Oleh: Rudi Hartono *
22 Juli 1996, politik stabilitas Orde Baru terguncang oleh aksi sekumpulan anak muda yang mendeklarasikan partai politik baru di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jalan Diponegoro, Jakarta.
Hari itu, 29 tahun silam, Partai Rakyat Demokratik (PRD) dideklarasikan. Di bawah rezim yang monolitik dan otoriter, pendirian partai baru tak hanya menjadi tindakan politik berani dan nekat, tetapi juga dianggap subversif.

Untuk memahami betapa nekat dan radikalnya tindakan itu, kita harus menyelami situasi politik masa itu. Melalui Paket 5 UU Politik 1985, partisipasi politik dibatasi secara ketat dan hanya diizinkan melalui tiga partai resmi: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Mendirikan kanal baru di luar kanal yang sudah ada sama saja dengan tindakan bunuh diri.
Namun, selain soal deklarasi partai baru, hari itu PRD juga mengumumkan manifesto politik yang langsung membuat rezim Orba kejang-kejang. PRD tak sekadar menelanjangi kebusukan sistem politik dan ekonomi Orde Baru, tetapi juga menawarkan jalan keluar berupa strategi dan program politik.
Kepala Penerangan Bakorstanas sekaligus Kepala Pusat Penerangan ABRI, Brigjen Amir Syarifudin, langsung menuding PRD melakukan tindakan subversif usai membacakan manifesto itu. “Kalau kita baca manifesto politik PRD, semuanya mirip. Jadi ini jelas subversif,” kata Amir, dikutip dari Kompas, 31 Juli 1996.

Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI, Letjen Syarwan Hamid, menuding lebih jauh lagi. Dia menilai, setelah membaca manifesto politik itu, PRD punya kemiripan dengan PKI.
Sebaliknya, menurut Frans Magnis Suseno, keseluruhan isi Manifesto PRD tidak bertentangan dengan Pancasila. Terlebih, dalam salah satu program politiknya, PRD ingin menerapkan sistem multipartai, sesuatu yang tak lazim dalam sistem komunisme yang menghendaki partai tunggal (Kompas, 1997).
Sejarawan John Roosa menyebut Manifesto Politik PRD 1996 sebagai tonggak sejarah gerakan kiri Indonesia. Menurutnya, belum pernah terjadi sejak 1965 ada gerakan politik atau oposisi bisa mengajukan kritik yang sangat jernih dan radikal terhadap Orde Baru.

“Kelompok oposisi yang ada selama ini cenderung terlalu dangkal dalam analisisnya (misalnya, hanya berfokus pada sosok Soeharto) atau terlalu kompromis,” tulis John Roosa dalam “The view from Cipinang prison”, 23 Juli 1997
Bagaimana manifesto itu dibuat?
Manifesto PRD 1996 sebetulnya kesimpulan atas pembacaan terhadap situasi masyarakat Indonesia, persoalan pokok di masa Orde Baru, tawaran strategi dan taktik, serta gambaran masa depan yang hendak diperjuangkan.
Menurut Anom Astika, Ketua Departemen Pendidikan dan Propaganda PRD pada 1996-1999, kesimpulan-kesimpulan tersebut sudah dirumuskan sejak 1994.

Pada 1994, unsur termaju dari gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat sudah terkonsolidasi. Mereka yang mulai merumuskan kesimpulan-kesimpulan tersebut. Menurut Anom, hampir semua substansi dalam manifesto yang dibacakan pada deklarasi 1996 sebetulnya mengacu pada kesimpulan tersebut.
Untuk diketahui, konsolidasi unsur termaju ini yang melahirkan Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) dan dideklarasikan di Gedung YLBHI, pada 3 Mei 1994. Sugeng Bahagio ditunjuk sebagai Ketua Umum dan Tumpak Sitorus sebagai Sekretaris Jenderal. Dalam kepengurusan itu juga ada Andi Arif di Seksi Litbang, Wiji Thukul di Seksi Budaya, dan Ambar di Seksi Dana.
Di tengah jalan, banyak program politik PRD tak berjalan. Selain itu, ada perbedaan pandangan soal Timor Leste. Situasi itulah yang mendorong unsur termaju dalam PRD membentuk Komite Penyelamat Organisasi Partai Rakyat Demokratik (KPO-PRD) yang dipimpin oleh Budiman Sudjatmiko.

Dalam perjalanannya, KPO-PRD berubah menjadi Presidium Sementara-PRD (PS-PRD). Tugas PS-PRD adalah menyelenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB). Akhirnya, pada 13-15 April 1996, digelar KLB di Kaliurang, Yogyakarta, yang melahirkan Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Dalam KLB itu diputuskan soal analisis masyarakat Indonesia, program perjuangan, strategi-taktik, dan resolusi untuk Timor Leste.
Sekjen PRD, Petrus Hariyanto, saat deklarasi PRD pada 22 Juli 1996. Kredit: Dok/Petrus Hariyanto
“Saya dan Wilson ditugaskan menyusun draf manifesto di bawah asistensi Danial Indrakusuma, Budiman Sudjatmiko, Web Warouw, dan lain-lain,” jelas Anom.
Dalam kongres di Kaliurang, draft itu dibacakan dan dikoreksi untuk kebutuhan deklarasi. Beberapa kalimat yang terlalu keras diubah lebih halus agar bisa disampaikan secara terbuka.
“Versi draft itu diedit Wiji Thukul, agar bisa dibacakan secara legal,” kenang Anom.
Dalam versi draft, prolognya adalah: “Rezim Soeharto adalah jagal rakyat. Kemudian, Wiji Thukul mengedit prolog itu dengan kalimat yang tak mengubah substansi, tetapi sangat dahsyat: Tidak ada demokrasi di Indonesia.”
Dalam ingatan Anom, versi draft yang sudah dicoret-coret itu dipegang oleh Wiji Thukul hingga hilang pada Maret 1998.
Namun, Nining Wahyuningsih, aktivis PRD asal Yogyakarta, punya pendapat berbeda. Menurutnya, draft manifesto hasil kongres 1994 sangat berbeda manifesto deklarasi 1996.
Pembacaan Dan Program Politik Termaju
Yang luar biasa dari manifesto yang terdiri dari 2.150 kata itu adalah pembacaan politiknya yang jernih dan teliti, disertai tawaran program dan strategi-taktik yang sangat objektif dan masuk akal pada masa itu.
Dibuka dengan prolog yang dahsyat, manifesto ini menunjukkan betapa tak relevannya rezim Orde Baru untuk dipertahankan. Secara politik, lewat Paket 5 UU Politik 1985, hak partisipasi politik rakyat dipasung. Tidak ada kemerdekaan berpendapat. Masalah itu tak hanya dirasakan aktivis, tapi juga jurnalis, buruh, dan petani.
Secara ekonomi, meski ada pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen per tahun, sehingga dipuja-puji sebagai “miracle economy”, tetapi hasilnya hanya dinikmati segelintir orang: Soeharto, keluarga, dan kroni-kroninya.
Pembacaan itu menciptakan batas politik (political frontier) yang jelas: masyarakat luas versus Soeharto dan kroninya. Batas politik itu memungkinkan PRD membangun aliansi politik yang lebar dengan berbagai sektor sosial maupun kelompok politik yang dirugikan oleh kebijakan Soeharto dan kroninya.
Di manifesto itu, PRD juga menawarkan program politik yang sangat masuk akal diusung bersama dan langsung menukik ke jantung persoalan, yaitu pencabutan Paket 5 UU Politik 1985 dan dan pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Lebih jauh lagi, manifesto juga menawarkan sebuah masa depan yang diimpikan banyak orang yang kala itu sudah muak dengan sistem politik otoriter dan monolitik: masyarakat demokratis multipartai.
Selain prolognya yang dahsyat, manifesto ini disusun sangat teliti. Misalnya, dalam manifesto ada kalimat: 30 tahun, delapan bulan, dan duapuluh dua hari kekuasaan Orde Baru ini, secara ekonomi, politik dan budaya tidak bisa diterima dan tidak bisa lagi dipertahankan oleh rakyat Indonesia.
Daniel Dhakidae, dalam Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, menyebut penyusun manifesto itu menunjukkan penghayatan sejarah yang menakjubkan.
Tidak lupa, ini adalah manifesto politik pertama yang berbicara soal Timor Leste. Dan, soal ini, seperti dicatat Dhakidae, PRD membuat lompatan politik. Tak berkutat dalam aksi solidaritas, tak hanya menyatakan kehadiran RI di Timor Leste sebagai penjajahan, tapi juga menyatakan dukungan atas hak rakyat Timor Leste untuk menentukan nasib sendiri. Pada akhirnya, lewat jajak pendapat, Timor Leste menjadi negara merdeka.
Hari-hari ini, setelah hampir tiga dekade Manifesto Politik PRD diumumkan, Indonesia memasuki masa paceklik gagasan. Partai politik kering-kerontang dengan gagasan. Kita tak lagi menemukan sebuah dokumen politik yang tajam dan objektif, yang bisa menjawab persoalan rakyat Indonesia hari ini.
*Penulis Rudi Hartono, Pemimpin Redaksi Merdika.id
*Bergelora.com memuat ulang artikel berjudul ‘Kisah di Balik Manifesto PRD 1996′ dari Merdika.id ini atas seijin penulis.