Selasa, 7 Oktober 2025

Kisah-Kisah Seputar Gerakan 1998 di Jogjakarta (13): Letjend Syarwan Hamid Menepati “Janji”

Letjen Syarwan Hamid. (Ist)

Jogjakarta sudah dikenal sebagai kota pelopor gerakan mahasiswa secara terorganisir sejak pertengahan 1980-an. Bukan satu kebetulan gerakan mahasiswa meluas ke berbagai kota dan keluar dari kampus masuk ke rakyat,–mengakselerasi militansi dan radikalisme sampai kejatuhan Soeharto Mei 1998. Tulisan ini mengisahkan potongan pengalaman salah satu penggerak mahasiswa di Yogyakarta yang dimuat di https://dnk.id/artikel/sri-wahyuningsih/kisah-kisah-seputar-gerakan-1998-di-jogjakarta-13-letjendsyarwan-hamid-menepati-janji-lq5zc dan dimuat ulang di Bergelora.com. (Redaksi)

 

Oleh: Sri Wahyuningsih

 

SEBAGAIMANA diketahui, Kassospol ABRI Letjend. Syarwan Hamid sudah mengancam: Siapa saja yang “mengacaukan” Pemilu 1997 akan ditindak tegas. “Janji” Letjend Syarwan Hamid ini langsung dipenuhi pada aksi 1 April 1997 yang berakhir dengan bentrok fisik dan penangkapan 24 orang peserta aksi.

Aksi Boikot Pemilu kedua setelah aksi boikot sebelumnya tanggal 20 Maret 1997 semula akan berupa “Aksi Mogok Makan untuk Megawati dan Demokrasi”. Ya, sekali  lagi, ini karena PRD masih dalam posisi “dukungan kritis” pada  PDI. Sebelum jauh bercerita  tentang aksi tanggal 1 April ini, perlu saya ceritakan bagaimana kondisi perpolitikan di tingkat mahasiswa.

Tertanggal 21 Maret 1997, muncul pernyataan dari organ bernama Komite Solidaritas Pembelaan Masyarakat Muslim Kampus (KSPMMK) berisi:

“…kami menghimbau kepada: Senat Mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa, Keluarga Mahasiswa Muslim dan seluruh KMSI, serta seluruh aktivitas muslim yang ada di UGM untuk dapat ikut mengecam/melarang setiap kegiatan demonstrasi dan lain-lainnya di lingkungan UGM apalagi melibatkan pihak luar aktivis akademika UGM karena gerakan-gerakan yang dilakukan oleh segelincir orang-orang yang tidak bertanggungjawab tersebut, baik dari organisasi apa dan memperjuangkan siapa ternyata justru membuat citra negatif terhadap ribuan mahasiswa UGM yang lain yang tidak ikut atau mendukung kegiatan tersebut baik skala Lokal, Nasional maupun Internasional yang pada akhirnya akan timbul kesan sebagai mahasiswa dan sarjana yang berkesan negatif dan pada akhirnya mempersulit untuk dapat berkiprah baik di masyarakat maupun pemerintah”.

Begitulah, dengan kalimat yang sangat panjang dan minim tanda baca serta salah ketik, KSPMMK menulis ketidaksepakatan mereka.

Mereka mengutip nama Ketua PP Muhammadiyah Dr. Amien Rais, Ketua PB NU KH Abdurrahman Wahid, dan seruan Syawal 1417 H DDII yang pada intinya agar umat Islam harus ikut mensukseskan Pemilu ’97 dan menghindari Golput, bla-bla-bla…

Intinya, mereka tidak sepakat, memandang negatif dan mengecam aksi-aksi demonstrasi termasuk aksi Boikot Pemilu dengan berbagai alasan. Aksi-aksi dan selebaran dianggap membuat kekacauan, menimbulkan perpecahan umat Islam, menciptakan distabilitas dan kerusuhan di masyarakat.

Mereka menghimbau Senat Mahasiswa UGM, Rektor UGM, Pimpinan ABRI dan Pemerintah untuk bertindak. Surat ditandatangani Ketua Presidium KSPMMK, Indra Pakpahan, dan Sekretarisnya, S. Aruji PN.

Ada sebelas nama yang ikut menandatangani, dengan jabatan masing-masing Ketua dan Wakil Ketua. Mungkin, itu adalah nama-nama Ketua dan Wakil Ketua organ-organ yang masuk dalam Komite.

Sedangkan tembusan ditujukan pada Pangdam Diponegoro, Gubernur DIY, Kodim DIY, Kapolda DIY, Kapolresta Sleman, Kapolresta Kodya Yogyakarta, Kadit. Sospol DIY, ICMI Orwil DIY, Rektor UGM, Senat Mahasiswa UGM, Badan Eksekutif Mahasiswa UGM dan KMSI se-UGM.

Berkaitan dengan pernyataan empat halaman tersebut, yang kemudian dimuat dalam media lokal, Badan Eksekutif Mahasiswa UGM kemudian mengundang Ketua Presidium KKPY untuk “menyamakan persepsi” pada tanggal 27 Maret 1997. Surat ditandatangani oleh Ketua BEM, Heni Yulianto dan Sekretaris, Nurhadi.

Ya, BEM memandang ada kesalahan persepsi antara golongan mahasiswa yang mendukung adanya demonstrasi yang meneriakkan suara mahasiswa, sementara di sisi lain ada yang menolak dan mengecam demonstrasi. Seingat saya, undangan dihadiri Ketua KKPY, Gunardi Handoko dan seorang lagi dari KKPY saya lupa.

Kerja jalan terus. Komite berubah nama lagi sesuai keputusan bersama organ-organ yang bergabung dan pertimbangan lain. Komite Perjuangan Demokrasi Indonesia (KPDI) terbentuk dan menjadi komite yang bertanggungjawab atas aksi tanggal 1 April 1997.

Rencananya, aksi mogok makan akan dilaksanakan di lapangan rumput yang ada di tengah Boulevard UGM. Peserta mogok makan yang sudah siap ada dua: Saya dan satu orang anggota PDI militan bernama Mbak Waldjijah. Seksi acara, Nor Hiqmah, sudah menyusun skedul acara yang akan diisi dengan banyak diskusi dan pentas seni.

Pukul 09.30, aksi dimulai dengan orasi dari koordinator lapangan, Helmy. Boikot Pemilu harus dilakukan sebelum Megawati didudukkan kembali sebagai Ketua Umum PDI; sebelum tapol PRD, SBSI, PUDI dibebaskan; dan sebelum Lima Paket Undang-Undang Politik dan Dwi Fungsi ABRI dicabut; demikian orasi Helmy.

Disusul orasi dari beberapa orator lain, di antaranya Aji. Aji mengatakan bahwa Boikot Pemilu adalah konsekuensi yang harus dilakukan karena proses Pemilu 1997 diwarnai kecurangan. Setelah itu, Aji memimpin massa menyanyikan Hymne Darah Juang.

Nining membacakan sikap KPDI yang di antaranya berisi seruan kepada rakyat Indonesia untuk tidak terlibat dalam Pemilu 1997 sebelum Lima Paket Undang-undang Politik dan Dwi fungsi ABRI dicabut. Kemudian, para pemogok makan tampil di mimbar dan mengemukakan maksud aksi mogok makan yaitu mendukung Megawati dan Demokrasi.

Happening Art dimulai. Pemeran Soeryadi muncul dan dilempari telur busuk oleh massa yang menggambarkan arus bawah yang marah.

Pukul 10.05 WIB, massa berbaris dipimpin korlap dan memulai rally menuju Boulevard UGM. Dalam kronologi yang dimuat dalam Pembebasan, massa berjumlah 500-an orang, bergerak sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan meneriakkan yel-yel Boikot Pemilu.

Sampai di Jalan Socio Justicia depan Fakultas Hukum, massa dihadang aparat berpakaian lengkap dengan pelindung, pentungan rotan, gas air mata, dan tameng.

Victor Yasadhana dan Haris Rusli Moty segera berinisiatif berniat bernegosiasi, namun justru langsung dipukul dan diringkus aparat. Beberapa intel berpakaian preman turut menghadang massa.

Massa melawan, namun segera dihajar aparat, dipukul, diinjak, beberapa menderita luka gores. Aksi dibubarkan paksa disertai penangkapan 24 orang yang langsung dibawa ke Garnisun atau Korem. Massa yang luka-luka segera dibawa ke Rumah Sakit terdekat.

Menurut kronologi yang dibuat, sampai beberapa saat, aparat masih terlihat mengawasi di lokasi. Saya sendiri termasuk dalam 24 orang yang diangkut ke Korem.

Siapakah kira-kira orang yang dapat memahami anak-anak yang suka tawuran? Menurut saya, salah satunya adalah: para demonstran.

Paling tidak, ada satu kesamaan perasaan yang dialami antara berada dalam situasi tawuran dengan situasi aksi demonstrasi: efek dari sesuatu bernama adrenalin. Itu berakibat ada semacam rasa “kecanduan” bagi para pesertanya.

Jika kita hanya menonton sebuah aksi bentrok, kadang itu akan nampak sungguh lebih menyeramkan dibanding orang yang mengalami. Jika kita sudah berada di dalam situasi bentrok, yang ada hanya perasaan bersemangat: yang terjadi terjadilah, yang terpikir saat itu hanya bagaimana bertahan, kalau perlu menyerang.

Jika terselip rasa takut, segera kibaskan dengan meneriakkan takbir dan menyebut nama Tuhan. Paling tidak, itulah yang pernah saya rasakan, entah dengan yang lain.

Alur pikir itu juga yang saya pakai untuk memahami kawan-kawan yang mencoba melanggar protap menjadi peserta aksi demonstrasi, apa lagi sebuah aksi yang berisiko tinggi seperti aksi yang mengangkat isu “Boikot Pemilu” di tanggal 1 April 1997 itu.

Apa sajakah protap yang harusnya ditaati? Akan saya jabarkan salah satu: Selalu siap sedia tertangkap, sehingga sebisa mungkin meminimalisir informasi yang bisa diakses aparat, terutama dalam proses interogasi.

Alibi harus disiapkan, termasuk tidak memberikan informasi identitas diri yang sebenarnya, sehingga protap pertama adalah tidak membawa segala macam kartu identitas.

Syukur-syukur, sejak awal sudah ada saling kesepakatan antar kawan tentang nama alias masing-masing dan tidak menyebut apa pun soal alamat yang benar, fakultas, perguruan tinggi, dan sebagainya. Kartu identitas pribadi saja tidak boleh, apalagi daftar alamat kontak, dokumen, terbitan organisasi, dan sebagainya.

Jika mau berangkat aksi, biasanya saya bawa tas kecil yang bisa diselempang. Berisi sedikit kertas atau buku tulis kosong, bolpoin, sikat gigi, odol kecil dan handuk kecil agar jika ditangkap, mulut tidak terasa busuk kalau harus menginap.

Seharusnya juga celana dalam, tapi saya kemudian merasa risih ketika membayangkan jika nanti tertangkap, ketika digeledah, ternyata isi tas saya celana dalam. Hihihi…

Tips menjawab interogasi yang pernah saya dengar adalah: berikan kesan bahwa kamu tidak tahu banyak persoalan yang diangkat, kamu hanya ikut karena merasa sepakat dengan isu yang diangkat, namun soal seluk beluknya, kamu tidak banyak tahu. Buatlah proses interogasi berjalan selancar dan secepat mungkin.

Biasanya kalau kamu tertangkap tentara, asal sudah “dipermak” sekedarnya, kamu akan dilepaskan. Beda jika kamu tertangkap polisi, pasti akan berbuntut panjang. Biasanya mereka tidak akan melanggar aturan: tidak akan menahan lebih dari 24 jam, maka biasanya kamu akan dilepas kurang dari 24 jam.

Tetapi, akan ada surat panggilan untuk memberikan keterangan setelah itu. Kalau panggilan itu didatangi, bisa jadi statusmu akan naik dari saksi menjadi tersangka, dan proses penyelidikan akan berlanjut terus. Maka, langkah paling aman adalah jangan sampai mereka tahu alamatmu yang sebenarnya, sehingga surat panggilan tidak akan sampai ke tanganmu.

Intinya: menghindarlah selalu. Karena, jika kamu menerima surat panggilan dan tidak menghadiri, maka kamu akan dianggap menghalangi proses penyelidikan.

Pengetahuan tentang itu memang tidak diajarkan secara formal dalam kursus atau pun pendidikan politik yang kerap diadakan, hanya berbagi pengalaman saja antar kawan yang pernah tertangkap pada kawan lain tentang situasi yang mungkin terjadi jika kita tertangkap.

Maka, jangan heran jika seseorang yang nampak senior, bisa melakukan kesalahan terkait protap itu karena dua situasi di atas: kecanduan adrenalin dan belum pernah tertangkap.

Adalah Siti Rubaidah, sosok yang sudah saya pandang senior sejak pertama bertemu karena sepertinya, sejak pertama bertemu, jabatannya sudah Sekretaris Jenderal Serikat Tani Nasional alias Sekjend STN.

STN adalah salah satu organisasi massa underbow PRD selain SMID, PPBI, Jaker, dan SPRIM. Dan sekarang saya baru sadar, saya tidak ingat kapan pertama kami kenal, bagaimana proses kenalnya, dan parahnya, sampai sekarang saya tidak tahu tepatnya dia mahasiswa fakultas apa, perguruan tinggi mana dan angkatan berapa.

Saya hanya bisa mengira (semoga tidak salah) bahwa dia mahasiswa IAIN Salatiga. Ini pernah saya tanyakan via WA, tapi sampai sekarang belum dijawabnya. Mungkin awal kami kenal ketika sama-sama menjadi peserta Kongres Kolektif Nasional di akhir 1995 di Kaliurang, Sleman, Yogyakarta.

Satu kenangan yang cukup berkesan dari peristiwa Kongres itu di antaranya adalah dalam perjalanan pulang, Rub ini pernah dalam kondisi harus digendong kawan lain yaitu Oji (Sastra-UGM, Ketua SMID Yogyakarta setelah periode kepengurusan Andi Arief-Nezar Patria).

Berdasar penegasan seksi keamanan, Kongres tersebut dipandang tidak bisa diteruskan sampai akhir. Kami, para peserta, harus dibubarkan, dan rute kepulangan kami tidak boleh melewati rute biasa. Kami harus berjalan kaki cukup jauh, naik turun kawasan persawahan yang tak satu pun dari kami paham kecuali kurir yang memandu kami.

Rub saat itu sedang menderita sakit yang sama dengan Jenderal Soedirman waktu beliau harus melaksanakan perang gerilya. Jika disamakan dengan jendral Soedirman, kan jadi naik level ya, Rub, hihihi…

Karena rute jauh dan medan yang naik turun, dengan kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan, Rub kelelahan dan batuknya semakin menjadi, padahal kami harus terus berjalan. Maka, digendonglah Rub oleh kawan yang badannya dipandang paling kuat, tinggi, besar, dan gagah: Oji.

Makin lengkaplah kesan revolusioner dari peristiwa Kongres ini bagiku: sikap pantang menyerah Rub dan kesetiakawanan Oji. Sebagaimana pernah saya ceritakan, saat itu saya baru saja direkrut resmi masuk dalam Kolektif. Maka, yang ada hanya ternganga-nganga saja melihat fenomena. Hahaha…

Ternyata, Siti Rubaidah alias Rub juga tertangkap pada aksi 1 April 1997 ini. Perlu saya uraikan latar belakang penugasan Rub waktu itu. Rub adalah Sekjend STN. Ketua STN bernama Budi Sanyoto, petani asal Bawen.

Sebagai Sekjend, bisa dikatakan, setiap saat, Rub memegang data organisasi. Mulai dari laporan, daftar kontak beserta alamat dan nomor telepon, terbitan, dan tetek bengek lain. Keberadaan Rub di Yogyakarta hanya dalam rangka transit dari kota-kota dan daerah di basis pengorganisiran tani di seputaran Jawa Tengah.

Kadang Rub harus mengambil fotokopi materi, misalnya terbitan Partai, Pembebasan, sebagai alat pengorganisiran di basis. Karena hanya tempat transit, Rub tidak memiliki kost di Yogyakarta. Kadang dia mampir ke kost kami di Karangmalang, atau mampir ke Sekretariat Dian Budaya, Fakultas Sastra UGM.

Karena dalam rangka kerja pengorganisiran, ketika Rub di Yogyakarta, tas Rub biasa penuh dokumen. Dan karena ketidaksanggupan menahan diri dari “kecanduan adrenalin”, Rub masuk dalam barisan “Aksi Mogok Makan untuk Megawati dan Demokrasi” dan ikut tertangkap.

Dalam aksi sebelumnya pun, Rub ikut sebagai pembawa bunga. Terlanggarlah protap pertama sebagai peserta aksi: membawa dokumen.

Ikut tertangkapnya Siti Rubaidah alias Rub menimbulkan beberapa konsekuensi. Dan itu akan saya ceritakan dalam tulisan saya selanjutnya tentang pengalaman selama ditahan hampir 2×24 jam.

***

(Bersambung)

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru