Sabtu, 12 Juli 2025

Kisah-Kisah Seputar Gerakan 1998 di Jogjakarta (8): Surat Cinta

Lukisan Nining dan Anak Tercinta (Ist)

Jogjakarta sudah dikenal sebagai kota pelopor gerakan mahasiswa secara terorganisir sejak pertengahan 1980-an. Bukan satu kebetulan gerakan mahasiswa meluas ke berbagai kota dan keluar dari kampus masuk ke rakyat,–mengakselerasi militansi dan radikalisme sampai kejatuhan Soeharto Mei 1998. Tulisan ini mengisahkan potongan pengalaman pengalaman salah satu penggerak mahasiswa di Yogyakarta yang dimuat di

https://dnk.id/artikel/sri-wahyuningsih/kisah-seputar-gerakan-1998-di-jogjakarta-mahasiswa-fakultas-filsafat-ugm-lengserkan-pd-iii-ab68q dan dimuat ulang di Bergelora.com. (Redaksi)

 

Tulisan berseri ini ditulis berdasarkan kesaksian Sri Wahyuningsih, sarjana Fakultas Filsafat dan juga aktivis prodemokrasi. Tulisan ini bermaksud menyajikan gerakan mahasiswa pro demokrasi angkatan 1998 dari sudut pandang yang bersangkutan. Dimaksudkan sebagai pelengkap untuk memperkaya referensi mengenai apa yang terjadi di balik reformasi 1998 –yang menumbangkan salah satu diktator paling lama berkuasa di dunia: Soeharto. Jogjakarta menjadi salah satu daerah terpenting dalam masa reformasi tersebut. Berikut kisahnya. (dnk.id)

Oleh: Sri Wahyuningsih

Sedikit jeda…

Setelah Jakarta, Surabaya adalah kota kedua yang ditetapkan sebagai daerah prioritas. Jakarta ditetapkan sebagai daerah prioritas karena selain sebagai pusat pemerintahan, adalah juga karena jumlah kaum buruh atau proletarnya yang tinggi.

Sedang Surabaya, meski bukan pusat pemerintahan, memiliki jumlah buruh yang sangat signifikan. Sebagaimana diketahui dari Manifesto Politiknya, PRD menetapkan buruh sebagai kekuatan prioritas pertama dalam strateginya.

Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan (GerBangKertoSuSiLa) adalah kawasan dengan konsentrasi jumlah buruh yang tinggi. Itu salah satu alasan deployment (pemindahtugasan) resources atau kader partai ke kedua daerah prioritas tersebut.

Di tahun 1996, terjadi banyak penangkapan terhadap kader partai di Jakarta dan Surabaya. Di Surabaya, kawan-kawan tertangkap dalam aksi koalisi Mahasiswa-Buruh di kawasan Industri Tandes pada 8 Juli 1996, dan menyisakan tiga orang yang diproses sampai pengadilan, yaitu: Dita Indah Sari (Hukum-UI, saat itu Ketua PPBI), Coen Hussein Pontoh (lulusan Sam Ratulangi-Manado, saat itu Ketua Departemen Pendidikan STN), dan Moh. Soleh (Univ. Wijaya Kusuma-Surabaya, aktivis SMID).

Sedang di Jakarta, pasca kerusuhan 27 Juli dan PRD kemudian dituduh sebagai dalang kerusuhan, sebelas kader PRD ditangkap, yaitu: Budiman Sudjatmiko (Ekonomi-UGM), Petrus H. Haryanto (Sastra-Undip), Anom Astika (Fisip-Unair) Willson (Sejarah-UI), Ken Budha Kusumandaru (IPB), Garda Sembiring (Hukum-UI) Suroso (ISTN), Ignatius Pranowo (IKIP-PGRI), Yakobus Eko Kurniawan (Sastra-UI), Puthut Arintoko (Unsoed), Victor da Costa (Timor Leste).

Di kota-kota lain, juga terjadi perburuan dan penangkapan, tetapi tidak terjadi penahanan yang cukup lama dan tidak sampai terjadi proses pengadilan dan pemenjaraan.

Setelah organisasi mampu mengkoordinasikan diri dan kembali mampu melakukan kerja-kerja politik, salah satu pekerjaan yang dianggap penting dan menjadi prioritas adalah tugas advokasi terhadap kawan-kawan yang ditangkap di kedua kota besar tadi dan sedang menjalani proses persidangan.

Dua hal (penetapan daerah prioritas pengorganisiran dan kerja prioritas advokasi) menjadi dasar pemindahtugasan terhadap kader-kader yang masih bisa dikoordinasikan. Sampai awal tahun 1997, beberapa mahasiswa Yogya yang di-deploy ke Surabaya misalnya Rahardja Waluya Djati (Filsafat-UGM), Mugiyanto Sipin (Sastra-UGM), Harris Sitorus (Sospol-UGM), Hari Subagyo (Filsafat-UGM), dan Nor Hiqmah (Filasafat-UGM).

Sedangkan beberapa kawan yang ditarik ke Jakarta di antaranya: Hendrianto Kuok (Hukum-UGM), Ricardo Simarmata (Hukum-UGM), Edy Haryadi (Filsafat-UGM), Faisol Riza (Sastra-UGM), Margiyono (Ekonomi-UGM), dll.

Ketika sedang membongkar-bongkar arsip dan dokumen, saya menemukan beberapa surat antar kawan dalam kurun waktu tersebut. Dua lembar merupakan surat pribadi, surat cinta.

Saya pikir dua surat ini tidak lagi hanya bermakna pribadi, tapi juga menjadi catatan sejarah, sehingga tidak ada salahnya jika saya sertakan dalam tuturan kisah. Sebagai selingan dan juga gambaran bahwa aktivis juga manusia…

Sedikit latar…

Setelah 12 orang berhasil dikoordinasikan di Yogyakarta pasca crackdown 27 Juli, kami dipecah dalam koordinasi sel. Masing-masing sel berisi tiga orang, satu orang berposisi sebagai koordinator.

Sudah hanya tiga orang, sering tidak pas pula waktu para anggota untuk bertemu, jadi kadang dua orang harus menunggu seorang lainnya dalam waktu yang lama.

Saya berdua dengan laki-laki dalam proses tunggu-menunggu itu. Alhasil, sering jadi seperti orang apel ketika hanya berdua. Lama-lama tumbuh juga perhatian lebih. Dan, ketika orang tersebut mengatakan akan di-deploy ke Surabaya untuk mengorganisir buruh, rasa simpati pun muncul.

Dia yang berpostur langsing (untuk tidak mengatakan kurus) mau mengorbankan segalanya demi gerakan: hidup mapan sebagai mahasiswa, masa depan cerah, dan sebagainya. Pikirku waktu itu, orang seperti inilah orang yang sangat layak untuk disayang dan didukung. Ehm…

Sejak saat itu, ketika koordinasi, saya suka sengaja mengambil tempat duduk tepat di hadapannya saat koordinasi di warung Padang, misalnya, sambil merecoki makannya. Dan dia, putra pendeta Batak yang baik hati, akan mendekatkan piring ke hadapan saya dan memberikan satu alat makannya…

Suatu malam, Siti Rubaidah datang malam-malam ke kost saya di Karangmalang dan bilang bahwa ada kawan yang naksir saya. Setelah info dikorek, ternyata si doi. Tanpa pikir panjang, besok malamnya saya kroscek di depan Sekretariat Dian Budaya. Ternyata benar. Uhuy…!

Waktu itu, kami sama-sama tau, ada satu orang kawan sedang dalam usaha PDKT juga ke saya. Demi  menjaga hubungan antar kawan biar tidak ada tuduhan menyalip di tikungan, maka dia harus clearing dulu dengan kawan tersebut. Ternyata kawan tersebut tidak keberatan. “Silakan maju”, katanya. Maka, pacaranlah kami…

Namun, tak berapa lama, dia harus berangkat ke Surabaya karena penugasan dari Partai. Maka dimulailah hubungan jarak jauh kami. Berikut salah satu suratnya di awal Januari 1997:

Surabaya, 6 Januari 1997

Salam Perjuangan dan Salam Sayang.

Aku sudah nyampe di Surabaya dengan selamat. Dalam beberapa hari ini aku baru belajar kenal situasi kota ini. Sumpek, kumuh, dan sering banjir, walaupun hujan tidak terlalu lebat. Ya, hampir samalah dengan kota-kota besar (big village?) lain di Indonesia seperti Jakarta ataupun Medan. Juga kelihatan sekali kontradiksi di masyarakat: gedung-gedung yang tinggi dan mewah kontradiktif dengan perumahan-perumahan rakyat kecil yang kumuh, kekurangan air, sanitasi yang jelek, dll.

Beginilah hasil pembangunan pemerintah kapitalis Orba ini. Hebat, ya. Tapi nggak apa-apalah. Justru dengan melihat langsung keadaan ini membuat aku berpikir bahwa apa yang aku dan kita-kita semua lakukan adalah benar. Bukankah begitu? Itulah sedikit tentang itu ya? Biasa, agitasi dulu…

Oh ya, bagaimana kabarmu sesudah aku tinggal? Baik-baik aja atau sebaliknya sakit? Kayaknya sakit nih. Sakit karena rindu. Aku juga ini, Ning. Baru beberapa hari nggak ketemu tapi perasaan ini kangen sekali gitu. Pengin cepat pulang. Tapi gimana ya, tugas mengharuskan kita pisah. Kejam, ya. Gara-gara rezim ini kita harus jarang ketemu.

Santai, Pek. Kata kawan-kawan.

Benar juga aku pikir. Kalau terlalu dibawa ke hati bisa-bisa aku pengin nempel terus sama kamu, terus aku mengalami moderasi, terus ninggalin tugas-tugas rakyat. Aku nggak mau begitu. Kamu juga pasti. Itulah uniknya kita. Pacaran kita memang pacaran yang revolusioner, ya? Justru sangat romantis aku rasa. Dan lewat hal-hal seperti ini kita diuji. Benar nggak kita saling menyayangi. Aku harap kita berhasil.

Itulah sedikit tambahan, ya. Sorry aku nggak bisa bikin surat panjang-panjang. Selain nggak bisa, juga karena ini Pak Posnya (Jati) harus segera berangkat. Salam sayang. Mimpikan dan ingat aku di malam-malammu dan hari-harimu.

Tetap terus berjuang.

Sampai menang…!

NB.: Salam buat teman-teman.

Salam mesra & peluk cium

Xxx

Ternyata menjalani hubungan jarak jauh itu cukup berat. Ketika dia pulang ke Yogya, belum tentu saya sedang luang. Atau sebaliknya, ketika dia pulang ke Yogya dan saya luang, dia harus mengurus sesuatu. Tambahan lagi, kadang dia suka lupa waktu ketika sedang asyik mendalami teknologi yang waktu itu masih baru: komputer dan internet.

Masa itu, cara mengakses internet masih belum sepraktis sekarang. Harus ada jaringan telepon rumah yang tersedia. Maka, dia harus pergi ke rumah kawan yang ada telepon rumahnya. Dan itu bisa menyita waktunya banyak. Hal semacam itu terjadi beberapa kali, dan dimulailah riak-riak kecil di antara kami. Dan berikut salah satu suratnya, sepertinya ini surat yang dia buat tidak lama sebelum kami kemudian putus baik-baik.

Yogya, pagi tanggal 7 Agustus 1997

Buat Nining yang sabar,

Kejadian tadi malam sempat juga membuat aku agak marah dengan kau. Alasan utama adalah bahwa kau berusaha menutup-nutupi sesuatu dari aku, yang pada akhirnya kau akui juga yaitu kebimbanganmu tentang keseriusan aku dalam hubungan ini.

Kau menjadikan alasan bahwa kita terlalu sering berpisah sebagai buktinya. Ini tentu saja membuat aku marah, dan kemarahanku semakin besar ketika kau berdiam diri aja atas pertanyaan-pertanyaan yang aku ajukan. Maksud aku dengan bertanya itu adalah gimana supaya kita biasa menyampaikan sesuatu itu (baik kritik, masukan, ancaman) dengan tegas, jujur, tapi rasional. Bukankah kita ini bukan sekadar makhluk yang emosional belaka? Yang hanya sekedar menonjolkan “rasa”-nya?

Aku nggak tahu alasanmu yang senang berdiam diri itu. Tapi mungkin ini sudah watakmu atau bahkan watak kita berdua. (Sebab aku lihat juga selama ini betapa susahnya kita berbicara secara bebas―berbicara nikmat―tentang sesuatu hal yg sifatnya politis ataupun tidak). Tapi terus terang aja ini sangat mengganggu.

Soal kita harus sering pisah.

Aku sangat berharap sebenarnya bahwa hal seperti ini tidaklah harus dipertanyakan lagi. Aku rasa kau sudah mengerti bagaimana posisi/kondisi orang-orang seperti kita ini di zaman yang sangat hedonistik (kapitalistik) ini, plus fasis, dan segala macam embel-embel jelek lainnya.

Dalam kenyataannya kau masih menanyakan juga dan aku kaget sekaligus marah kenapa ini masih harus kita perdebatkan (minimal saat itu baru tahap ditanya aja) lagi. Tidakkah ada pertanyaan lain yang lebih cocok misalnya: Anjing kau…! Kenapa sih, kalau datang ke sini kau kelihatannya nyuekin aku aja? Mbok aku diperhatiin dikit! Atau hal-hal lainlah yang nggak mempersoalkan pisah lama.

Aku tahu bukan soal sering pisah yang sebenarnya menjadi alasan untuk mempertanyakan keseriusanku, tapi persoalannya lebih pada masalah perhatian, waktu, rasa kebersamaan, dan rasa memiliki.

Terutama untuk masalah perhatian aku terus terang aja harus minta maaf ke kau. Mungkin watakku yang kakulah yang membuat aku begitu. (Terserahlah kau menganggapnya apologi ataupun bukan). Aku sejak kecil seorang yang sangat introvert (bukan berarti egois) dan tidak terbiasa mahami orang per orang, jadinya nggak punya pengalaman. Di sinikah masalahnya? Atau mungkin kau beranggapan lain?

Aku selalu berusaha untuk rasional, walaupun belum tentu dalam kenyataannya rasional. Dan aku juga berharap kau begitu: lebih rasional (berarti objektif). Aku nggak mau kau terlalu membawa perasaan. Bukan berarti kita tidak boleh punya perasaan, tapi aku pikir proporsi rasionalitasnya harus lebih besar. Bagaimanapun kita manusia. Salah satu faktor kita berjuang adalah bahwa kita bisa merasa (punya rasa) sakit, sehingga bisa merasakan sakit orang lain.

Aku rasa gitu aja dulu ya! Jangan merengut, ‘ntar cepat tua, lho! Trus aku minta maaf tadi malam “merengut” (marah) gitu sama kau.

Peluk & cium

Aku

N.B.:

Oh, ya, sorry aku nggak bangunin kau tadi malam buat ngobrol karena aku pikir kau sangat kecapaian dan agak malas buat ngomong. Aku harap kau lain waktu bisa lebih galak dan ekspresif. (Asal jangan terlalu galak aja, ya. Ntar aku jadi ketakutan terus jatuh pingsan.)

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru