Senin, 15 September 2025

Ketika Kambing Hitam Melekat Pada Profesi Dokter

Oleh: Dr. Agung Sapta Adi, SpAn.

Freddi Budiman gembong narkoba Indonesia telah dieksekusi mati dengan menyisakan misteri sindikat besar yang membantunya. Dugaan keterlibatan aparat dalam peredaran narkoba lebih susah dibuktikan dibanding dengan keberhasilan aparat menangkap penjahat sekelas Freddi Budiman yang omsetnya ratusan milyar. Begitupula kasus vaksin palsu, pembuat dan pengedarnya telah ditangkap bahkan sudah berkembang menjadi 25 tersangka termasuk tambahan 2 dokter dari RS Harapan Bunda.

Total ada 5 dokter menjadi tersangka kasus vaksin palsu. Sebuah tantangan bagi Polri untuk membuktikan keterlibatan oknum dokter tersebut dan membedakan dokter sebagai pelaku ataukah korban. Bukan tidak mungkin akan makin banyak dokter yang dijadikan tersangka bila memberikan vaksin palsu kepada pasien selalu dianggap tahu dan terlibat sebagai pengedar. 

Jikalau kasus vaksin palsu hanya berakhir pada pelaku pemalsuan dan pengedarnya tanpa mengungkap aparat yang terlibat,– walaupun sekedar membiarkan kejahatan tersebut terjadi hingga 13 tahun maka tak ubahnya seperti menghukum gembong narkoba tapi tidak menyentuh aparat dan sistem keamanan nasional maupun peradilan yang melindungi kejahatan narkoba.

Sudah bukan rahasia ada pihak yang mendapatkan keuntungan dari bencana narkoba di tanah air, mereka bukan individu atau kelompok kecil tapi bisa dikatakan mafia bahkan konspirasi global. Tujuannya bukan sekedar mengejar keuntungan materi tetapi justru ada kepentingan yang lebih besar yaitu penguasaan atas sosial, politik, ekonomi, budaya dan hankam negeri kita. Kasus vaksin palsu hanyalah sekedar puncak gunung es kebobrokan sistem Kesehatan Nasional yang tentunya berdampak besar pada sektor lainnya. 

Palsu dan ilegal di dunia kesehatan tanah air kita bukan hal yang aneh lagi, bahkan yang palsu atau ilegal seakan sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Selain vaksin palsu ada obat palsu, UTD (Unit Transfusi Darah) ilegal, dokter palsu (siapapun yang menyerupai dokter dalam melakukan praktik pengobatan) bahkan pengobatan palsu (terapi alternatif palsu) berkembang subur. Tidak adanya pengawasan dan penegakan hukum yang adil menyebabkan masyarakat selalu menjadi korban atas malpraktek yang sebenarnya ini.

Undang-undang Praktek Kedokteran No. 29 Tahun 2004 telah jelas dalam pasal 73, 77 dan 78 menyebutkan adanya larangan menyerupai dokter. Tidak hanya melanggar peraturan (legalitas), kemampuan dan kompetensi seorang dokter yang diperoleh dengan proses yang lama dan tidak mudah seakan dianggap remeh. Ironis ketika dispensing obat dalam praktek dokter dipermasalahkan disaat pengobatan lain (mantri, bidan maupun non medis) dengan bebas memberikan obat-obatan secara langsung bahkan melakukan tindakan medis yang berbahaya (pemasangan infus di rumah dll).

Grand Design

Apotik dan toko obat pun bebas memberikan obat tanpa resep. Beberapa obat dapat diperoleh lewat online padahal memiliki efek tidur yang membahayakan penggunanya sehingga rawan terjadi penyalahgunaan.  Terjadi pembodohan di masyarakat, swamedikasi berjalan salah dan mengancam  langsung terhadap sistem tubuh hingga dapat menyebabkan kematian. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan tidak terkontrol akan menyebabkan bencana resistensi antibiotik di masa datang. 

Kejahatan timbul karena ada peluang dan lemahnya pengawasan. Mafia kesehatan bermain di tingkat pembuat kebijakan (legislatif, eksekutif bahkan mungkin yudikatif), produksi maupun distribusi, mungkin pula importir. Jangan hanya terjebak dengan pemain kecil dan dengan mudah menjadikan tenaga pelaksana di lapangan terutama dokter yang berhadapan langsung dengan pasien sebagai kambing hitamnya. 

Apakah kebetulan ketika disebutkan keterlibatan oknum dokter dalam kasus vaksin palsu esoknya sebuah media menggambarkan lewat kartun penjara akan  penuh dengan dokter. Sebelumnya iklan BPJS (Badan Pelayanan Jaminan Sosial) di media cetak menggambarkan dokter tengkorak. Mungkin kebetulan kalau sebelumnya Direktur BPJS juga menyebutkan dokter di puskesmas hanya pegang-pegang saja saat memeriksa pasien. 

Apakah juga kebetulan kalau saat ini profesi dokter di Indonesia sedang diguncang kebijakan DLP (Dokter Layanan Primer) melalui Undang-Undang Pendidikan Kedokteran No. 20 Tahun 2013. IDI (Ikatan Dokter Indonesia) direpotkan dengan upaya amandemen Undang-Undang tersebut setelah kalah JR (Judicial Review) di MK. Saat inipun  KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) juga sedang menanti keputusan JR terhadap Undang-Undang Tenaga Kesehatan No. 36 Tahun 2014 yang mengebiri peran dan independensi KKI yang  sebelumnya langsung di bawah presiden. Apakah juga sebuah kebetulan jika kedua Undang-Undang tersebut disahkan saat kepemimpinan  yang sama di Kementerian Kesehatan. 

Sebelumnya Kasus dr Ayu dan kawan kawan yang telah diputuskan bebas di pengadilan negeri diputuskan bersalah di tingkat kasasi MA (MahkamahAgung) tanpa adanya bukti baru persidangan. JR Pasal di Undang-Undang Praktek Kedokteran yang berpotensi terulangnya kasus inipun ditolak di MK.

Ketika profesi dan masyarakat mulai berani mengkritisi perjalanan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) bahkan pemerintah makin sulit mengelak untuk mengakui rendahnya kualitas pelaksanaan BPJS muncullah kasus baru yaitu Kartu BPJS Palsu.  

Semuanya mungkin serba kebetulan namun yang pasti masalah Reformasi JKN yang kita tuntut  saat ini akan jalan di tempat, tertutupi hingar bingar kasus vaksin palsu. Salahkah kalau kemudian muncul anggapan adanya “grand design” untuk menjatuhkan profesi kedokteran di Indonesia ?

*Penulis adalah salah satu pimpinan dari Dokter Indonesia Bersatu (Dokter Indonesia Bersatu), spesialis anastesi.

 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru