Jogjakarta sudah dikenal sebagai kota pelopor gerakan mahasiswa secara terorganisir sejak pertengahan 1980-an. Bukan satu kebetulan gerakan mahasiswa meluas ke berbagai kota dan keluar dari kampus masuk ke rakyat,–mengakselerasi militansi dan radikalisme sampai kejatuhan Soeharto Mei 1998. Tulisan ini mengisahkan potongan pengalaman pengalaman salah satu penggerak mahasiswa di Yogyakarta yang dimuat di
https://dnk.id/artikel/sri-wahyuningsih/kisah-seputar-gerakan-1998-di-jogjakarta-mahasiswa-fakultas-filsafat-ugm-lengserkan-pd-iii-ab68q dan dimuat ulang di Bergelora.com. (Redaksi)
Tulisan berseri ini ditulis berdasarkan kesaksian Sri Wahyuningsih, sarjana Fakultas Filsafat dan juga aktivis prodemokrasi. Tulisan ini bermaksud menyajikan gerakan mahasiswa pro demokrasi angkatan 1998 dari sudut pandang yang bersangkutan. Dimaksudkan sebagai pelengkap untuk memperkaya referensi mengenai apa yang terjadi di balik reformasi 1998 –yang menumbangkan salah satu diktator paling lama berkuasa di dunia: Soeharto. Jogjakarta menjadi salah satu daerah terpenting dalam masa reformasi tersebut. Berikut kisahnya. (dnk.id)
Oleh: Sri Wahyuningsih
SEBENARNYA, apa makna demokrasi? Demokrasi bermakna kedaulatan rakyat. Dan kedaulatan rakyat bermakna kontrol rakyat atau warga dalam suatu komunitas atas peri kehidupan yang menyangkut kehidupan bersama komunitas.
Kontrol warga dalam lingkup komunitas paling kecil keluarga, komunitas lebih luas lagi seperti lingkungan antar tetangga atau RT, RW, kampung, desa atau kelurahan, dan seterusnya sampai komunitas negara. Juga komunitas sekolah, kampus, tempat kerja, dan lain sebagainya.
Penjelasan ini penting untuk memberi konteks dalam peristiwa yang akan saya ceritakan.
Sebelum aksi KAPP tanggal 7 November 1996 dan aksi KOKAM UGM Tanggal 18 November 1996, gerakan demokrasi (terutama di Jogjakarta) bungkam, membisu karena ketakutan akibat represi negara. Setelah adanya dua aksi kepeloporan tersebut, keberanian muncul kembali, terutama karena perasaan “ada banyak kawan” yang mempunyai kesamaan tekad: melawan segala bentuk kediktatoran.
Sentimen anti kediktatoran yang sudah lama menguat, yang kemudian terinterupsi crack down 27 Juli, kemudian kembali menjadi semangat bersama yang tak dapat dihalang-halangi. Tak hanya dalam konteks kenegaraan, sentimen anti kediktatoran manifes juga dalam kehidupan sehari-hari, dalam lingkungan terdekat, di lingkungan Fakultas Filsafat, seperti yang akan saya ceritakan berikut ini.

Pasca dua aksi tersebut, komite yang kami bentuk, Jaringan Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (JKMY) berniat mengadakan pembenahan internal dengan mengadakan Rapat Umum. Organisasi-organisasi lain pun tidak banyak mengadakan kegiatan yang cukup berarti dalam konteks memanaskan terus situasi.
Hanya gerakan-gerakan kecil yang dilakukan untuk terus menjaga elan demokrasi, misalnya acara yang diadakan oleh Senat Mahasiswa UGM dengan acara “Dialog Terbuka” dengan tema “Udin Hadir Lagi” tanggal 10 Desember 1996; acara “Refleksi Hari HAM sedunia 1996” yang diadakan Teater Ef-Ha, Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tanggal 9-11 Desember 1996; juga “Forum Refleksi, Puisi dan Orasi Memperingati hari HAM” yang diadakan oleh Dewan Mahasiswa (Dema) UGM Tanggal 10 Desember 1996.
Sebuah peristiwa pada tanggal 19 Desember 1996 yang menggambarkan “sebuah kemenangan kecil demokrasi” sehingga layak untuk diulas adalah Aksi Mimbar Bebas Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM yang menuntut Pembantu Dekan III untuk mundur.
Aksi ini dipicu penilaian mayoritas mahasiswa tentang sikap otoriter Pembantu Dekan III yang mengepalai Bidang Kemahasiswaan di lingkungan Dekanat. Acara-acara yang sudah disepakati sebelumnya (oleh pihak Dekanat dan Lembaga Kemahasiswaan), tiba-tiba dimentahkan dengan alasan yang seringkali tidak mendasar.
Misalnya acara Studium Generale yang ditolak dengan alasan mengganggu kalender akademik. Seperti yang dikemukan oleh mahasiswa yang dianggap mbaurekso sekre bersama di Fakultas Fisafat, Admo. Mahasiswa angkatan 95 ini berlatar belakang aktivis Biro Pers Mahasiswa Fakultas Filsafat “Pijar”.
Memang tema yang akan digelar “mengandung unsur politik”, sehingga menjadi “sensitif” bagi PD III yang (kabarnya) bekerja juga untuk Lemhanas. Fachrizal Azmi Halim (saat itu Ketua Umum BEM) dan Medhy Aginta Hidayat (saat itu Ketua SMF) menyatakan hal senada tentang sudah diusahakannya Forum Dialog dan Hearing untuk menjembatani “perbedaan persepsi” antara pihak Dekanat dan Lembaga Kemahasiswaan.
Namun selalu menemui jalan buntu akibat “sikap arogan dan feodal” pihak Dekanat.
Ketidaksepakatan pihak Dekanat terhadap suatu acara tentu saja berakibat sulitnya dana kemahasiswaan untuk diakses. Padahal, dalam jumlah nominal SPP yang dibayarkan mahasiswa, sudah ditentukan sekian persen untuk kegiatan kemahasiswaan.
Selain hal di atas, saat itu sedang dimulai tindakan “sterilisasi kampus” dari kegiatan “politik praktis” dengan alasan pemantik “ruang-ruang kemahasiswaan sering oleh ‘oknum mahasiswa’. Mereka menuding bahwa kegiatan-kegiatan itu dilakukan di luar jam dan lingkup kegiatan BEM, Senat dan Lembaga Kemahasiswaan lain”.
Sebelumnya memang sudah ada desas-desus akan diberlakukannya “jam malam” di kampus.
Di Fakultas Filsafat waktu itu, kunci ruang kemahasiswaan sudah mulai ditarik oleh penjaga malam tiap jam 18.00 wib, sehingga ruang-ruang tersebut sudah harus dikosongkan dari kegiatan sebelumnya. Kunci-kunci ruang kemahasiswaan disita secara keseluruhan dan harus ijin pada PD III untuk menggunakan ruang-ruang tersebut.
Perlu dikemukakan di sini, berbeda dengan sebutan lembaga kemahasiswaan di fakultas lain, lembaga kemahasiswaan di Fakultas Filsafat disebut Badan Semi Otonom yang bermakna otonom dalam bentuk kegiatannya. Tapi, dalam hal pendanaan, ia bergantung pada dana kemahasiswaan dari universitas (yang sebenarnya bersumber dari sekian persen SPP yang dibayarkan mahasiswa juga).
Paling tidak, dari sebutan yang dipilih, nampak semangat untuk membebaskan “kreativitas” mahasiswa dalam menciptakan bentuk kegiatan yang dinilai paling sesuai bagi mahasiswa itu sendiri. Dan hal ini dianggap penting karena mahasiswa adalah juga bagian terbesar dari apa yang disebut civitas akademika sehingga suaranya sangat layak untuk dipertimbangkan, terutama dalam mengatur kegiatan kelembagaannya sendiri.
Aksi mimbar bebas mendapat dukungan seluruh Lembaga Kemahasiswaan di Fakultas Filsafat. Hal ini nampak dari statemen solidaritas yang dibacakan masing-masing perwakilannya.
Senat Mahasiswa dibacakan oleh ketuanya Medhy A.H.; Badan Eksekutif Mahasiswa dibacakan oleh Wakil Ketua BEM Asianto Eko; dan keempat BSO, yaitu: BPMFF “Pijar” dibacakan oleh Endiq A.P.; Forum Budaya “Retorika” dibacakan oleh Manik W. Sadmoko; Mahasiswa Pecinta Jagat Raya “Panta Rhei” dibacakan oleh Danang Ardianta; dan Keluarga Muslim Filsafat dibacakan oleh Umaro; ditambah Suara Mahasiswa Angkatan 1994 dibacakan oleh Nur Setyo Budi; dan Suara Mahasiswa Sastra dibacakan oleh Gusti.
Dewan Mahasiswa UGM kemudian juga mengeluarkan statemen solidaritas yang ditanda-tangani oleh Sekjendnya, Titok Haryanto. Aksi Mimbar Bebas ini diikuti oleh sekitar 120-an mahasiswa. Ini sudah cukup besar, mengingat rata-rata jumlah mahasiswa dalam satu angkatan hanya berkisar 70-an orang.
Tuntutan aksi selain tuntutan utama “menuntut PD III untuk mundur” antara lain adalah: pemangkasan dan perubahan birokrasi kampus; tegakkan hak politik mahasiswa (sebagai bagian terbesar civitas akademika yang seharusnya diikutsertakan dalam pengambilan segala keputusan menyangkut kepentingan semua pihak). Ada juga ancaman untuk mogok ujian dan mogok kuliah. Bahkan kemudian ada moratorium untuk mogok kuliah.
Dan tuntutan-tuntutan tersebut, yang tergambar dalam poster-poster dan spanduk yang dipakai sebagai perkap aksi, kemudian ditempelkan pada tempat-tempat strategis, antara lain di dinding kampus dan papan pengumuman. Bahkan spanduk yang terbuat dari “bagor” kemudian ditempelkan di dinding luar kampus yang menghadap ke Jalan Olah Raga Bulaksumur.
Isi spanduk dan poster antara lain: Lembaga Mahasiswa bukan titipan penguasa; PD III atau kami yang mundur; Pangkas birokrasi ruwet; turunkan PD III; Jangan kebiri hak-hak kami; Lembaga Mahasiswa bukan boneka Dekanat.
Aksi berakhir pukul 11.13 wib.
Beberapa menit pasca aksi (11.40 wib), Koordinator Lapangan aksi (Agus Subhan) dan Ketua Senat Fakultas (Medhy A.H) dipanggil pihak Dekanat. Mengetahui hal ini, kawan-kawan berkoordinasi untuk mengawal karena ketidak-terbukaan pihak Dekanat yang menolak untuk berdialog secara terbuka di hadapan massa aksi, namun kemudian, justru memanggil perwakilan secara perorangan.
Ya, dalam forum Mimbar Bebas, pihak Dekanat sudah diberi kesempatan untuk menjawab segala tuntutan yang diajukan mahasiswa, namun tidak seorang pun berinisiatif untuk memenuhi undangan. PD III sendiri saat itu kabarnya sedang berada di Jakarta.
Sementara itu, seorang yang mengaku Kepala Satuan Pengaman UGM didampingi seseorang berjaket dengan logo UGM menanyakan Aksi Mimbar Bebas yang baru usai. Mereka menanyakan siapa yang bertanggung jawab, apakah poster-poster dan spanduk akan tetap dipasang, dan lain sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan tadi dijawab oleh mahasiswa yang kebetulan berada di ruang BEM (antara lain: Nor Hiqmah, Tutur, Admo, Rasyid dan Irma) bahwa yang bertanggung jawab atas aksi ini adalah mahasiswa secara keseluruhan, dan poster serta spanduk akan tetap dipasang sampai tuntutan dipenuhi.
Pukul 13.15 wib., pegawai Fakultas, Drs. Imam Purnomo, didampingi dua orang karyawan meminta ijin untuk mencopot poster dan spanduk atas perintah PD II dengan alasan mengganggu pandangan. Mahasiswa tidak mengijinkan pencopotan poster dan spanduk sebelum ada kepastian tuntutan dikabulkan.
Di samping itu, mahasiswa orang-per orang atau pun sebagian tidak berhak memutuskan boleh atau tidaknya poster dan spanduk itu dicopot sebelum ada putusan yang disepakati bersama. Jika alasan pencopotan sekedar mengganggu pandangan, maka itu akan sangat subyektif penilaiannya. Setelah berpikir sejenak dan bujukan mereka tidak mempan, pegawai tersebut menyatakan akan menanyakan kembali ke pengurus Fakultas.
Dan, poster serta spanduk itu tetap terpasang dan baru dicopot setelah PD III dinyatakan dinonaktifkan pihak Dekanat.
Perlu digambarkan juga bahwa Jalan Olah Raga depan Fakultas Filsafat saat itu masih dilewati kendaraan umum termasuk bus kota sehingga posisinya cukup strategis. Ketika banyak tempelan poster dan spanduk, siapa pun akan bertanya-tanya tentang apa yang terjadi, termasuk mahasiswa dari Fakultas-fakultas lain.
Solidaritas antar Persma di lingkungan kampus adalah paling tinggi di antara organ-organ lain kala itu. Saling menguatkan dan berdiskusi terutama antara BPMF Filsafat “Pijar”, LPMF Sastra “Dian Budaya”, LPMF Fisipol “Sintesa” dan LPMF Hukum “Mahkamah” dan Dewan Mahasiswa UGM.
Sehingga, kasus tuntutan penurunan PD III pun banyak mendapat dukungan dari fakultas lain. Senat Fakultas pun banyak berhubungan dengan senat-senat fakultas lain terutama Fakultas Sastra, Fisipol dan Hukum. Karena dukungan meluas, maka pihak Dekanat juga tidak berlama-lama untuk mengambil tindakan.
Meskipun beberapa nara sumber yang dihubungi tidak ingat pasti kapan tepatnya, yang jelas pihak Dekanat, tak sampai sebulan setelah Aksi Mimbar Bebas, kemudian menonaktifkan PD III dan mengambil alih segala urusan kemahasiswaan yang seharusnya ditangani oleh PD III.
Penonaktifan tersebut berlaku sampai masa jabatan kepengurusan periode tersebut habis, jadi tidak ditunjuk pejabat pengganti. Situasi di kampus juga lebih terasa kondusif karena banyak pihak, terutama birokrat kampus, tidak hanya di Fakultas Filsafat, lebih berhati-hati ketika hendak menerapkan suatu aturan atau melaksanakan suatu kebijakan. Pihak Dekanat juga terasa semakin akomodatif terhadap aspirasi mahasiswa.
Longgarnya kebijakan di Kampus itulah yang membuka jalan bagi kehidupan kemahasiswaan di Kampus. Diskusi, kumpul-kumpul kegiatan kemahasiswaan bisa berlangsung sampai malam. BPMFF “Pijar” bisa membuat pelatihan Persma bersama persma fakultas-fakultas lain. Kampus menjadi hidup, dan di sinilah cikal bakal munculnya organ mahasiswa radikal bernama KPRP di tahun 1998, yang lahirnya didahului dengan Aksi Mogok Makan yang berhasil menjadi salah satu “sentral informasi” bagi gerakan di Yogyakarta.
Suatu kemengan, betapa pun kecilnya, akan sangat bermakna karena dia membesarkan hati untuk dapat meraih kemenangan-kemenangan berikutnya. Atmosfer politik yang positif harus diciptakan dan dibangun terus-menerus. Dan watak demokratis harus dilatih dan diajarkan terus-menerus kepada pejuang demokrasi, dan didesakkan terus kepada penguasa, besar atau pun kecil.
Sumber Tulisan:
1. Keterangan dari beberapa Nara Sumber, antara lain: mantan Ketua Senat Mahasiswa waktu itu (Medhy Aginta Hidayat), mantan Wakil Ketua BEMF (Asianto Eko), mantan Pengurus BPMFF PIJAR (Manik Wijil Sadmoko), mantan Ketua Mapajara PANTA RHEI (Danang Ardianta), mantan Ketua BSO Seni Budaya RETORIKA (Wahyu Adi Prabowo), mantan Pemimpin Umum BPMFF PIJAR (Irmawati Dewanto), dan Tokoh Mahasiswa Arya Kresna Maheswara.
2. Kronologi Aksi Mimbar Bebas Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM Menuntut PD III untuk Mundur Tanggal 19 Desember 1996.
3. Statemen Solidaritas Keluarga Muslim Filsafat UGM.
4. Pernyataan Sikap BKM Seni Budaya RETORIKA.
5. Pernyataan Sikap Keprihatinan Biro Pers Mahasiswa Fakultas Filsafat PIJAR.
6. Pernyataan Sikap Mahasiswa Pecinta Jagat Raya PANTA RHEI.
7. Pernyataan Sikap Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Filsafat.
8. Pernyataan Sikap Dewan Mahasiswa UGM.