Rabu, 2 Juli 2025

KERUGIAN LAMPAUI KASUS PT TIMAH Rp271 TRILIUN..! Bareskrim Mulai Selidiki Dugaan Pidana Kasus IUP di Raja Ampat

JAKARTA — Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi membayangkan aktivitas pertambangan  nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya telah menimbulkan kerugian yang secara nominal bahkan melebihi dampak kasus PT Timah Tbk.

Fahmy mengemukakan, kerusakan ekosistem berdampak pada aktivitas pertambangan lebih besar daripada keuntungan ekonomi yang dikantongi negara dari kegiatan sejumlah perusahaan tambang yang beroperasi di Raja Ampat.

“Apalagi ini untuk di Raja Ampat, itu kan banyak flora dan fauna dan spesies yang langka. Kalau itu kemudian punah, itu kan nggak bisa direklamasi. Nggak bisa didatangkan lagi ikan yang mati tadi. Nah, maka itu kerugiannya sangat besar,” kata Fahmy, Rabu (11/6).

Secara kalkulasi, lanjut Fahmy, nilai kerugian negara dari aktivitas pertambangan di Raja Ampat bisa lebih dari Rp300 triliun, berkaca dari dugaan kasus korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk tahun 2015-2022.

Berdasarkan perhitungan ahli lingkungan hidup, negara mengalami kerugian senilai Rp271 triliun akibat kerusakan lingkungan dari penambangan ilegal dalam kasus PT Timah.

“Nah, maka berdasarkan perhitungan itu ya sebesar itu kerugian kerusakan alam, tapi pastinya kalau di Raja Ampat itu jauh lebih besar,” kata Fahmy.

Bagi Fahmy, langkah Presiden Prabowo Subianto mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat dari lima perusahaan yang beroperasi di kawasan Raja Ampat belumlah cukup. Dia berharap pemerintah memberikan perlakuan serupa terhadap PT GAG Nikel (GN).

Dari kacamata Fahmy, dalih bahwa perusahaan tersebut telah mengimplementasikan reklamasi secara baik, maupun jarak 40 kilometer antara lokasi tambang (Pulau Gag) dengan pusat konservasi utama Raja Ampat tidak dapat dijadikan pembenaran.

Sebagai contoh, beber Fahmy, limbah tambang nikel berupa debu bisa terbawa angin hingga ratusan kilometer. Ini tentu bisa menimbulkan kontaminasi, bahkan membahayakan kesehatan manusia karena kandungan arsenik dalam debu tambang nikel ini.

“Jadi kalau alasannya tidak ditutup itu karena jauh, saya kira itu tidak tepat juga,” tegas Fahmy.

“Nah, kemudian yang paling penting juga PT GAG itu melanggar undang-undang,” sambungnya.

Menurut Fahmy, PT GAG telah melangkahi UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. UU tersebut juga melarang segala aktivitas tambang di pesisir maupun pulau yang luasnya kurang dari 2 ribu kilometer persegi.

“Itu berdasarkan undang-undang yang sudah didukung oleh mahkamah agung maupun mahkamah konstitusi. Itu dilarang untuk melanggar penambangan di pulau kecil tadi tanpa syarat apapun gitu ya. Nah, itu melanggar,” tegas Fahmy.

Fahmy menekankan, Raja Ampat sudah semestinya bebas dari segala aktivitas pertambangan demi menghentikan potensi krisis ekologi. Lebih jauh, aparat termasuk kejaksaan juga harus turun tangan mengusut bagaimana kelima perusahaan bisa mengantongi izin tambang di Raja Ampat.

“Nah, jangan-jangan gitu ya, selamanya di Indonesia itu kan ada semacam KKN gitu ya. Ada semacam kongkalikong sehingga keluar lah izin tadi. Nah, ini barangkali perlu diusut kalau itu terbukti, ya harus ditindak secara pidana dengan aturan hukum yang ada,” pungkasnya.

Sebelumnya, terdapat lima perusahaan tambang yang memiliki IUP di wilayah Raja Ampat.

Dua perusahaan, PT GAG Nikel dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP), mendapat izin dari pemerintah pusat. Sementara tiga lainnya, PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham, mengantongi izin dari Pemerintah Daerah Raja Ampat.

Keberadaan dan aktivitas mereka telah menjadi sorotan menyusul pencabutan IUP oleh Presiden Prabowo Subianto terhadap empat di antaranya.

Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri pun mulai menyelidiki dugaan tindak pidana terkait IUP di kawasan Raja Ampat.

Bareskrim Mulai Selidiki

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri mulai menyelidiki dugaan tindak pidana terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP) di kawasan Raja Ampat.

Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Brigjen Nunung Syaifuddin mengatakan penyelidikan dilakukan terhadap empat IUP yang telah dicabut pemerintah.

“Kita masih dalam penyelidikan. Sesuai dengan undang-undang kita boleh (menyelidiki),” ujarnya kepada wartawan di Bareskrim Polri, Rabu (11/6).

Nunung menjelaskan proses penyelidikan itu dimulai dari adanya temuan dugaan pelanggaran pidana. Ia menyebut salah satu yang akan menjadi fokus penyelidikan yakni soal kerusakan lingkungan akibat tambang nikel di wilayah Raja Ampat.

“Namanya tambang itu pasti selalu ada kerusakan lingkungan. Tambang mana yang gak ada kerusakan lingkungan saya mau tanya. Makanya ada aturan untuk reklamasi, ada di situ kewajiban pengusaha untuk memberikan jaminan reklamasi,” ujarnya.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto memutuskan mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Empat perusahaan yang IUP-nya dicabut itu, yakni PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining.

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menjelaskan keputusan itu diambil oleh Presiden Prabowo saat rapat terbatas bersama sejumlah menteri di Hambalang, Jawa Barat, Senin (9/6/2025).

“Atas petunjuk Bapak Presiden, beliau memutuskan pemerintah akan mencabut izin usaha pertambangan untuk empat perusahaan di Kabupaten Raja Ampat,” kata Pras. (Web Warouw)

 

 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru