Selasa, 1 Juli 2025

KEREN NIH..! Yulius Bobo, Tak Lelah untuk Sumba

JAKARTA- Pengabdian tanpa batas. Kira-kira begitulah pikiran Yulius Bobo, SE, MM. Figur ini sebenarnya tidak asing bagi orang Sumba dan NTT. Sejak era reformasi sampai kini, namanya selalu mewarnai pentas politik di Sumba ataupun NTT. Seolah kalah dan menang dalam pertarungan politik sebagai hal yang biasa baginya. Tipikal seorang politisi sejati ada dalam dirinya, karena tidak mempermasalahkan kalah dan menang. Kalah selalu bangkit dan bangkit lagi. Politisi itu memang selalu mati berkali-kali. Tetapi akan selalu menemukan titik untuk bangkit lagi.

Namun, sebelum memasuki dunia politik, Yulius Bobo memiliki perjalanan yang cukup panjang sebagai seorang pengusaha yang cukup sukses di Jakarta. Hanya saja, manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Arah kaki Yulius Bobo berbelok arah dari dunia usaha ke dunia politik. Tidak main-main. Yulius Bobo sukses melenggang ke Senayan sebagai anggota DPR RI/MPR RI pada pada periode awal reformasi (1999-2004).

Ketika menjadi anggota DPR RI inilah, salah satu karya yang tak terlupakan, bagaimana perwakilan dari Sumba di Senayan merealisasikan dan mendorong pemekaran Sumba Barat menjadi tiga kabupaten, Sumba Barat (induk), Sumba Tengah dan Sumba Timur. Untuk itu, Yulius Bobo juga merupakan salah satu figur yang aktif untuk mengupayakan pembentukan Provinsi Sumba Sabu sebagai penghubung tim dari NTT dan Jakarta. Hanya saja, upaya ini masih butuh kerja keras karena masih dalam proses perjuangan.

Dalam Pemilu 2004, Yulius Bobo tidak lagi terpilih, tetapi dia menempati posisi yang strategis di salah satu kementerian sebagai staf khusus untuk Menteri Manuel Kaisiepo dan Menteri Syaifullah Yusuf. Setelah itu, juga pernah bertarung untuk jabatan bupati di Sumba Barat dan Wakil Gubernur NTT berpasangan dengan Gaspar Parang Ehok. Namun, seperti diketahui, keduanya belum berhasil.

Setelah berkelana di dunia politik, Yulius Bobo berpikir untuk beristirahat dan mengabdi di Sumba, apalagi semua anaknya sudah memiliki kehidupan yang mandiri. “Saya berdiskusi dengan anak-anak untuk pulang ke Sumba. Meski ada nada keberatan, tetapi saya jelaskan, kalau saya ini anak kampung, yang punya ikatan emosional dengan Sumba,” tutur Yulius Bobo dalam percakapan santai di kawasan Cibubur, Jakarta Timur, 1 Maret 2023.

Singkat kata, Yulius Bobo memutuskan untuk mengabdi di Sumba, untuk membantu apapun yang bisa dilakukan dan sekecil apapun agar Sumba mengejar ketertinggalan. “Saya sangat memahami situasi, sehingga tidak muluk-muluk. Saya hanya coba memberikan contoh. Sangat berharap ada yang mengikuti. Dari ratusan orang kalau ada satu saja yang mengikuti, saya sudah sangat senang. Saya tidak mencari untung, tidak ada lagi yang saya cari,” katanya.

Dikutip dari Sumbanews.com Bergelora melaporkan, Yulius Bobo mendirikan Yayasan Kalakioma Peduli 2017 yang bergerak di Sumba Barat Daya, yang fokus untuk pemberdayaan manusia dan kesehatan, pemberdayaan ekonomi, penelitian dan teknologi serta konservasi budaya. Dia sendiri menjadi ketua yayasan ini. Tentu, memulai sesuatu itu selalu sulit, namun dengan upaya yang konsisten dan fokus, secara perlahan Yulius Bobo mempraktekkan berbagai inovasi, yang dirasakan bisa berdampak langsung kepada komunitas. Misalnya, berusaha meningkatkan nilai ekonomi dari kain tenun. Sebab, dia menyaksikan para penenun nyaris tidak ada yang bisa hidup dari hasil kerja menenun, karena menenun itu masih dilihat sebagai kerajinan, sehingga hanya dikerjakan pada waktu luang. Setelah memutar otak sedikit, Yulius Bobo menemukan ada sedikit celah yang bisa dikembangkan dan bisa menampung hasil kain tenun.

Ide itu muncul ketika Yulius Bobo menyaksikan, Indonesia sebagai Negara muslim terbesar justru mengimpor sajadah dari berbagai Negara. Hal ini menggerakkan Yulius untuk mencoba memadukan potensi lokal dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Akhirnya, dia melakukan sedikit riset untuk mengecek Negara pengimpor dan teknik pembuatan sajadah. Dengan bekal pengetahuan itu, dia meminta para penenun untuk membuat sajadah dari kain tenun Sumba. “Ternyata tidak mudah. Bisa dimaklumi, karena para penenun merupakan Kristiani, karena berkaitan dengan ukuran dan penempatan motif masjid, tetapi setelah beberapa kali uji, akhirnya kita berhasil membuat sajadah dari kain tenun. Saya pikir sangat indah Indonesia ini, karena umat Kristen membuat sajadah untuk saudaranya yang muslim,” tutur Yulius Bobo.

Sajadah dari bahan tenun Sumba, NTT. (foto: Yayasan Kalakioma Peduli)
Setelah berhasil menenum sajadah, ternyata persoalan belum selesai. Meskipun Yayasan akan membeli semua sajadah yang dihasilkan penenun, tetapi ternyata tidak ada kedisiplinan dari para penenun, karena memang sudah terbiasa sebagai kerajinan, bukan sebagai industry rumah tangga. “Jadi, penenun tidak peduli dengan untung dan rugi, tidak menghitung waktu, tenaga dan modal. Ini yang harus diubah secara perlahan. Untuk itu, Yayasan memutuskan untuk membeli tenun paling lambat tanggal 5 setiap bulan. Kalau tanggal 6, maka dibayar bulan depan,” katanya.

Kalau saja disiplin dengan waktu, maka seorang penenun bisa menghasilkan sekitar Rp 3 juta per bulan dan bisa menjadi pemasukan rutin setiap bulan. “Kalau ditekuni sebagai industry, sebagai satu pekerjaan, maka penenun akan bisa menghidupi kebutuhan keluarga. Kami mau seperti itu, sehingga penenun bisa menikmati hasil jerih payahnya. Juga bisa membuka lapangan kerja yang sangat luas,” tutur Yulius Bobo.

Selain tenun, jelas Yulius Bobo, Yayasan juga memperkenalkan bibit padi unggul, papaya, durian, pisang, sayuran, seperti tomat dan terong. Menurutnya, semua itu dilakukan agar masyarakat bisa melihat sendiri, ternyata kalau pertanian ditekuni dengan benar, maka akan mendatangkan hasil yang sangat besar. “Kalau tanam pepaya, jangan hanya satu atau dua pohon, tapi tanam 100 pohon, begitu juga tanam pisang 100 pohon. Kalau sudah dipanen, maka akan meraih hasil yang sangat mencukupi untuk anak sekolah atau memenuhi kebutuhan,” katanya.

Yulius Bobo juga memiliki usaha ayam petelur dan pemeliharaan ayam untuk memenuhi kebutuhan di Pulau Sumba. Sebab, sangat disayangkan, hamper di seluruh Sumba tidak memiliki usaha ayam petelur, padahal usaha ini sangat menjanjikan. Begitu juga, misalnya, dia menemukan kripik dipasok dari luar Sumba, padahal kripik itu bisa dibuat di Sumba karena memiliki bahan baku yang melimpah, sehingga hanya membutuhkan kemasan yang bagus seperti kripik yang dipasok ke Sumba.

Dia hanya melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk memberikan contoh kepada masyarakat, karena kalau hanya bicara, maka hal itu tidak akan membawa pengaruh. Bahkan, setelah melihat contoh, belum tentu juga ada yang tergerak untuk meniru. Tapi, suatu ketika mereka akan mengingat kalau apa yang dilakukan akan menemui kebenarannya. “Mungkin mereka hanya bilang, oh betul yang dilakukan Pak Yulius,” ujarnya.

Pulau Sumba ini sangat tertinggal kalau disbanding daerah lain, tidak bisa kalau dikelola dengan cara yang biasa, tetapi harus dengan cara luar biasa dan ada hati untuk benar-benar membangkitkan Pulau Sumba. Kalau masih hanya mengandalkan program, maka situasi akan sangat lambat untuk berubah, Sumba membutuhkan gerakan massal untuk bersama-sama bangkit.

“Saya tidak mau muluk-muluk, saya cukup melakukan hal yang kecil, memelihara ayam dengan bibit yang baik, sayuran, buah-buahan dan sebagainya. Syukur apa yang Yayasan lakukan bisa berjalan sampai saat ini, meski saya tidak untung, ya tidak apa-apa, yang penting masyarakat bisa terinspirasi. Ada satau atau dua orang yang terinspirasi sudah baik,” tuturnya.

Yulius Bobo menuturkan, ada banyak orang yang mau berkunjung ke kebunnya. Namun, dia akan menanyakan, kalau hanya untuk lihat-lihat saja sebaiknya tidak usah, tetapi dia akan menyambut dengan tangan terbuka kalau ada yang mau ikut berkebun, bertani dan beternak. “Saya akan bagi pengalaman, sehingga kegagalan saya tidak terulang. Kalau hanya datang sekadar berkunjung, ya sudahlah. Kalau mereka ada kebun dan mau mengikuti, tentu saya sangat senang,” katanya.

Bagi Yulius Bobo, berada dalam sistem atau di luar sistem tetap merupakan bagian dari pengabdian. Berpolitik juga bagian dari pengabdian, sebab dengan kekuasaan itulah dimanfaatkan untuk melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan masalah kerakyatan. Lantas apa yang membedakan? Tentu beda, karena berada dalam sistem lebih mudah untuk mengarahkan sumber daya dan dana untuk mempercepat perubahan. Sedangkan, berada di luar sistem, tentu hanya mengandalkan sumber daya pribadi pribadi yang sangat terbatas.

“Bagi saya, kalau ditanya apakah berhenti berpolitik atau tidak? Tentu, kalau politik dimaknai sebagai pengabdian, dimaknai sebagai kesempatan untuk berbuat yang terbaik bagi rakyat, maka tidak boleh berhenti berbuat untuk rakyat, berada dalam sistem ataupun di luar sistem,” tuturnya.

Ketika menyerempet persoalan politik praktis di 2024, Yulius Bobo menuturkan, kalau sebagai politisi dan orang partai, maka tentu sangat tergantung dari pimpinan partai. Kalau dianggap masih bisa berikan kontribusi tentu diakomodir, kalau tidak, ya tentu harus mengikuti garis organisasi. Menurutnya, saat ini, dirinya tercatat sebagai Pembina atau Korwil Partai Amanat Nasional (PAN) NTT. Untuk itu, apakah ambil bagian dalam Pemilu 2024, masih dalam pertimbangan, tetapi tidak ada yang mustahil.

“Kalau diperintah ikut caleg, ya harus ikut. Diminta tarung pilkada, tentu akan ikut juga. Semua tergantung kebutuhan partai. Secara pribadi, kalau masih bisa mengabdi, maka tidak boleh menolak untuk berbuat yang terbaik. Yang jelas, saya punya ide, punya pengalaman dan punya jaringan yang bisa membantu mewujudkan ide-ide kemasyarakatan. Sekali lagi, manusia berencana, Tuhan yang menenukan,” tegasnya.(Daniel DT)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru