Jumat, 14 November 2025

Kisah-Kisah Seputar Gerakan 1998 di Jogjakarta (3): Menjelang Kejatuhan Rezim

Aksi PRD masih terus berlangsung membela memperjuangkan kepentingan rakyat. (Ist)

Jogjakarta sudah dikenal sebagai kota pelopor gerakan mahasiswa secara terorganisir sejak pertengahan 1980-an. Bukan satu kebetulan gerakan mahasiswa meluas ke berbagai kota dan keluar dari kampus masuk ke rakyat,–mengakselerasi militansi dan radikalisme sampai kejatuhan Soeharto Mei 1998. Tulisan ini mengisahkan potongan pengalaman pengalaman salah satu penggerak mahasiswa di Yogyakarta yang dimuat di

https://dnk.id/artikel/sri-wahyuningsih/kisah-kisah-seputar-gerakan-1998-di-jogjakarta-1995-1998-malam-menegangkan-maret-1998-PKm92 dan dimuat ulang di Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Sri Wahyuningsih

Tulisan berseri ini ditulis berdasarkan kesaksian Sri Wahyuningsih, Sarjana Fakultas Filsafat dan juga Aktivis pro-Demokrasi. Tulisan ini bermaksud menyajikan Gerakan Mahasiswa pro-Demokrasi yang berpuncak di tahun 1998 dari sudut pandang yang bersangkutan. Dimaksudkan sebagai pelengkap untuk memperkaya referensi mengenai apa yang terjadi di balik reformasi 1998–yang menumbangkan salah satu diktator paling lama berkuasa di dunia: Soeharto. (dnk.id)

UNTUK apa saya menceritakan ini? Untuk memberikan konteks peristiwa “perburuan” terhadap saya di pertengahan Maret 1998, karena saya bukan siapa-siapa, saya bukan tokoh yang dikenal, tapi saya diburu aparat negara Orde Baru. Ya, saya adalah seorang organizer―penugasan terakhir saya waktu itu adalah sebagai Komisaris Wilayah Non Prioritas II Yogyakarta, Jawa Tengah.

Sebagaimana saya ceritakan dalam tulisan sebelumnya, saya menitipkan kabar dalam surat yang saya titipkan lewat Mugiyanto, untuk seorang kawan dari Yogyakarta yang dua bulan sebelumnya sudah menjadi buron. Surat itu jatuh ke tangan aparat yang berhasil menangkap Mugiyanto, Nezar Patria, dan Aan Rusdiyanto.

Pasca lolos dari penggerebekan, saya menempati kamar kos yang sudah saya siapkan. Sebelumnya, saya sudah menyiapkan dua kamar kos yang terpisah dengan jarak lumayan jika harus ditempuh dengan berjalan kaki; satu untuk saya tempati, satu lagi untuk menyimpan material-material organisasi seperti buku-buku referensi, dokumen dan arsip.

Ya, berhubung banyak kawan kemudian dipindahtugaskan ke daerah prioritas di Jakarta dan Surabaya, maka tugas menjaga safe house kemudian jatuh ke tangan saya. Masa-masa pasca penggerebekan kemudian banyak saya manfaatkan untuk merawat dan membenahi barang-barang yang ada di safe house tersebut.

Banyak kertas lembab dan berjamur sehingga harus dilap satu persatu kemudian dijemur. Material yang salinannya terlalu banyak, hanya saya sisakan tiga eksemplar, sisanya saya bakar untuk mengurangi kerepotan jika sewaktu-waktu harus dipindahkan. Buku-buku saya atur, dokumen-dokumen saya kelompokkan berdasar jenisnya, saya masukkan plastik, terakhir saya masukkan kardus. Lumayan rapi saat itu.

Di kemudian hari, dokumen-dokumen tersebut pernah menjadi bahan penelitian skripsi, tesis, bahkan disertasi. Material berupa terbitan seperti Pembebasan, bahkan di sekitar tahun 1999-2000an, bisa digandakan, dijilid, dan dijual ke lembaga-lembaga penelitian, intelektual serta orang-orang yang merasa butuh untuk mempelajari seluk-beluk organisasi kami.

Bundel Pembebasan menjadi alat pencarian dana ketika organisasi butuh untuk transportasi peserta kongres dan keperluan lain. Bahkan sekarang pun arsip-arsip itulah yang membantu saya mengingat peristiwa-peristiwa yang telah terjadi secara kronologis.

Saya cukup beruntung dengan status saya sebagai mahasiswa dari dua perguruan tinggi: mahasiswa Fakultas Filsafat UGM angkatan 1992 dan mahasiswa Fakultas Seni Rupa (Lukis) ISI-Yogyakarta angkatan 1993.

Kedua kos baru saya ada di lingkungan Kampus ISI-Yogyakarta di Sewon. Saya bisa masuk ke lingkungan mahasiswa seni ini tanpa kesulitan karena status saya tersebut. Dengan cepat saya bisa mendapatkan teman-teman baru, sehingga saya tidak terlalu merasa kesepian, meski banyak hal yang harus saya simpan rapat-rapat sendiri.

Saat itu, masih ada trauma akibat peristiwa penggerebekan. Tiap kali ada suara kendaraan berhenti di depan kost, maka saya akan waspada, menunggu sambil berdebar-debar semenit, dua menit, tiga menit…, apakah itu adalah aparat yang mencari saya atau bukan.

Tiap kali masuk ke tempat baru, saya akan mencari-cari pintu dan jalur alternatif jika sewaktu-waktu saya harus melarikan diri. Saya akan memakai jalur yang berbeda tiap kali masuk dan keluar kos. Selain bertujuan mempelajari berbagai jalur alternatif, saya juga merasa harus mengetahui kondisi seputar kos saya sedetil mungkin.

Saya selalu berusaha mengamati orang-orang di sekitar dari penampilannya, terutama dari sepatunya. Sepatu aparat biasanya khas dari kulit berwarna hitam dengan model sederhana, meski berbaju preman. Ya, otak dan kewaspadaan saya dipaksa untuk tidak pernah berhenti bekerja.

Saya tinggal di kos milik Mbah Wardjo, di Dusun Prancak Glondhong, Kelurahan Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul. Mbah Wardjo adalah tipikal petani tradisional yang ramah dan lugu. Dia memiliki sepeda yang seringkali dipinjam para anak kost, bahkan sering tanpa meminta ijin terlebih dahulu. Sepeda inilah yang sering saya pinjam untuk pergi ke Wartel untuk mengetahui kondisi–terutama–rumah saya di Purwokerto. Jika telepon, saya batasi tidak terlalu lama karena khawatir adanya penyadapan.

Karena saya tidak berani mengambil uang wesel kiriman orang tua di Kantor Pos, saya hanya mengandalkan uang sumbangan yang biasanya disampaikan lewat Kawan Sahanuddin Hamzah (Filsafat ‘89) untuk bertahan hidup. Untung sebelumnya, saya sempat dipinjami rice cooker oleh Kawan Adi (F. MIPA-UGM, anggota Dema), sehingga saya bisa lebih berhemat. Kadang saya diajak teman yang sudah lebih lama kos di sana untuk makan malam di dapur Mbah Wardjo.

Karena pindah mendadak, banyak barang keperluan sehari-hari yang tidak saya miliki. Korden penutup jendela kaca dan gelas saya pinjam dari Aan (Etnomusikologi, F. Seni Pertunjukan ISI-Yogyakarta, adik dari Nuraini Hilir, Filsafat ’91).

Sepatu saya waktu itu rusak, dan saya harus berterimakasih pada Kawan Yulin yang membelikan sepatu sandal merk Bata.

Sisir dan cermin saya tidak punya. Jika habis mandi, biasanya rambut cukup saya sisir pakai jari tangan di depan kaca rayben jendela kamar kos.

Karena tidak begitu jelas, saya PD saja. Tapi pada suatu ketika, saya main di kamar Tulis Setiyowati, teman kos perempuan, mahasiswa Seni Tari angkatan 1997. Di salah satu dinding kamar tersebut, dipasang cermin besar menutupi seluruh dinding. Tulis biasa menggunakan cermin ini untuk melihat bayangannya sendiri ketika berlatih gerak tari. Saat itulah perasaan saya begitu drop melihat wajah saya yang kacau-balau, jelek sekali tak terurus…!

Dalam situasi ini, saya sangat mensyukuri bantuan dari siapa pun yang sampai lewat Kawan Hamzah. Salah satunya adalah bantuan dari seorang budayawan sekaligus pengusaha penginapan di belakang Candi Borobudur, Bapak Ariswara Sutomo. Beliau menitipkan uang kepada Kawan Rubaidah, dengan pesan: “Tolong sampaikan kepada Nining, untuk ongkos ke sana ke mari”.

Beliau paham betul situasi yang harus dihadapi seorang buron karena beliau adalah salah satu kurir dalam Peristiwa Malari yang sempat merasakan menjadi buron dan penjara di Zaman Orde Baru. Ya, sebelumnya saya sering ke rumah sekaligus sanggar serta penginapannya, Penginapan Rajasa, untuk berbagai urusan organisasi.

Kadang, Kawan Hamzah datang untuk mengajak saya menyelesaikan urusan organisasi, kemudian mengantar saya kembali lagi ke kos. Kadang dia mengajak saya menengok “Ibu-ibu Dharma Wanita”, para pacar tahanan seperti Nezar Patria dan Andi Arief.

Dari mereka saya bisa tahu bagaimana usaha aparat untuk mendapatkan saya. Para pacar ini secara berkala menengok para tahanan, di sana kadang mereka ditanya, atau justru mendapatkan cerita soal perburuan saya.

Konon, sebenarnya aparat tahu bahwa saya melarikan diri dengan mengenakan jilbab. Namun, mereka juga pernah menyemprot fogging nyamuk dari lubang angin karena saya dikira masih berada di dalam. Yulin memang sempat mengambil suatu barang dari sana dan menutup korden yang tadinya tidak sempat saya tutup. Bahkan sebenarnya, mereka juga tahu ketika saya sempat berkunjung ke rumah Susi, pacar Andi Arief waktu itu di Bantul.

Mereka tahu, tapi karena belum ada perintah tangkap, maka saya tidak ditangkap. Di samping adanya desas-desus bahwa di jajaran aparat ada juga semacam “persaingan” antar kesatuan yang menyebabkan mereka tidak saling berbagi perkembangan informasi di lapangan.

Beberapa preman kampung kadang datang ke Kampus hanya sekedar menyampaikan pesan pada kawan-kawan di sana agar mengingatkan saya, supaya tidak kembali dulu ke kos di Karangmalang karena intel masih terus menunggui saya di beberapa titik. Cukup banyak intel nongkrong di sana, bahkan sampai sekitar 2 bulan setelah Soeharto jatuh.

Tiap pagi sekitar jam tujuh,  mereka akan melakukan koordinasi di depan kamar saya, kemudian menyebar ke beberapa titik. Ada yang khusus ngekos di tetangga kos saya, ada yang menyamar jadi tukang batu, ada yang menyamar menjadi pedagang keliling, ada yang nongkrong saja di beberapa perempatan dan tikungan jalan, ada yang ngepos di bawah pohon bambu di pinggir lembah, sambil memegang foto saya.

Yang cukup mengenaskan adalah nasib bekas bapak kos saya di Karangmalang Blok E 8 C. Kebetulan beliau adalah teman mengaji kakak saya yang juga ngekos di Karangmalang karena sedang mengambil D-1 Disain Komunikasi Visual di Prisma ASRI.

Bekas Bapak Kos saya sempat “diculik” di tengah malam dari rumahnya, dibawa ke tempat terpencil di antara drum-drum bekas, kemudian diinterogasi, ditanya-tanya dengan keras tentang keberadaan saya. Beliau trauma, dan begitu sampai di rumah kembali, beliau menenangkan diri dengan mengaji sampai pagi.

Kadang saya masih datang ke Fakultas Filsafat, tetapi kawan-kawan pasti akan mengutus seseorang untuk mengantar saya pergi dari sana. Terlalu berbahaya, kata mereka. Saya maklum karena kondisinya memang sangat represif.

Tiap malam di lokasi berlangsungnya Aksi Mogok Makan di Fakultas Filsafat, panitia harus selalu bersiap mengevakuasi para peserta jika sewaktu-waktu diserang. Para peserta seringkali tiba-tiba harus bersembunyi di suatu ruang dengan berbekal batu, bersiap menghadapi situasi terburuk.

Kawan-kawan Timor Leste yang membantu pengamanan juga selalu bersiap dengan pedang di tangan. Itulah mengapa aparat juga tidak berani sembarangan menyerbu kampus. Kawan-kawan benar-benar siap tempur.

Itu juga yang dibilang polisi di Polda Metro Jaya ketika mereka bertanya tentang bagaimana menangkapku pada Nezar dan Andi. Ketika dijawab, “Ambil saja di kampus”, mereka bilang, “Waduh, kawan-kawanmu itu bawaannya pedang dan celurit. Ngeri juga…”

Biasanya kawan yang ditugaskan mengantar saya ke tempat persembunyian adalah Dhohir Farisi, mahasiswa Filsafat UGM angkatan 1997, adik dari Faisol Riza, salah satu kawan yang diculik bersamaan dengan Rahardja Waluya Djati dan Herman Hendrawan.

Beberapa kali saya diantar untuk “diamankan” di kos Faris malam-malam dengan berjalan kaki melewati Fakultas Kehutanan. Faris memang sudah seperti adik sendiri bagi saya, dan Riza sempat juga menitipkannya pada saya saat awal-awal dia masuk kuliah di Filsafat.

Perasaan tegang terus-menerus ditambah rasa sepi yang tidak dapat dibagi kadang saya rasakan sungguh berat. Pikiran bahwa jika tiba-tiba saya hilang atau mati dan tidak akan ada orang yang tahu dan merasa kehilangan sering terlintas.

Rasa sepi, jenuh, sekaligus khawatir membawa saya untuk menghubungi seorang kawan yang sebelumnya pernah menawarkan bantuan jika saya merasa membutuhkan. Saya menghubunginya lewat telepon dan kami janjian di suatu tempat, dan dia mengantar saya ke sebuah susteran di seputar Yogyakarta.

Seperti yang sudah pernah saya tulis sebelumnya, di susteran ini saya hanya tahan tinggal tiga hari. Bagaimana tidak. Tiap hari saya tidur di atas kasur yang empuk dan bersih, makan tiga kali sehari, lengkap dengan buah. Di sore hari, ada acara minum teh lengkap dengan makanan kecil. Pagi, selalu disediakan bacaan: koran dan tabloid yang semuanya memuat berita bentrok antara mahasiswa dan aparat, sedang saya tidak berbuat apa-apa.

Akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari susteran tersebut dan berkunjung ke kota tempat basis kami di seputar Jawa Tengah, yaitu di Magelang dan Pekalongan.

Ada beberapa orang di Magelang yang terasa dekat dengan kami, di mana saya sering berkunjung ke rumah mereka. Di antaranya adalah Pak Tomo, Pendeta Nurhadi, Mas Musanto (PDI), Pak Slamet (tukang sepatu), dan Mas Joko. Mereka saya kenal dalam kerangka penugasan saya sekitar tahun 1996, yaitu sebagai organizer Tani.

Saya dikenalkan kepada mereka oleh Kawan Rubaidah yang saat itu menjabat sebagai Sekjen Serikat Tani Nasional (STN). Dari Pak Tomo kemudian saya diperkenalkan ke lingkaran yang lebih luas lagi di antaranya: Para Romo di seputar Magelang dan Gus Yusuf (pimpinan pondok pesantren di Tegalrejo).

Pada kurun waktu itu juga saya sempat mengajak keliling ketua Komite Persatuan Rakyat untuk Perubahan (KPRP), Haris Rusli Moty dalam rangka perkenalan dalam perspektif membuat koalisi yang lebih besar.

Jika saya berkunjung ke Pekalongan, saya akan menuju rumah kakak beradik bernama Yanto dan Ade di Jl. Veteran. Kemudian dengan susah payah (karena mayoritas anggota bermata pencaharian sebagai buruh pabrik dan buruh pelabuhan di sekitar Pekalongan) kawan-kawan berhasil mengumpulkan dana dan menyewa sebuah rumah untuk sekretariat.

Di Pekalongan, sedang berlangsung proses persidangan Kawan Saddam Hussein dan Hardi. Mereka ditangkap dengan tuduhan penghinaan terhadap presiden. Saya sempat mengikuti sidang dari luar ruang. Saat itu, sidang sampai pada tahap pemeriksaan para saksi.

Suasana persidangan mereka berdua sangat ramai. Pengunjung sampai harus mendengarkan proses berjalannya sidang dari halaman depan gedung pengadilan. Ada pengeras suara yang dipasang di sana. Saat itu ada ”mimbar bebas” di halaman depan gedung pengadilan tersebut dan ada happening art.

Atmosfer anti kediktatoran tidak hanya terasa di kota-kota besar dan utama di Indonesia waktu itu. Di kota kecil seperti Pekalongan ini pun sangat terasa. Ketika pertanyaan jaksa terdengar menyudutkan terdakwa, akan terdengar teriakan “Huuu…”, dari pengunjung. Sebaliknya, jika saksi berhasil menjawab positif, pengunjung akan berteriak senang.

Jalannya proses pemeriksaan kadang terdengar lucu karena alibi saksi kadang nampak hanya sekedar menghindar. Misalnya ketika ditanya, “Apakah saudara mendengar ujaran penghinaan dari terdakwa?”, maka saksi akan menjawab: “Saya tidak tahu, Pak, saat itu saya sedang pergi kencing”. Begitu alasannya. Dan alasan ini tidak hanya diajukan sekali, tapi beberapa kali.

Saddam Hussain bernama asli Chuzaini. Dia berprofesi sebagai tukang reparasi barang-barang elektronik. Dengan keahliannya, Saddam dapat membuat pemancar radio yang dimanfaatkannya untuk mempropagandakan program-program organisasi dan menyampaikan seruan-seruan politik. Kabarnya, Saddam bahkan pernah menjual rumahnya untuk pembiayaan tetek-bengek pergerakan di Pekalongan.

Sekeluarnya dari penjara, Saddam tidak jera berpolitik, dia menjabat sebagai Ketua Komite Pimpinan Kota (KPK) PRD Pekalongan. Tahun 2002, karena  kasus penyebaran selebaran berisi dugaan mark up dalam pembangunan terminal Pekalongan, Saddam ditangkap dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara.

Bahkan kemudian, Saddam meninggal dalam tahanan Lembaga Pemasyarakatan Pekalongan pada 21 Agustus 2004, akibat sakit TBC dan radang paru-paru karena tinggal di tempat lembab dalam penjara. PRD, lewat ketua KPP-PRD, Yusuf Lakaseng pernah menuntut pertanggungjawaban Menteri Kehakiman dan HAM sebagai penanggung jawab pengelolaan LP. Terjadi juga aksi demonstrasi dari enam kota di Jawa Tengah.

Sedangkan Hardi adalah teman sejawat sekaligus tangan kanan Saddam di kepemimpinan PRD Pekalongan. Hardi berlatar belakang pimpinan preman di Pekalongan.

Dalam masa pelarian, saya pernah mengajak kawan-kawan KPRP untuk mengunjungi basis-basis di kampung-kampung di Pekalongan, semacam live in sederhana. Kami bertujuh, yaitu: saya, Ima, Yuli, Susi, Agung, Jerry, dan Endhiq. Kami tinggal di rumah Yanto dan Ade dan membagi diri menjadi berdua-berdua dan masuk menghadiri undangan penduduk memberi semacam “pendidikan politik”.

Sampai ketika Soeharto menyatakan pengunduran dirinya, penduduk mengadakan tasyakuran atas turunnya Soeharto, bergilir dari kampung ke kampung sebagaimana warga kampung yang sedang punya hajat.

Waktu itu musim hujan, kami sering kehujanan ketika menghadiri undangan masuk kampung. Lama-kelamaan kondisi kesehatan saya menurun dan akhirnya demam lalu jatuh sakit. Saya merasa butuh pulang ke rumah orang tua saya di Purwokerto.

Saya pulang dijemput Ayah dan kakak naik kereta. Dari stasiun, kami naik becak menuju rumah. Beberapa gang sebelum gang depan rumah, saya mengatur agar ayah saya masuk lewat jalur biasa, lewat gang depan rumah, masuk rumah lewat pintu depan. Sedang saya dan kakak saya turun dari becak satu gang sebelum gang depan rumah kami dan berjalan lewat jalan setapak, masuk lewat pintu belakang.

Saat itu saya pikir saya tidak boleh menetap di rumah lebih dari dua hari, mengantisipasi aparat sempat mencium keberadaan saya, berkoordinasi dan menyiapkan penangkapan. Maka dua hari adalah waktu maksimal saya berada di rumah. Di hari ketiga, saya harus sudah pergi lagi.

Selama di rumah, ayah saya bercerita bahwa dalam beberapa hari kemarin, ada orang yang selalu mengawasi rumah kami dari seberang rumah kami. Juga ada orang yang mengaku teman saya bertanya-tanya pada pemilik warung di ujung gang tentang saya. Kalau mengaku teman saya, mengapa tidak langsung mendatangi rumah saya? Orang tua saya tidak sampai diperiksa polisi, hanya rumah kami diawasi selama beberapa hari secara diam-diam dari luar.

Saya masih pulang kembali ke kos saya di Sewon dan dari situ saya datang ke alun-alun utara pada 20 Mei 1998, menyaksikan Pidato Sri Sultan HB X.

Pagi itu, saya bersiap dengan mengenakan jilbab dan mengendarai sepeda milik Mbah Wardjo ke arah Utara melewati jalan-jalan kampung. Sepanjang perjalanan, saya menjumpai barisan-barisan pemuda kampung lengkap dengan berbagai macam atribut termasuk alat bunyi-bunyian. Suasananya mirip hari perayaan kemerdekaan di tahun 70-80an, jaman saya kecil. Meriah…! Semua orang seperti ingin terlibat.

Dari Pojok Beteng Kulon saya belok ke kiri karena ingin tahu barisan dari kawan-kawan yang berangkat dari Kampus Gampingan ISI-Yogyakarta. Lebih seru. Mereka menamakan barisannya MasWirAnTo: Masyarakat Wirobrajan Anti Suharto. Sesekali mereka meneriakkan; “Gulingkan Soeharto”. Tuntutan yang sangat maju, meski belum jelas bagaimana caranya dan belum tergambar perspektif setelah terguling apa yang harus dilakukan rakyat.

Sampai di Alun-alun Utara masih Terdapat sisa-sisa sekatenan, banyak panggung dan bangunan non permanen di lapangan, tapi itu tidak membantu saya untuk dapat mengikuti pidato Sultan dengan lebih jelas.

Esok harinya, 21 Mei 1998, lewat televisi di kamar salah satu kawan kos, saya menyaksikan pidato pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden RI dan menyerahkan tugas selanjutnya pada B.J. Habibie (dari Golongan Karya juga). Sungguh, saya justru merasa limbung. Musuh bersama memilih mundur dari jabatan ketika strategi taktik selanjutnya belum tersosialisasikan dan dipahami masyarakat. Ini jadi semacam ilusi saja, seolah kemenangan sudah di tangan. Massa hanyut dalam euforia.

Saya sempat menanyakan hal ini pada kawan kos di sana yang pada waktu itu cukup aktif di SMKR (sebuah organisasi dan kelompok yang mewadahi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, salah satunya  ISI-Yogyakarta), bagaimana sikap mereka. Jawabnya, “Tunggu saja, kita percayakan pada kebijakan yang akan dilakukan pengganti Soeharto yaitu B.J. Habibie”. Saya kecewa.

Sebenarnya kami sudah berusaha mensosialisasikan perspektif Pemerintahan Koalisi Sipil yang akan mewadahi berbagai spektrum demokratik di masyarakat dalam konsep DPKR (Dewan Penyelamat Kedaulatan Rakyat). Semacam pemerintahan alternatif sementara yang akan memfasilitasi terbentuknya pemerintahan baru yang lebih demokratis, yang sama sekali akan meminimalisir anasir kediktatoran lama bercokol kembali. Namun, itu belum maksimal bergaung. Apa daya.

Kami mungkin sudah berhasil merintis dan mempelopori perlawanan terhadap kediktatoran dengan sekuat yang kami bisa. Namun di akhir pertempuran yang tak terduga di masa itu, kami tak kuasa mengarahkan gelombang perlawanan massa yang begitu dasyat ke arah yang lebih baik dari sesuatu yang menamakan dirinya “REFORMASI” (tanpa embel-embel TOTAL di belakangnya).

(Bersambung)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru