Minggu, 7 Desember 2025

PEJABAT KOQ ASBUN..! Kepala BNPB: Saya Mohon Maaf, Tak Mengira Besarnya Dampak Banjir Sumatera

JAKARTA – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Suharyanto, memohon maaf atas kesalahannya dalam memandang dampak banjir Sumatera.

“Nah, Tapsel ini saya surprise begitu ya, saya tidak mengira sebesar ini. Saya mohon maaf, Pak Bupati,” kata Suharyanto usai meninjau lokasi terdampak banjir di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dikutip dari siaran Kompas TV, Minggu (30/11/2025).

Dia telah meninjau lokasi banjir di Kecamatan Batangtoru, ditemani Bupati Tapanuli Selatan Gus Irawan Pasaribu.

Dia memastikan upaya penanganan pasca-bencana banjir bandang ini terus dilakukan, termasuk pemenuhan logistik.

“Bukan berarti kami tidak peduli,” kata Suharyanto.

Pernyataan Suharyanto sebelumnya Pada Jumat (28/11/2025), Suharyanto sempat menepis informasi di media sosial soal keparahan dampak banjir Sumatera.

“Memang kemarin kelihatannya mencekam karena berseliweran di media sosial, tetapi begitu kami tiba langsung di lokasi, banyak daerah yang sudah tidak hujan. Yang paling serius memang Tapanuli Tengah, tetapi wilayah lain relatif membaik,” kata Suharyanto dalam konferensi pers saat itu.

Dia menyebut daerah Tapanuli Tengah sebagai daerah yang paling parah terdampak banjir.

Menurutnya, banjir dan longsor di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh masih berada pada tingkat daerah provinsi, tidak perlu ditetapkan berstatus bencana nasional.

Suharyanto menegaskan bantuan pusat tetap besar-besaran lewat BNPB, TNI, Polri, serta kementerian dan lembaga terkait.

“Karena statusnya tingkat provinsi, pemerintah pusat melalui BNPB, TNI, Polri, dan seluruh kementerian/lembaga memberikan dukungan maksimal. Buktinya, Presiden mengerahkan bantuan besar-besaran, TNI mengirim alutsista dalam jumlah besar, dan BNPB menggerakkan seluruh kekuatan yang ada,” tegasnya.

Dibesar-besarkan Media?

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Rabu (3/12), Kepala BNPB Suharyanto yang menyebut bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai sesuatu yang “dibesar-besarkan media” memicu gelombang reaksi publik. Ucapan itu dianggap kelalaian komunikasi pada saat masyarakat sedang berada dalam kondisi paling rentan.

Di tengah warga yang masih mencari anggota keluarga, membersihkan lumpur, dan bertahan dengan logistik seadanya, negara seharusnya hadir bukan hanya melalui bantuan fisik, tetapi juga melalui kepekaan tutur kata. Komunikasi publik bukan sekadar urusan memilih diksi. Ia adalah cara negara membingkai realitas.

Bukan Bencana Biasa, Ini Akibat Deforestasi Masif

Warga melintasi jembatan sementara di Desa Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Pada Senin (1/12/2025), Pangeran Mohammed bin Salman, menyampaikan belasungkawa atas bencana banjir dan tanah longsor di Indonesia yang menelan korban jiwa. (Ist)

Secara terpisah, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau menyebut rangkaian bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa hari terakhir bukan semata bencana alam, melainkan akibat deforestasi masif.

“Bencana di Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat dalam beberapa hari terakhir bukan semata bencana alam, melainkan bencana ekologi akibat deforestasi masif,” ujar Dewan Daerah Walhi Riau, Darwis Jon Viker melalui keterangan tertulis, Rabu (3/12/2025).

Darwis mengatakan ekspansi perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan pertambangan telah menghancurkan hutan tropis yang berfungsi sebagai penyangga air dan pelindung Daerah Aliran Sungai (DAS).

Kondisi ini diperparah oleh tata kelola lingkungan yang buruk serta kebijakan negara yang dinilai permisif terhadap pelanggaran kawasan hutan.

“Riau sendiri berada dalam ancaman yang sama dan semakin nyata. Lebih dari separuh wilayah provinsi ini telah dikuasai industri ekstraktif: data olahan Walhi Riau menunjukkan 4,9 juta hektare atau 55,48 persen lahan Riau telah beralih fungsi menjadi perkebunan monokultur kelapa sawit skala besar dan konsesi pertambangan,” ungkap Darwis.

TLH Walhi Riau mencatat sejak era perizinan masif dimulai tahun 1983, provinsi ini kehilangan 5,37 juta hektare atau 59,73 persen tutupan hutan alam. Penguasaan lahan oleh industri ekstraktif dinilai berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan yang masif.

Secara geografis, Riau adalah dataran rendah yang dilalui lima sungai besar, sehingga sangat rentan banjir.

Darwis menyebut seluruh kabupaten dan kota di Riau masuk kelas risiko tinggi banjir berdasarkan Kajian Risiko Bencana Nasional 2022–2026, tetapi baru Kabupaten Rokan Hulu yang menetapkan status siaga darurat hidrometeorologi.

Darwis juga mengingatkan bahwa kondisi hidrometeorologi di Sumatera saat ini berada pada fase ekstrem. Dua provinsi tetangga,

Sumatera Barat dan Sumatera Utara, telah menetapkan status darurat bencana, sementara curah hujan ekstrem disebut berpotensi membawa limpahan massa air ke Riau.

“Pulau Sumatera sedang darurat bencana, dan Riau berada tepat di lingkaran bahaya yang sama. Lambannya pemerintah menetapkan status siaga darurat hanya akan memperbesar risiko, serta meninggalkan masyarakat dalam ketidakpastian dan kerentanan yang tidak perlu,” kata Darwis.

Ia menegaskan pemerintah memiliki kewajiban melakukan pencegahan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 dan berbagai regulasi turunannya. Namun praktik di lapangan dinilai menunjukkan kerangka kebijakan tidak berjalan efektif. Riau tidak hanya menghadapi ancaman banjir dan longsor, tetapi juga abrasi, penurunan muka tanah, banjir rob, serta kebakaran hutan dan lahan.

“Dalam catatan BPBD Riau sepanjang tahun 2025 sekitar seribu hektare hutan dan lahan telah terbakar,” ujar Darwis.

Hal itu membuat status Riau meningkat menjadi tanggap darurat karhutla pada Juli lalu.

Analisis spasial Walhi Riau melalui satelit Aqua dan Terra menunjukkan ada 434 titik panas sepanjang periode 1 Mei sampai 2 Desember 2025, tersebar di sembilan kabupaten dan kota. Kabupaten Rokan Hulu dan Rokan Hilir menempati urutan teratas.

Direktur Walhi Riau, Eko Yunanda, menilai pemerintah masih mengandalkan penanganan darurat alih-alih pencegahan.

“Selama pemerintah hanya menangani bencana setelah terjadi, biaya sosial dan ekologis akan terus meningkat. Tanpa evaluasi mendalam terhadap penyebab struktural seperti kerusakan DAS, deforestasi, dan ekspansi industri, bencana akan berulang dan bahkan semakin parah. Hingga hari ini tidak ada solusi nyata yang mencegah tragedi ekologis di Riau terjadi berulang kali,” kata Eko.

Ia mengatakan situasi darurat di Sumatera seharusnya menjadi peringatan keras bagi Riau karena kerusakan ekologis tidak mengenal batas administratif.

“Bencana hari ini adalah akibat langsung dari kebijakan yang bertahun-tahun mengorbankan lingkungan demi keuntungan korporasi. Selama negara tetap mempertahankan tata kelola pro-ekstraktif, masyarakat akan terus menjadi korban dari krisis ekologis yang sebenarnya bisa dicegah,” terang Eko.

Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Kaliptra Andalas, Romes Irawan Putra, meminta pemerintah bergerak cepat menghadapi ancaman banjir di wilayah sekitar sungai besar. Ia menilai potensi banjir akan sangat tinggi jika curah hujan meningkat.

“Jika pemerintah pusat dan daerah tetap tutup mata terhadap ancaman nyata eksploitasi sumber daya alam, kehancuran peradaban Riau bukan lagi kemungkinan, melainkan kepastian. Kita bertanggung jawab penuh atas kelangsungan hidup dan masa depan anak-cucu kita. Hari ini kita memilih: menjadi pewaris kehancuran atau penjaga harapan,” kata Romes.

Presiden Prabowo Subianto (tengah) meninjau Jembatan Pante Dona di Kabupaten Aceh Tenggara, Senin (1/12/2025). Jembatan Pante Dona rusak parah akibat bencana banjir besar yang melanda pada akhir November kemarin. (Ist)

Langkah-langkah Pemerintah Tangani Banjir Sumatera

Dilaporkam juga, pemerintah mengerahkan berbagai upaya untuk menangani bencana banjir dan longsor yang menimpa tiga provinsi di Sumatera, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Proses penanganan bencana tersebut langsung dikomandoi oleh Presiden Prabowo Subianto.

“Presiden perintahkan langsung, komandonya dari beliau,” kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, di Kantor Kemendagri, Jakarta, Selasa (2/12/2025).

Tito mengungkapkan bahwa Prabowo telah meminta jajarannya memantau perkembangan penanganan bencana di Sumatera setiap hari.

“Perintah presiden langsung itu. Dan beliau memantau tiap hari. Kita juga memiliki grup yang memantau perkembangan tiap hari. Saling sharing di antara kita,” imbuh dia.

Menurut Tito, semua kekuatan sudah hadir untuk menangani bencana alam di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh. Meski ada daerah yang masih terisolir, semua sedang ditangani.

“Kemudian jembatan, jalan, ada beberapa daerah yang masih terisolir. Tapi, suplai sudah dilakukan secara maksimal baik BBM, pangan, dilakukan menggunakan akses yang ada,” ucap dia.

Data Kerusakan

Tito mengaku akan mendata kerusakan di tiga provinsi Sumatera yang terdampak bencana banjir bandang hingga longsor.

“Kita pasti akan melakukan pendataan tiga provinsi,” kata Tito.

Jika nantinya daerah tidak sanggup memperbaikinya, pemerintah pusat akan ikut membantu. Tito menegaskan, perbaikan terhadap infrastruktur di daerah terdampak bencana akan dilakukan setelah tahap darurat krisis. Sebab, hingga saat ini, semua pihak sedang fokus melakukan evakuasi para korban.

“Step yang pertama adalah bagaimana untuk mengevakuasi korban, sedang berjalan ada yang masih tertimbun, kemudian juga membantu korban yang terdampak baik yang rumahnya tergenang, ada di pengungsian, dan lain-lain,” ujar dia.

Setelah evakuasi, menurut Tito, pemerintah akan fokus memperbaiki infrastruktur fasilitas umum yang rusak. Selanjutnya, pemerintah juga akan melakukan perbaikan hunian rumah warga terdampak.

“Hunian rumah masyarakat ada yang bisa diperbaiki, ada yang memang tidak bisa diperbaiki harus dipindahkan ke hunian sementara. Setelah itu baru hunian tetap,” ujar dia.

Buka Akses Jalan

Pemerintah juga terus mengupayakan pembukaan akses jalan, khususnya bagi daerah yang masih terisolir. Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo mengatakan, kementeriannya terus fokus untuk membuka akses jalan yang terdampak bencana di tiga provinsi Sumatera.

“Sementara di Aceh juga ada beberapa titik yang belum kita buka, kita juga lagi fokus di Aceh. Jadi, Aceh dan Sumut fokus kita hari ini,” ujar Dody, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (2/12/2025).

Dody melanjutkan, saat ini sejumlah titik di Sumut sudah terbuka dan tidak terisolasi lagi. Salah satunya adalah wilayah Sibolga yang sudah bisa dilalui oleh motor dan mobil, meski belum dapat dilintasi truk.

“Sibolga itu sudah terbuka, tapi belum (bisa dilewati) truk. Sampai kemarin itu truk yang kecil itu belum bisa masuk. Hanya baru mobil kecil dan motor. Karena menggunakan dua batang pohon kelapa yang dijejer supaya bisa jalan dulu,” papar Dody.

Bangun Dapur Umum

Dalam rangka membantu korban selamat, pemerintah mendirikan 30 dapur umum di lokasi bencana banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.

Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf atau Gus Ipul mengatakan, puluhan dapur tersebut menyajikan makanan kurang lebih 80.000 porsi setiap harinya untuk para korban yang terdampak.

Dapur-dapur tersebut akan terus berdiri sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

“Kami juga mendirikan beberapa dapur umum di 30 titik kira-kira, baik itu yang didirikan bersama pemerintah daerah atau yang didirikan oleh masyarakat secara mandiri,” kata Gus Ipul, saat ditemui di Kantor Kemensos, Jakarta Pusat.

Sementara operasional dapur dijalankan oleh lebih dari 500 personel dari Taruna Siaga Bencana (Tagana) yang juga membantu evakuasi.

“Kemudian yang juga terlibat adalah teman-teman Taruna Siaga Bencana (Tagana). Ada lebih dari 500 Tagana yang terlibat membantu evakuasi maupun juga membantu di dapur-dapur umum,” ucap dia.

Hunian Untuk Korban

Di sisi lain, Kementerian Sosial (Kemensos) sedang merencanakan pembangunan hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap) bagi korban bencana banjir dan longsor di Sumatera.

Mensos RI mengatakan, rencana huntara dan huntap merupakan bagian dari rekonstruksi dan rehabilitasi.

“Lagi dipersiapkan oleh Kepala BNPB untuk menyiapkan hunian sementara, sudah ada programnya. Setelah itu nanti akan disiapkan hunian tetap juga. Jadi, ada hunian sementara, ada hunian tetap,” ujar Gus Ipul.

Sembari skema soal hunian disiapkan, kata Gus Ipul, pemerintah kini sedang fokus melaksanakan tahap evakuasi dan penyaluran bantuan logistik untuk para korban.

Gus Ipul berjanji, masyarakat yang kehilangan rumah bisa mendapatkan tempat sementara dan sekaligus nanti akan didiskusikan untuk dibangun hunian yang tetap.

“Biasanya sih nanti daerah yang menyediakan lahan atau mungkin juga menggunakan lahan-lahan milik pemerintah. Kemudian nanti akan dibangun secara bertahap,” ujar dia.

Beri Santunan Rp 15 juta

Selain itu, pemerintah juga akan memberikan santunan kematian senilai Rp 15 juta kepada ratusan warga yang tewas akibat bencana tersebut. Selain itu, ada juga santunan bagi korban luka sebesar Rp 5 juta untuk korban banjir Sumatera.

“Kalau untuk yang wafat ada santunan Rp 15 juta. Kalau untuk yang luka-luka berat ada Rp 5 juta,” ujar Gus Ipul. Ia menuturkan, santunan yang merupakan bentuk tali asih dari pemerintah ini akan diberikan setelah seluruh asesmen rampung. “Ini adalah bentuk tali asih untuk meringankan beban dan menguatkan kebersamaan kita di tengah-tengah bencana,” kata Gus Ipul. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru