Oleh: Shao Xia *
DI TENGAH gejolak global, kebijakan gegabah pemerintahan AS saat ini telah menyingkap kemerosotan hegemoni Amerika, sehingga kontur era pasca-Amerika menjadi lebih jelas.
Kemunduran Hegemoni Terus Berlanjut
Selama beberapa dekade, hegemoni ekonomi AS tidak bergantung pada prinsip-prinsip pasar bebas, melainkan pada status istimewa dolar untuk mengekstraksi nilai global. Sistem semacam itu memprioritaskan ekspansi keuangan yang didorong oleh modal dengan mengorbankan ekonomi riil.
Setelah Perang Dunia II, Amerika Serikat dengan cepat memperluas jaringan keuangan globalnya sambil memindahkan sebagian besar manufakturnya ke luar negeri, yang menyebabkan ketergantungan yang besar pada utang Treasury.
Melonjaknya tingkat utang mendorong kenaikan imbal hasil dan mengalihkan modal ke pasar keuangan dan menjauh dari industri, menciptakan lingkaran setan pengosongan industri, krisis utang, dan kemerosotan ekonomi.
Saat ini, utang federal AS melebihi $37 triliun, sementara porsi manufaktur terhadap PDB telah turun hingga di bawah 10 persen.
Pinjaman tanpa batas juga telah mendorong defisit fiskal ke rekor tertinggi.
Pada tahun 2024, Amerika Serikat mengalami defisit sebesar $1,8 triliun—separuhnya dihabiskan untuk pembayaran bunga. Pada pertengahan tahun fiskal 2025, defisit tersebut telah melampaui $1,3 triliun.
Kantor Anggaran Kongres (CBO) memperingatkan bahwa utang federal dapat melonjak sebesar $20 triliun selama dekade berikutnya.
Di tengah tekanan fiskal ini, pemerintah memperkenalkan “One Big Beautiful Bill Act”—paket besar infrastruktur, subsidi industri, dan program kesejahteraan sosial yang hampir seluruhnya didanai oleh pinjaman. Pasar telah menyadari bahwa pengeluaran yang tidak terkendali seperti itu hanya menambah beban utang dan berisiko menyebabkan kebangkrutan jangka panjang.
“Dolar adalah mata uang kami, tapi itu masalah Anda,” kata seorang pejabat Amerika.
Kini, masalah dolar kembali menghantui penciptanya.
Ray Dalio, pendiri Bridgewater Associates, memperingatkan bahwa menurunnya permintaan obligasi pemerintah AS dapat memaksa pemerintah untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut, yang akan mendorong perekonomian ke dalam “lingkaran kematian”.
Erosi Soft Power
Sejak menjabat, pemerintahan AS telah meninggalkan visi global idealisnya demi pola pikir transaksional yang dipicu oleh kebencian dan kepentingan pribadi. Pergeseran ini telah memunculkan arogansi dan pemaksaan, yang secara sembrono menggerogoti kekuatan lunak Amerika.
Salah satu indikator utamanya adalah terkikisnya kredibilitas internasional AS.
Pemerintah AS telah menghidupkan kembali pola penarikan sepihak—membatalkan kesepakatan nuklir Iran, keluar dari Perjanjian Paris, dan menangguhkan sebagian besar bantuan asing.
Pendekatan yang berjalan sendiri ini menandai pergeseran tajam dari tatanan multilateral yang pernah dijunjung tinggi AS, yang membuat AS semakin terisolasi dan tidak dipercaya.
Dalam tulisan terakhirnya, Joseph Nye—yang dikenal sebagai bapak “soft power”—memperingatkan bahwa Amerika sedang membongkar aset globalnya yang paling ampuh.
Survei mengonfirmasi kekecewaan ini. Jajak pendapat Morning Consult menunjukkan tingkat penerimaan bersih Tiongkok meningkat dari negatif pada awal 2024 menjadi 8,8 pada Mei 2025, sementara peringkat AS anjlok dari 20 menjadi -1,5.
Jajak pendapat Latinobarómetro di Meksiko menemukan bahwa 64 persen responden mendukung perluasan perdagangan dengan Tiongkok, dibandingkan dengan hanya 37 persen untuk Amerika Serikat.
Data dari perusahaan jajak pendapat global Ipsos mengonfirmasi pembalikan ini: tingkat penerimaan Amerika turun dari 66 persen pada 2015 menjadi 46 persen pada 2025, sementara tingkat penerimaan Tiongkok naik dari 47 persen menjadi 49 persen.
Seperti yang dikatakan secara blak-blakan oleh seorang responden Australia, “Kita dapat hidup tanpa Amerika, tetapi dunia tidak dapat hidup tanpa China.”
Penurunan Pengaruh Global
Pada tahun 1941, Henry Luce, pendiri majalah Time, membayangkan dunia yang damai di bawah kepemimpinan AS. Delapan dekade kemudian, kepemimpinan itu tak lagi terjamin.
Di Ukraina, janji-janji berani berujung pada ambiguitas. Di Timur Tengah, keseimbangan di luar negeri goyah, dengan Israel semakin mendikte persyaratan. Di Iran, AS terlibat dalam perundingan sambil melancarkan serangan.
Bahkan sekutu tradisional pun enggan mengikuti jejaknya. Eropa telah memberlakukan tarif balasan, dan empat dari negara Five Eyes telah memberikan sanksi kepada pejabat Israel meskipun ada keberatan dari AS.
Jajak pendapat Pew pada Juni 2025 menemukan bahwa di semua sekutu G7 Amerika, lebih dari separuhnya menyatakan tidak percaya pada kepemimpinan Amerika dalam urusan global, menyebutnya “arogan dan berbahaya”.
Di seluruh dunia, sebuah “kebangkitan kedua” yang dahsyat sedang berlangsung. BRICS dan Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) semakin menguat, menawarkan platform alternatif bagi negara-negara berkembang untuk tatanan internasional yang lebih adil dan multipolar.
Puluhan negara berkembang telah bersama-sama mengajukan keluhan kepada WTO atas tarif balasan AS.
Negara-negara Amerika Latin telah membentuk “aliansi anti-tarif”. Negara-negara Amerika Tengah menyuarakan penolakan mereka terhadap kebijakan imigrasi AS.
Kemunduran soft power, kapasitas industri, dan kedudukan global AS menandakan lebih dari sekadar fase transisi—hal ini menandai munculnya tatanan dunia pasca-Amerika.
Dunia tidak lagi menunggu Washington untuk memimpin.
—–
*Penulis Shao Xia, seorang komentator urusan internasional, menulis secara teratur untuk Xinhua News, Global Times, China Daily, CGTN dll.
Artikel ini diterjemahkan Bergelora.com dari People’s Daily Online dari artikel yang berjudul ‘When the world turns its back on the United States’