tahun, sudah saatnya bangsa Indonesia meninjau ulang UUD NRI 1945, hukum dasar yang selama ini digunakan untuk mengaturnya. Kalaupun kalah gugatan dr. Zulkifli di Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat, tetapi klausul gugatan tersebut nyata adanya, sebab menang dan kalah di Pengadilan Indonesia terkadang bukan hanya kebenaran materiilnya saja, tetapi juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak jelas. Kita masih harus menunggu proses peradilan tersebut. Bila dicermati secara keseluruhan, sesungguhnya sangat ironi dan menyedihkan cara-cara perwakilan kita melakukan perubahan UUD 1945.
Kalau merujuk pada Prof. Dr. Notonegoro, pembubaran negara Indonesia telah dilakukan karena mengabaikan staats fundamental norm yang tidak boleh dirubah. Benar mereka tidak mengubah, tetapi mengabaikan.
Berdasarkan semua analisis baik dari tinjauan Panca Gatra maupun tinjauan filosofis, ideologis, historis, sosiologis dan yuridis yang juga merupakan potret-potret nyata ketidaksesuaian hukum dasar tersebut untuk masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Disamping itu tidak ada satupun potret-potret yang ada dapat menjustifikasi bahwa UUD NRI 1945 tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila yang sesuai dengan sifat, karakter dan nilai-nilai dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia. Kalau hal ini dibiarkan berlarut, yang terjadi adalah kehancuran Indonesia secara permanen.
Oleh karena itu UUD NRI 1945 yang diberlakukan untuk mengatur tata kelola bermasyarakat, berbangsa dan bernegra Indonesia adalah konstitusi yang dipaksakan dan juga dikehendaki pihak asing serta para pihak di Indonesia yang ingin Indonesia kembali dijajah dengan model penjajahan di era modern.
Kehadiran NDI dengan segala kepentingannya adalah bukti. Para pihak yang dengan sengaja memaksakan amandemen UUD 1945 empat kali hingga seperti saat ini adalah agen-agen proxy pihak lain, agar mereka memiliki kebebasan tanpa batas untuk menebarkan pengaruhnya di Indonesia, yang mendorong bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bernegara dengan cara Amerika, atau dengan kata lain bangsa Indonesia hancur permanen. Satu-satunya cara untuk membumikan Pancasila dan sekaligus menyelamatkan Indonesia dari kehancuran permanen, adalah mengkaji ulang UUD NRI 1945 dengan cara: Meneliti pasal demi pasal secara komprehensif, menyeluruh, mendalam, teliti dan cermat kesesuaiannya dengan Pancasila; Menghidupkan kembali naskah Penjelasan UUD 1945, dan; Penyempurnaan terhadap UUD 1945 dilakukan dengan cara adendum. Transisi perubahannya diatur oleh MPR-RI sebagai lembaga tinggi negara yang memiliki tugas dan tanggung jawab tentang hal ini dengan catatan bahwa pemilu tahun 2024 telah menggunakan UUD 1945 asli yang telah diadendum.