Sabtu, 12 Juli 2025

Kisah-Kisah Seputar Gerakan 1998 di Jogjakarta (6): Berjuang Dari Bawah Tanah

Pimpinan Partai Rakyat Demokratik (PRD) di penjara Cipinang, 1996. (Ist)

Jogjakarta sudah dikenal sebagai kota pelopor gerakan mahasiswa secara terorganisir sejak pertengahan 1980-an. Bukan satu kebetulan gerakan mahasiswa meluas ke berbagai kota dan keluar dari kampus masuk ke rakyat,–mengakselerasi militansi dan radikalisme sampai kejatuhan Soeharto Mei 1998. Tulisan ini mengisahkan potongan pengalaman salah satu penggerak mahasiswa di Yogyakarta yang dimuat di

https://dnk.id/artikel/sri-wahyuningsih/kisah-kisah-seputar-gerakan-1998-di-jogjakarta-1995-1998-malam-menegangkan-maret-1998-PKm92 dan dimuat ulang di Bergelora.com. (Redaksi)

 

Oleh: Sri Wahyuningsih

SEBAGAI salah satu pusat pergerakan melawan rezim Orde Baru, tentu saja Jogjakarta menjadi salah satu tempat penangkapan dan perburuan para aktivis pasca peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli). Tidak hanya aktivis PRD saja, tetapi juga aktivis organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok lain.


Kendati demikian, para aktivis yang tertangkap di Jogjakarta boleh bersyukur. Sebab, tidak seperti di Jakarta, Surabaya, maupun kota-kota lain, para aktivis yang tertangkap tidak sampai ditahan lama dan diproses di pengadilan. Setelah “dipermak” secukupnya, rata-rata kemudian dilepaskan.


Saya tidak tahu apa pertimbangan aparat pada waktu itu. Penyikapan para aktivis terhadap situasi ini bermacam-macam. Sebagian menyalahkan PRD yang mereka nilai terlalu maju dalam program-program tuntutannya, dan ini mengakibatkan kelompok lain yang tidak sepakat mengusung program yang sama ikut menanggung akibatnya: ikut diburu dan ditangkap.


Pelarangan, teror, dan suasana represif memang sangat mencekam saat itu. Dan kami berusaha semaksimal mungkin mengadakan koordinasi (bawah tanah). Tujuannya jelas. Mencegah demoralisasi sekaligus menata gerak perlawanan agar tidak terhenti.

Partai Rakyat Demokratik (PRD) menerima kunjungan di penjara Cipinang, 1996. (Ist)

Koordinasi pertama yang saya ikuti dilaksanakan di Perpustakaan Hatta Jalan Solo. Saya ingat betul, pertemuan itu mengoordinasikan 12 orang anggota: Faisol Riza (koordinator), Saya (Nining), Nor Hiqmah (Filsafat-UGM), Edy Haryadi (Filsafat-UGM), Hendrianto Kuok (FH-UGM), Ricardo Simarmata (FH-UGM), Siti Rubaidah (mahasiswa-Salatiga), Amin Sayoga (Sospol-UGM), Harris Sitorus (Sospol-UGM), Mayensi (Sanata Dharma), sedang dua orang lagi saya lupa.


Situasi perburuan membuat para kader berusaha semaksimal mungkin merubah penampilannya. Ada yang mencukur rambut, ada juga yang merubah gaya berpakaiannya, ada yang tadinya tidak berkacamata kemudian mengenakan kacamata, macam-macam. Kebanyakan mengubah penampilannya agar berubah dari biasanya terkesan kumuh, semaunya, sangar dan ugal-ugalan, kemudian nampak menjadi lebih rapi dan ilmiah.


Makanya, pertemuan koordinasi pertama pasca Kudatuli di Jalan Solo itu suasananya menegangankan sekaligus kocak. Sebab, banyak dari kami yang pangling, atau takjub melihat dandanan baru kawan-kawan. Bisa juga kawan ini berubah menjadi bersih dan rapi…


Konsolidasi ini membicarakan teknis koordinasi berikutnya dalam situasi represif. Sebabnya jelas. PRD sebagai dalang Kudatuli, dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang berikut underbouw-nya (SMID, STN, PPBI, Jaker dan SPRIM). Dua belas orang ini kemudian dikoordinasikan dalam kelompok-kelompok kecil berisi masing-masing tiga orang, dikoordinir satu orang koordinator. Para koordinator ini yang kemudian berkoordinasi dengan koordinator-koordinator lain menjadi empat orang.


Koordinasi semacam itu, konon, biasa disebut sistem sel. Para kader hanya boleh berbicara politik dengan sesama anggota dalam kelompok koordinasinya dan dilarang bicara politik dalam komunitas lain. Seingat saya, bahkan sebelum peristiwa 27 Juli itu memang sempat ditiupkan “semacam larangan” untuk orang berkumpul dalam jumlah tertentu di luar areal-areal tertentu yang sudah umum (seperti kampus, sekolah, kantor, dll).


Ada semacam “stigma negatif” yang coba dilekatkan pada organisasi massa dan organisasi progresif, selain organisasi yang diakui pemerintah, dengan kata-kata “Organisasi Tanpa Bentuk” atau “OTB”. 




Selain soal teknis koordinasi itu, dibicarakan juga tentang penyimpanan material-material “haram” yang dipunyai masing-masing orang seperti buku-buku kiri (termasuk novel dan buku Pramoedya Ananta Toer), material-material kongres, serta makalah-makalah yang dianggap berbahaya.


Material-material ini akan disentralisir dan disimpan di sebuah “safe house” yang akan diurus oleh seorang petugas (waktu itu petugasnya Faisol Riza). Jika anggota butuh bacaan, dia akan berkoordinasi dengan koordinatornya, dan koordinator akan berhubungan dengan petugas safe house. Juga dibicarakan soal evakuasi barang-barang di sekretariat SMID di Sendowo.


Untuk sementara, sentral informasi dan koordinasi menumpang di Sekretariat Pers Mahasiswa Sastra-UGM, Dian Budaya. Dalam perjalanannya, kader banyak yang tidak terkoordinasi karena ada yang memang sengaja menghindar. Ada yang kemudian hanya konsentrasi kuliah, memanfaatkan situasi organisasi yang “vakum” dg ikut KKN dan mengerjakan skripsi. Ada yang kembali ke “kebiasaan” sebelumnya yang suka hedon.


Ada juga yang kemudian kerja mencari penghasilan. Tetapi ada juga yang kemudian memang dipindahtugaskan atau deploy ke luar kota oleh organisasi seperti Hendrianto dan Ricardo yang ditarik ke Jakarta. Ada juga beberapa kader yang tertangkap, di antaranya ketua SMID Yogyakarta yaitu Oji, yang kemudian tidak lagi dimasukkan dalam koordinasi kerja-kerja organisasi karena pertimbangan keamanan.


Dikhawatirkan kader yang pernah tertangkap masih selalu diawasi dan dibuntuti. Sistem koordinasinya khusus, dia ditemui petugas khusus. Sampai pada suatu titik di mana orang yang dapat dikoordinasi di Jogjakarta hanya: Riza, Saya (Nining), Hiqmah, Harris Sitorus, dan Susilo. Pilihan tempat koordinasi sangat fleksibel karena pertimbangan keamanan dan jumlah person yang sedikit misalnya di Kantin Sardjito, Warung Padang, musala, bahkan pernah di halaman gedung Film Widya.


Asyik juga, benar-benar seperti bergerilya rasanya. Tak hanya aparat yang bersikap represif. Pengurus masjid pun sering bersikap demikian. Kami pernah diusir dari teras masjid IKIP yang kabarnya dikuasai aktivis NII. 




Dengan recources yang semakin sedikit, kerja-kerja didistribusikan semaksimal mungkin. Saya bertugas mengorganisir mahasiswa dan sementara masih dibantu anggota lain yang ke depannya akan dideploy juga untuk membantu kerja-kerja organisasi dan advokasi terhadap kawan-kawan yang ditangkap di Jakarta dan Surabaya. Faisol Riza kemudian ditarik ke Jakarta, Hiqmah dan Harris deploy ke Surabaya.




Kerja pengorganisiran dilakukan dengan taktik membentuk komite-komite baru sebisa mungkin, dengan metode tertutup atau pun terbuka. Komite-komite baru inilah yang kemudian dipakai untuk terus menyerukan program-program tuntutan mendesak. Juga dipakai untuk menjalin kerjasama dengan kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi lain, mengundang dan menyelenggarakan pertemuan dan diskusi.




Sekitar Oktober-November, pembicaraan kami sampai di satu kesimpulan bahwa “kebisuan dan tiarapnya” Gerakan pro-Demokrasi harus diakhiri dengan diadakannya aksi massa, dengan memanfaatkan isu atau momentum apa pun.

Sampai kemudian pada dini hari tanggal 27 Oktober 1996, percetakan Suara Independen digerebeg aparat Polres Jakarta Selatan.


Lima ribu eksemplar Suara Independen disita dan 10 orang ditangkap (Media Indonesia, Rabu, 30 Oktober 1996). Harris Sitorus langsung bergerak dengan mengatasnamakan Lembaga Pers Mahasiswa jurusan Administrasi Negara bernama “Administrator”. Mengundang Lembaga-lembaga Pers Kampus se-UGM plus Lembaga-lembaga Pers Perguruan Tinggi lain di Jogjakarta.


Disepakatilah dalam pertemuan tersebut sebuah aksi massa yang akan diselenggarakan tanggal 7 November 1996, bertempat di halaman depan MIPA-UGM, di tepi barat Jalan Kaliurang. Namun dengan alasan keamanan tempat berpindah di depan Balairung UGM. Komite Aksi bernama Komite Advokasi terhadap Penindasan Pers disingkat KAPP.




Situasi sangat represif. Massa yang terkumpul baru tujuh orang. Koordinator Lapangan (Korlap) yang telah ditunjuk untuk memimpin aksi tidak sanggup mengatasi ketakutannya dan pamit di pagi hari dengan menyatakan perutnya mulas.


Saya cukup beruntung dengan posisi tugas saya sebagai kronolog, sehingga justru harus dalam posisi aman, tidak boleh tertangkap karena harus mencatat segala detil peristiwa dan mengabarkannya sehingga bisa segera diambil tindakan jika terjadi apa-apa.


Dengan kata lain, demi keberlanjutan gerakan, saya harus aman. Aksi yang rencananya dilaksanakan di halaman Fakultas MIPA-UGM di Jalan Kaliurang, dipindah di depan Balairung Gedung Pusat karena di Jalan Kaliurang sebelah Selatan Perempatan-Selokan Mataram diadakan Operasi Lalu lintas.


Ini fenomena aneh, karena tidak pernah sebelumnya ada Operasi Lalu-lintas di lokasi itu. Nampaknya, itu hanya agar ada alasan untuk adanya konsentrasi aparat di sekitar situ.




Aksi belum berhasil digelar, Kolap baru menginstruksikan massa untuk berkumpul dan spanduk serta poster baru hendak dibuka ketika tiba-tiba aparat berpakaian preman menyerbu, memukul Kolap dan merampas semua perlengkapan aksi. Harris Sitorus yang mengambil alih tugas Kolap  diringkus dan ditangkap, dibawa ke Markas Tentara (Garnisun).


Saya segera menyusun kronologi, sebagai dasar membuat selebaran dan release tentang peristiwa tersebut. Dan bersama Nor Hiqmah mengkoordinir pertemuan untuk menyikapi situasi tersebut.




Pertemuan untuk membahas rencana tindakan berikutnya dilaksanakan pada hari Rabu, 13 November 1996 di Sekretariat Biro Pers Mahasiswa Fakultas Filsafat, Pijar. Berisi sosialisasi Aksi KAPP sebelumnya, sharing pendapat dan pembicaraan tentang solusi. Pertemuan tersebut berhasil membentuk komite baru bernama KOKAM-UGM (Komite Keprihatinan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada). Dalam komite baru inilah spektrum keterlibatan mahasiswa semakin diperluas.


Ada unsur Senat Mahasiswa Universitas dan BEM Universitas di sini, hal yang selama ini sangat sulit terjadi. Situasi perpolitikan mahasiswa di kampus saat itu memang nampak terbelah berkaitan dengan terbelahnya sikap mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah yang disebut NKK/BKK, yang berkonsekuensi terhadap adanya lembaga kemahasiswaan bernama Senat Mahasiswa dan Badan Eksekutif Mahasiswa.


Mahasiswa yang menolak lebih sepakat dengan strutur lembaga kemahasiswaan bernama DEMA (Dewan  Mahasiswa). Untuk sementara waktu, elemen yang mengusung konsep DEMA lebih menampakkan diri sebagai “Parlemen Jalanan” dalam konteks Perpolitikan Mahasiswa waktu itu.




Peristiwa pemukulan terhadap aksi KAPP menjadi momentum untuk mengorganisir aksi solidaritas yang lebih besar. Sekitar 500 orang terlibat dalam aksi ini. Taktik meminimalisir ketakutan massa untuk terlibat dalam aksi ini salah satunya adalah dengan mengenakan jaket almamater ketika aksi berlangsung. Cukup dilematis. Di satu sisi, peserta aksi tidak hanya mahasiswa UGM, jika tidak tepat betul, taktik ini justru bisa jatuh ke sektarianisme kampus.


Di sisi lain, hal itu dapat membesarkan hati para peserta aksi sehingga mampu memobilisir massa lebih banyak. Agitasinya adalah mengangkat isu otonomi kampus dan kebebasan mimbar akademik. Massa aksi ditemui oleh Rektor, Pembantu Rektor III (Bidang kemahasiswaan), Pembantu Dekan III Fakultas ISIPOL, Filsafat dan Sastra di depan Balairung gedung pusat UGM. Aksi sukses digelar…


Aksi Solidaritas yang diadakan oleh Komite baru bernama KOKAM-UGM, bersama aksi “martir” KAPP menjadi momentum kembalinya Gerakan pro-Demokrasi dan kembalinya keberanian melawan penindasan kediktatoran rezim Orde Baru. Dua aksi massa tadi berhasil memecahkan kebisuan dan membangkitkan kembali keberanian para aktivis gerakan di Jogjakarta khususnya dan nasional pada umumnya. Perkembangan jumlah massa benar-benar signifikan, sekitar 70 kali lipat.


Sebenarnya ini bisa dilihat lewat foto-foto dan dokumen. Sayang foto-foto yang saya simpan kebanyakan hancur ketika Merapi meletus. Ketika musim hujan, kamar tempat dokumen itu kebanjiran.


Kesimpulan kami, sentimen anti kediktatoran sudah semakin meluas di masyarakat. Saat itu, sistem politik yang ditopang 5 UU Politik 1985 dan digardai oleh Dwi Fungsi ABRI mengukuhkan kediktatoran. Maka, perjuangan mengubah sistem melalui parlemen adalah hal yang mustahil. Sehingga, metode perjuangan yang bisa dipakai hanya metode ekstra parlementer, alias parlemen jalanan, alias gerakan massa, alias people power.


Itulah mengapa konsentrasi kerja-kerja selalu diarahkan agar bermuara pada gerakan massa, gerakan turun ke jalan. Bentuk organisasi yang lebih bersifat non permanen berupa komite-komite aksi dinilai paling tepat untuk mengatasi situasi dan kondisi saat itu yang sangat represif, namun telah dipantik keberanian untuk bergerak kembali.


Dan sejak saat itu, bertumbuhlah komite-komite aksi di berbagai Universitas dan perguruan tinggi lain bak jamur di musim hujan…

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru