Baru sekali ini Indonesia punya pemimpin yang seperti Jokowi. Klewas-klewes tapi tegas dan serius menyelesaikan semua persoalan rakyat. Maruly Hendra Utama dosen Universitas Lampung (Unila) menyorotinya untuk pembaca Bergelora.com. (Ist)
Oleh: Maruly Hendra Utama
KUDA identik sebagai hewan yang kuat dan gagah. Tidak heran jika beberapa merek obat kuat laki-laki menggunakan gambar kuda sebagai lambang keperkasaan. Sekalipun fungsi kuda sebagai alat transportasi sudah tergantikan dengan kendaraan seperti mobil dan motor nyatanya masih banyak orang memelihara kuda untuk disewakan dengan tarif jam-jam.
Selain itu, dalam jumlah yang lebih sedikit, kuda juga dilombakan dalam salah satu cabang olah raga. Jika ada yang memelihara kuda, tidak untuk disewakan, tidak untuk dilombakan, tidak juga untuk diternakkan, mungkin pemiliknya sedang terapi autis. Beberapa teman yang anaknya mengidap autis disarankan oleh psikolog agar setiap hari dalam jangka waktu tertentu menunggang kuda.
Jokowi tidak memiliki kuda, tidak mahir menungganginya. Tapi dia paham bagaimana menggunakan kuda dengan baik. Kuda impor yang memiliki perawakan lebih besar dan lebih gagah dibandingkan kuda Sumbawa kerap digunakan para koboi.
Ada koboi yang harus turun dari tunggangannya baru menembak. Tapi ada juga koboi yang menembak tanpa harus turun dari kuda, bahkan ada yang menembak sambil berdiri di atas punggung kuda sambil memberikan atraksi yang mengagumkan. Sekalipun tidak memiliki kuda Jokowi jago menembak seperti koboi. Tembakannya selalu terukur, walau sambil merem semua peluru yang dimuntahkan selalu tepat sasaran
Sasaran tembaknya banyak, salah satunya mafia migas. Kebijakannya yang pro rakyat membuat banyak mafia migas tengkurep. Logo Pertamina sejak jaman Orde Baru yang bergambar dua ekor kuda laut yang saling berhadapan terkesan sedang berunding.
Dibawah pemerintahan Jokowi gambar itu dirobah! Bukan lagi gambar kuda laut yang berunding. Pejabat Pertamina yang terlibat perundingan ditangkap lalu dipenjara. Jangan coba-coba untuk merapat jika hanya ingin berunding. Banyak contoh lingkar dalamnya yang berunding dan tidak bisa kerja,– dipecat!
Kendali internal dibawah Jokowi langsung, fokusnya bersih-bersih di semua institusi pemerintahan dan BUMN. Gangguan dari luar cukup dihadapi para menterinya. Faksi anti pemerintah dan kelompok sempalan dengan bermacam kepentingan yang terindikasi makar dibuat ngampun.
Situasi ini mirip 98. Dimana semua kelompok yang berkepentingan bahu membahu menggulingkan Orde Baru. Bedanya gerakan 98 didukung rakyat sementara 2019 rakyat membela Pemerintah. Karena tidak ada dukungan rakyat maka gerakan disebut makar. Pimpinan Makar yang nampak ganas mendadak cengeng ketika sudah ditangkap. Mengemis juga merintih agar tidak dipenjara. Klaimnya oposisi tapi mentalnya pecel lele!
Gua juga pernah dipenjara karena melawan Rektor lalu dilaporkan, dijerat dengan ITE. Sangat mudah bagi gua untuk menghindari penjara, tinggal nangis-nangis dan minta maaf aja sama Rektor. Tapi gua lebih memilih penjara karena yakin apa yang gua lakukan benar secara moral. Terbukti selepas dari penjara gua malah nantangin Rektor untuk debat dan lomba ngaji.
Selain gak punya kemampuan debat, gak bisa ngaji, rektor juga pengecut. Buktinya gua provok terus dengan mengatakan kontolnya seukuran kontol monyet dia diem aja. Gak punya nyali padahal kesehariannya berlaku seperti preman. Selain nyali pecel lele mentalnya kelas preman cacing cawuk.
Ada gak para penjarawan yang sudah dibui terus melawan seperti gua? Mendadak bisu dan ngedrop ketika tiap hari memandang teralis. Psikologi orang salah memang gitu, berbeda dengan gua. Bukan bermaksud sok jagoan atau sok hebat. Gua cuma menyampaikan pesan bahwa salah benar itu bisa dilihat dengan mata telanjang.
Orang salah perjuangannya setengah hati. Mahasiswa yang diam-diam selalu ngikutin tulisan gua mudah-mudahan bisa belajar agar kelakuan nya tidak seperti Rektor pecel lele. Sulit untuk bisa menjadi koboi seperti Jokowi, tapi setidaknya, kelakuan tidak seperti Rektor aja sudah menjadi satu hal positif bagi Unila.
Pasca Pilpres, Jokowi mengajak oposisi untuk bergabung dalam koalisi. Tentu tidak semua partai, hanya yang dianggapnya potensial dan memiliki perspektif maju. Bagi partai yang tidak diajak disuruh latihan jadi oposisi agar bisa membedakan mana yang dibenci dan mana yang disukai rakyat.
Selain disuruh latihan Jokowi juga melihat partai yang tidak diajak bergabung miskin kader yang berpikiran maju. Hasil kerja Jokowi tidak boleh berhenti di 2024. Jokowi sudah mengantisipasi hal itu. Karenanya partai koalisi yang diajak bergabung bukan dalam kerangka bagi-bagi kekuasaan. Tapi akan dikader! Kader terbaik yang akan menggantikan posisi Jokowi kelak.
Jokowi memperluas ruang koalisi bagi oposisi. Hasil kaderisasi akan terlihat pada periode kedua kepemimpinannya. Parpol yang bergabung dalam koalisi dipersilakan menempatkan kader terbaiknya untuk bekerja, jika lelet akan dipecat.
Cebong gak boleh gagal paham menangkap pesan Jokowi dengan melakukan manuver demi jatah menteri. Jika Jokowi memandang koalisi sebagai alat kaderisasi maka Cebong jangan melihat dengan kacamata kuda sebagai kompromi bagi-bagi kekuasaan semata. Jokowi tidak bisa dipengaruhi oleh manuver, memilih KH Maruf Amin sebagai wapres adalah bentuk perlawanan khas orang Solo. Berontak dengan penuh kasih sayang. Koboi yang sopan cuma ini, Presiden yang berhasil merobah situasi! dari yang melulu serba rekomendasi menjadi harus lolos uji dedikasi!

