Senin, 15 September 2025

Kisah Seputar Reformasi (11): Teori Kelembaman dan Kontra Intelijen

Aksi Partai Rakyat Demokratik (PRD) menuntut pengadilan bagi mantan Presiden RI Soeharto. (Ist)

Jogjakarta sudah dikenal sebagai kota pelopor gerakan mahasiswa secara terorganisir sejak pertengahan 1980-an. Bukan satu kebetulan gerakan mahasiswa meluas ke berbagai kota dan keluar dari kampus masuk ke rakyat,–mengakselerasi militansi dan radikalisme sampai kejatuhan Soeharto Mei 1998. Tulisan ini mengisahkan potongan pengalaman pengalaman salah satu penggerak mahasiswa di Yogyakarta yang dimuat di https://dnk.id/artikel/sri-wahyuningsih/kisah-seputar-reformasi-11-teori-kelembaman-dan-kontra-intelijen-NMTeU dan dimuat ulang di Bergelora.com. (Redaksi)

Tulisan berseri ini ditulis berdasarkan kesaksian Sri Wahyuningsih, sarjana Fakultas Filsafat dan juga aktivis prodemokrasi. Tulisan ini bermaksud menyajikan gerakan mahasiswa pro demokrasi angkatan 1998 dari sudut pandang yang bersangkutan. Dimaksudkan sebagai pelengkap untuk memperkaya referensi mengenai apa yang terjadi di balik reformasi 1998 –yang menumbangkan salah satu diktator paling lama berkuasa di dunia: Soeharto. Jogjakarta menjadi salah satu daerah terpenting dalam masa reformasi tersebut. Berikut kisahnya. (dnk.id)

Oleh: Sri Wahyuningsih

SEHARUSNYA saya menulis soal rentetan Aksi Boikot Pemilu yang terjadi di bulan Maret 1997. Aksi tersebut penting saya ceritakan karena menggambarkan konsistensi menjalankan program yang sudah diputuskan. Sekaligus menggambarkan keluwesan taktik yang dilakukan tanpa harus “menyiasati program” karena alasan “keamanan”, atau menolak melaksanakan dengan dibungkus retorika dan alasan: isu itu tidak taktis untuk mengorganisir dan memobilisasi massa.

Pengadilan terhadap Ketua Umum PRD Budiman Sudjadmiko dan Sekjen PRD, Petrus Hariyanto tahun 1996. (Ist)

Aksi Boikot Pemilu di bulan Maret itu akan tetap saya ceritakan setelah tulisan saya berikut. Memang, secara kronologis tulisan berikut ini agak meloncat karena peristiwa yang akan saya ceritakan ini terjadi di bulan Oktober 1997. Namun, saya pikir tak apa, hitung-hitung sebagai selingan karena terkadang jenuh rasanya mengikuti peristiwa secara linier saja.

Judulnya keren, ya, nampak ilmiah keeksakta-eksaktaan. Ya, meski saya kuliah di Humaniora (Filsafat), waktu SMA, saya mengambil jurusan IPA (Fisika) sehingga saya sedikit tau soal teori kelembaman. Sepemahaman saya, begini jika teori ini diterapkan dalam peristiwa sehari-hari: ketika orang menumpang kendaraan yang berjalan dengan kecepatan tertentu, ketika kendaraannya tiba-tiba direm dan berhenti, orang tersebut akan tetap punya gaya dorong ke depan beberapa saat, sehingga orang tersebut bisa kejeduk benda di depannya.

Demikian juga benda diam yang diberi gaya dorong, dia tidak serta-merta bisa bergerak, tapi akan menunggu sampai gaya tadi mencukupi untuk benda itu mulai bergerak. Nah, ternyata, teori kelembaman ini tak hanya berlaku dalam ilmu fisika, tetapi berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya, itu berlaku juga dalam respon mahluk hidup, termasuk manusia.

Kemudian soal kontra intelijen. Dalam percakapan sehari-hari, mau tidak mau, kami harus bicara juga sedikit-sedikit soal bagaimana bersiasat menghadapi aparat agar resiko dapat diminimalisir. Salah satu trik sederhana ketika kepentok aparat adalah: bertanyalah dahulu sebelum kau ditanya aparat. Itu akan membuat aparat berpikir: 1. Apakah dia harus menjawab pertanyaan kita? 2. Ketika harus menjawab, dia harus memikirkan pertanyaan kita apa jawabannya. Ketika aparat harus berpikir, meski hanya beberapa detik, ada sedikit waktu buat kita untuk melarikan diri.

Pimpinan Partai Rakyat Demokratik (PRD) di penjara Cipinang, 1996. (Ist)

Dua hal tadi, teori kelembaman dipadu dengan kontra intelijen sederhana, telah terbukti berhasil saya praktekkan untuk melarikan diri dari aparat. Ceritanya begini:

Sejak 1 Okober 1997, penugasan saya di organisasi adalah Komisaris Kota Jogjakarta sekaligus Komisaris Wilayah untuk Daerah non-Prioritas II Jogjakarta-Jawa Tengah. Sudah saya ceritakan di tulisan sebelumnya bahwa daerah prioritas adalah Jakarta dan Surabaya.

Wilayah selain dua wilayah tersebut biasa disebut Daerah non-Prioritas atau Daerah Penyangga. Dalam rangka penugasan saya tersebut, saya bertanggung jawab membantu Sekjend dalam menarik laporan kerja kota-kota di wilayah penugasan saya dan menyampaikannya pada Sekjend.

Struktur organisasi yang kemudian dipakai waktu itu adalah struktur komando, sebuah struktur sementara ketika kondisi dinilai harus disikapi secara khusus. Dalam kerangka Struktur Komando tersebut, saya kemudian juga ditunjuk sebagai Komando Wilayah Jogjakarta-Jawa Tengah, yang berarti saya juga yang bertanggung jawab atas berlangsungnya kerja-kerja politik di Wilayah tersebut.

Di daerah non-prioritas, kader yang ditinggalkan untuk “mengurus” hanya satu kader di satu kota, kader-kader lain ditarik dan didistribusikan ke dua wilayah prioritas. Bisa dibayangkan betapa “kesepiannya” kami waktu itu. Kami tidak bisa sembarangan mengajak diskusi orang lain tentang persoalan organisasi dan gerakan, serta kesulitan-kesulitan yang kami hadapi.

Prinsip “kerahasiaan” harus dipegang teguh demi keamanan kami sendiri, organisasi, dan keberlangsungan gerakan. Jadi, jika saya perlu mendiskusikan suatu masalah, misalnya, saya harus pergi ke Solo (kota terdekat) untuk menemui kader lain yang ditugaskan di sana. Saya harus menyediakan, minimal, ongkos untuk berangkat dan menyisakan “koncian” ongkos pulang. Jadi, seandainya saya tidak bertemu kawan yang dimaksud, saya masih bisa pulang dengan “koncian” ongkos pulang tadi. Jika bertemu, saya bisa minta ditanggung biaya hidup selama di sana, plus ongkos pulang.

Ya, seringkali, kami hanya punya ongkos pas untuk transport saja, tanpa uang lebih untuk sekedar beli pengganjal perut. Lapar harus kami tahan sampai bertemu kawan di kota tujuan. Masing-masing kader di kota biasanya lebih sanggup bertahan hidup ketika berada di kotanya masing-masing. Paling tidak, kami punya teman dan kontak yang bisa dimintai bantuan sekedar traktir makan dan transport, kepepetnya ya hutang, lah… Jika harus pergi ke kota lain, biasanya kami akan “pasrah hidup-mati” pada kawan di kota tersebut.

Pernah terjadi, saya seharian tidak berada di kost atau pun di Kampus. Aan Rusdianto dari Semarang seharian itu bolak-balik berkali-kali dari Kampus Filsafat ke kost Karangmalang mencari saya, dan baru berhasil bertemu di pagi esok harinya. Dia tidak bisa ke mana-mana karena kehabisan ongkos.

Malam itu, dia menginap di Fakultas Filsafat ditemani penjaga malam. Untunglah, kami adalah manusia-manusia yang cukup pandai bergaul, sehingga penjaga malam di kampus pun menganggap tamu saya adalah amanah bagi mereka untuk diterima dengan baik. Bisa dibayangkan kan, betapa akrab saya dengan penjaga malam di kampus. Hihihi…

Minggu, 12 Oktober 1997, saya menghadiri pertemuan Komite Jogjakarta-Jawa Tengah di Pekalongan. Komite ini adalah “struktur bawah” yang bertanggung jawab, selain mengorganisir massa rakyat di basis, juga bertanggung jawab menyediakan “panggung” bagi kawan-kawan yang ditugaskan sebagai “corong organisasi”, orang-orang yang “ditokohkan”, ditempatkan sebagai pengurus “organisasi atas” untuk “berbicara” di hadapan massa dalam aksi-aksi massa. Pertemuan ini dihadiri juga oleh kawan yang ditempatkan di “atas” (Nor Hiqmah) untuk mensinergiskan “kerja bawah” dengan “kerja atas”.

Waktu itu, “organisasi atas” yang berhasil dibentuk adalah KNPD (Komite Nasional Perjuangan untuk Demokrasi), sebuah organisasi yang diharapkan dapat menarik minat massa bawah PDI-Perjuangan, sesuai sikap PRD yang disepakati waktu itu yaitu memberikan “dukungan kritis” pada PDI. Tak heran jika Ketua Umum pertama KNPD ini, Agus Siswantoro, adalah juga ketua FKK-124, sebuah organ yang dibentuk untuk mewadahi keluarga para korban peristiwa penyerangan kantor pusat DPP-PDI Tanggal 27 Juli 1996 di Jakarta. FKK adalah singkatan dari Forum Keluarga Korban, sedang 124 adalah jumlah korban yang jatuh. Sedangkan Sekretaris Jenderal KNPD adalah sahabat terbaik saya: Nor Hiqmah. Ketika Agus Siswantoro tidak bisa aktif lagi, posisi ketua digantikan oleh Nuraini, kawan satu kos kami juga di asrama Kartini-Kartini, Karangmalang.

Ketika agenda pertemuan Komite Yogyakarta-Jawa Tengah selesai, kebetulan buruh-buruh linting rokok di Pabrik rokok Sampoerna cabang Pekalongan yang diorganisir beberapa kawan merencanakan untuk mogok. Para buruh kesal karena gaji mereka harus dipotong untuk keperluan yang seharusnya menjadi tanggungan pabrik (misalnya tempat sampah penampung potongan rokok di pabrik, dsb), dan hal-hal menindas lainnya.

Berhubung kawan yang mengorganisir sebelumnya (Wignyo Prasetyo-Mhs. UI asal Batang) tidak bisa mendampingi aksi karena tiba-tiba diinstruksikan harus berangkat segera ke Jakarta, sekonyong-konyong, orang yang dianggap paling tepat untuk mendampingi buruh adalah saya. Duh, ketiban sampur ini judulnya, ketiban awu anget…! Ya sudah, saya terima tugas ini dengan agak berat. Apa boleh buat.

Sore sebelum hari-H, saya diantar Hiqmah jalan kaki menyusuri rute yang rencananya akan dilalui sampai ke lokasi aksi. Kebetulan, Pekalongan adalah kampung halaman Hiqmah. Saya dikenalkan dengan temannya dan diajak ke rumah teman tersebut kalau-kalau nanti butuh stage point, sambil menghapal rute jika harus melarikan diri, menghapal jalur angkot, dan sebagainya.

Aksi akan dilaksanakan di depan Taman Makam Pahlawan di Jalan Kusuma Bangsa. Lokasi ini dipilih karena dianggap strategis. Untuk sampai ke pabrik, mayoritas buruh harus melewatinya. Waktu itu, pabrik ada di sebelah utara TMP ini, dan perkap aksi bisa disembunyikan di makam. Rencananya aksi akan dimulai dengan aksi pencegatan buruh-buruh yang akan berangkat kerja di seputar makam. Setelah massa berkumpul, baru akan dilanjutkan aksi menuju pabrik.

Buruh-buruh perempuan ini mayoritas belum masuk kategori dewasa. Hanya satu-dua orang waktu itu yang sudah berumur 17. Mereka adalah barisan putus sekolah dengan tingkat gizi rendah sehingga postur tubuhnya pun kecil-kecil. Itulah kenapa mereka tidak mampu berontak ketika gaji yang “sak umprit” itu harus dipotong untuk ini-itu, yang sebenarnya bukan tanggung jawab mereka. Untuk memimpin rapat mereka agar tidak ngelantur kesana-kemari pun sudah merupakan kesulitan tersendiri.

Tahukah Anda, jam berapa buruh- buruh ini sudah harus mulai kerja? Jam 04.30. Ya, jam setengah lima pagi…! Bayangkan…! Itulah mengapa, para pencegat disepakati untuk sudah tiba di lokasi pukul 04.00, sedang kami (saya dan para pencegat) janjian untuk bertemu jam 03.30 karena kami harus mengurus perkap aksi (poster, dsb). Sebelum jam 03.00, saya sudah dijemput kawan (alm.) Saddam Hussein dengan motor. Cerita tentang kawan Saddam Hussein sudah pernah sedikit saya singgung dalam tulisan saya sebelumnya.

Saya sudah siap dengan baju putih dan celana gelap, pinjaman dari Hiqmah. Jika mau penyamaran lebih sempurna, seharusnya saya berbaju putih dengan bawahan rok hitam karena itulah seragam wajib buruh tersebut. Tapi saya membayangkan akan tidak bisa lari seandainya saya harus pakai rok, di samping percuma juga menyamar karena saya tetap akan nampak menonjol karena tinggi badan saya. Mereka mungil-mungil karena di samping umur yang masih muda, juga tingkat gizi yang, kemungkinan besar, rendah. Juga warna kulit yg cenderung lebih gelap dibanding saya (ini saya tidak sedang merasa paling putih, tapi memang begitulah adanya, Pekalongan adalah kota pantai yang panas…).

Ternyata, waktu tempuh dari rumah Hiqmah di Jalan Sumatera sampai di sekitar TMP paling hanya 10 menit. Jadi, saya sungguh sangat terlalu pagi sampai di lokasi. Kawan Saddam langsung cabut begitu saya turun dari motor. Dan saya kebingungan sendiri. Bagaimana kalau saya kepentok penduduk sekitar yang terheran-heran karena ada perempuan di dini hari begini terlihat berkeliaran di seputar makam.

Sedang apakah dia? Apakah dia perempuan baik-baik? Jangan heran jika saat itu, ketakutan saya terhadap kemungkinan bertemu manusia lebih besar daripada bertemu hantu. Untuk itulah kemudian saya “ndhepis” di kegelapan bayangan sebuah rumah dengan sangat hati-hati, takut orang dalam rumah mendengar suara-suara mencurigakan.

Beberapa waktu kemudian ketika terlihat kelebat beberapa buruh datang, saya keluar dari persembunyian. Cepat kami menyembunyikan perkap aksi di antara tumpukan konblok di bagian belakang makam. Ya, makam itu sedang dalam proses renovasi.

Skenarionya, saya memang tidak akan bergabung dengan barisan aksi. Saya hanya mendampingi dari jarak beberapa meter agar para buruh tetap percaya diri karena mereka tetap merasa ada yang mendampingi. Jadi, saya tetap berada di dalam kompleks makam sementara buruh-buruh yang bertugas mencegat buruh-buruh yang sedang berangkat kerja melaksanakan tugas. Mayoritas buruh bersepeda. Mereka sudah nampak lalu lalang sebelum jam 04.30 wib.

Belum sempat kawan-kawan buruh berhasil mengumpulkan massa. Tiba-tiba, datang beberapa mobil (kalau tidak salah) brimob yang segera menurunkan petugasnya. Buruh-buruh dikumpulkan tepat di depan papan nama makam yang terbuat dari batu (semacam marmer). Ada semacam trotoar khusus yang lebar tepat di depan papan nama. Buruh mobiliser aksi yang hanya sedikit itu dikerubuti polisi-polisi gagah berbadan tegap. Siapa yang tidak gentar? Itu bahkan rencana aksi pertama mereka. Dan saya menguping dari balik tembok di dalam makam. Berusaha tetap di sana agar para buruh tidak merasa ditinggalkan.

Hari semakin pagi, matahari beranjak naik. Kompleks makam semakin terang, dan tidak ada satu pun pohon atau pun benda yang dapat dipakai untuk menyembunyikan diri. Pohon kamboja masih pendek-pendek dan kecil. Dan saya makin merapatkan diri ke tembok krn justru di situ saya tidak dapat dilihat kecuali ada yang sengaja melongok lewat atas pagar tembok makam.

Pada satu ketika, saya hendak melihat keadaan dengan melongokkan kepala lewat atas tembok. Tepat saat itu juga, Pak Komandan juga melongok ke dalam makam. Sungguh seperti adegan dalam film Dono, Kasino, Indro. Kami berdua sama-sama kaget mendapati ada muka orang di depan muka kami. Mak bedunduk…! Detik itu juga saya ingat kata-kata Endhiq Anang Pamungkas alias Hanan Ragil Nugroho dengan kontra intelijennya: bertanyalah sebelum kau ditanya. Dan bertanyalah saya: “Itu ada apa, sih, Pak?”, dengan gaya sok lugu. Polisi itu bingung. Mungkin dia heran: kenapa ada perempuan muda di sini?

Meski sambil sibuk berpikir, dia menjawab juga: “Ah, itu anak-anak, gak tau mau ngapain…”. Dia nampak ingat sesuatu dan bertanya balik: “Hla, kamu, ngapain di sini…?”. Saya jawab sebisanya: “Jalan-jalan saja, Pak, mau ke rumah teman”. (Aneh banget ya, jalan-jalan ke kuburan, mau ke rumah teman kok di pagi buta). Dia bertanya lagi: “Hla rumahmu mana?” Saya asal saja menyebut alamat di jalan Veteran, karena hanya itu yang saya ingat dengan cepat. Jaraknya lumayan jika harus ditempuh jalan kaki. Makin aneh, tapi polisi ini masih bingung dengan keberadaan saya. Entah, dia memikirkan apa, mungkin dia terpengaruh wajah lugu saya (Hihihi… Ngaku lugu…  ).

Dia memutar badan, berbalik sambil tetap nampak sibuk berpikir. Begitu langkah pertamanya diayun, secepat yang saya bisa, saya lari menuju gerbang, melewatinya, dan keluar makam. Kemudian berbalik menuju arah belakang makam di samping tembok di luar makam sebelah utara. Sekencang-kencangnya. Saya yakin, dalam kekagetannya, orang-orang akan dalam posisi terpana sekian detik sebelum mereka sadar akan apa yang terjadi dan terpikir apa yang harus dilakukan.

Di sini lah teori kelembaman respon manusia terbuktikan. Dan benar, saya berhasil lolos dengan lari sekencang-kencangnya melewati sawah-sawah di musim kering yang ternyata lumpurnya mengering dan retak-retak, sehingga saya pun harus berlompatan kian kemari agar tidak terperosok.

Menurut cerita para buruh ketika kami bertemu lagi beberapa hari kemudian, selepas saya lolos dari makam, polisi tidak kemudian mengejar saya, tetapi justru menyerbu masuk ke makam, mencari-cari kemungkinan ada orang lain lagi. Dan mereka menemukan perkap aksi yang kami sembunyikan di antara tumpukan konblok.

Setelah kira-kira aman, yakin tidak ada yang mengejar, saya belok ke kiri, ke arah perkampungan. Asal saja, karena saya yakin, saya lari ke arah barat. Jika saya belok ke kiri, berarti ke selatan, dan begitu menemukan jalan ke arah timur berarti saya menuju jalan Kusuma Bangsa lagi.

Dan benar, saya bertemu jalan raya itu lagi. Saya menunggu angkot, balik ke base camp, rumah kediaman kakak beradik bernama Yanto dan Ade. Di base camp, saya hanya ganti baju dan berangkat lagi naik angkot menuju ke makam. Maksud saya balik lagi ke makam adalah untuk mengetahui nasib buruh-buruh tersebut, dan kalau bisa, mereka tahu bahwa mereka tidak ditinggalkan. Saya turun dari angkot sekitar seratus meter setelah tempat kejadian dan mencari informasi. Balik lagi naik angkot. Bolak-balik sampai beberapa kali. Sampai mereka dibubarkan.

Memang tidak terlalu berhasil menyelenggarakan aksi seperti aksi-aksi mahasiswa di Jogjakarta atau di kota lain, tapi cukup memberikan pengalaman melawan. Aksi pertama buruh di bawah umur yang tertindas dalam segala bidang. Beberapa waktu kemudian saya mendapat kabar: beberapa buruh diskors, satu orang dipecat, yaitu buruh paling berani bernama: WATI…

***

Referensi:

1. Keterangan dari Nor Hiqmah,

2. Surat instruksi penugasan,

3. Arsip laporan organisasi.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru