JAKARTA- Komisi Nasional Perlindungan Hak Asazi Manusia (Komnasham) meminta agar Jokowi nantinya konsisten melindungi kelompok agama minoritas yang selama ini telah diabaikan keberadaannya oleh negara. Jokowi diminta mempersiapkan pembentukan Pansus Perlindungan Minoritas.
“Memberikan kepastian hukum dengan memberikan perlindungan melalui akses kebenaran, keadilan dan pemulihan bagi korban pengungsi Ahmadiyah di Mataram, pengungsi Syiah Sampang di Surabaya, jemaat HKBP Filadelfia Bekasi, jemaat GKI Yasmin Bogor, jamaah Masjid di Batuplat NTT dan jamaah mushalla di Denpasar, Bali,” demikian tegas Komisioner Komnasham, M. Imdadun Rahmat kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (4/9)
Menurutnya, Jokowi perlu mempertimbangkan pentingnya Undang-Undang tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan sebagai konsekuensi logis dari jaminan perlindungan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan kepada seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi.
“Prioritaskan pembentukan Panitia Khusus yang bertugas melakukan penyelesaian kasus-kasus dan pemajuan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia untuk memastikan dilaksanakannya perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan,” ujarnya
Berdasarkan catatan Komnas HAM menurutnya, sejumlah rekomendasi penyelesaian maupun perlindungan hak dan kebebasan beragama, khususnya kepada kelompok minoritas telah disampaikan kepada para aparatus negara yang berwenang. Tetapi tidak mendapatkan respon dan tindak lanjut penyelesaian yang selayaknya.
“Rekomendasi juga ditujukan langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kasus Ahmadiyah di Mataram dan Syiah di Sampang, tetapi pelaksanaan rekomendasi itu tidak kunjung dilakukan.” Ujarnya.
Menurutnya, dalam Program 100 Hari Terakhir masa pemerintahan SBY juga tidak menyinggung sama sekali upaya penyelesaian terkait masalah tersebut. Karena itulah, Komnas HAM menilai bahwa pemerintah SBY memang tidak mempunyai komitmen dan patut dinilai gagal dalam upaya pemenuhan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
“Pada akhirnya, pelanggaran dan diskriminasi kepada kelompok minoritas masih terus terjadi. Upaya penyelesaian secara adil kepada korban tidak pernah ada,” ujarnya.
Tak Kunjung Selesai
Hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi persoalan yang tidak kunjung diselesaikan. Komnas HAM sebagai lembaga HAM nasional berpendapat bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan hak individu yang tidak bisa ditunda pemenuhannya (nonderogable rights).
Menurutnya, UUD 1945 dan beberapa peraturan perundangan di bawahnya, antara lain Undang-Undang No.39 Tahun 1999 dan instrumen hukum HAM Internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, yaitu Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dengan Undang-Undang No.12 Tahun 2005 telah memuat jaminan atas hak beragama dan berkeyakinan (KBB) kepada seluruh rakyat Indonesia.
Kiranya perlu pula dicatat bahwa mengenai intoleransi dan diskriminasi telah terdapat Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan yang dicetuskan melalui resolusi Sidang Umum PBB No.36/55 pada 25 November 1981.
Berdasarkan keputusan Sidang Paripurna, Komnas HAM telah membentuk Pelapor Khusus untuk memantau upaya negara dalam pemajuan, penghormatan dan pemenuhan Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia.
Dari hasil pemantauan Pelapor Khusus ditemukan bahwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terjadi dalam kategori forum internum (kebebasan internal) dan dalam kategori forum externum (kebebasan eksternal). Pelaku pelanggaran ini tidak hanya oleh aktor non-negara, tetapi juga oleh institusi Negara, baik berupa tindakan aktif (by commission) maupun tindakan pembiaran (by omission).
Dalam kategori forum internum, pelanggaran ini kerap terjadi, antara lain pada komunitas Syiah dan Ahmadiyah di mana hak internal mereka untuk bebas menganut agamanya untuk tidak dipaksa menganut atau tidak menganut suatu agama telah dilanggar.
Bentuk pelanggarannya, mulai dari tuduhan sesat hingga pengusiran secara paksa, sebagaimana terjadi dalam Kasus Syiah di Sampang dan Ahmadiyah di Mataram. Dalam kasus Syiah di Sampang, Komnas HAM dalam Surat Rekomendasinya tertanggal 2 Pebruari 2012 telah merekomendasikan agar Pemerintah Kabupaten Sampang menjaga kondisi yang sudah mulai kondusif di desa Karang Gayam Kecamatan Omben.
Pemerintah kabupaten Sampang juga diminta melakukan sosialisasi tentang pentingnya toleransi dan menghormati perbedaan aliran keagamaan yang dianut di masyarakat.
Tindakan Cepat
Pemerintah juga diminta melakukan tindakan-tindakan yang cepat dan tepat apabila terjadi kembali bentokan di antara masyarakat untuk menjaga jatuhnya korban selain membantu merenovasi rumah dan bangunan yang menjadi objek pembakaran pada 29 Desember 2011.
Pemerintah juga diminta melindungi penganut Syiah yang telah kembali ke tempat tinggalnya masing-masing di desa Karang Gayam Kecamatan Omben dan desa Blu’uran Kecamatan Karangpenang.
Selain itu dalam Surat Rekomendasi tersebut, Komnas HAM juga telah merekomendasikan agar Kepolisian Resor Sampang melakukan proses penyelidikan dan penyidikan terhadap para Tersangka pembakaran secara professional tanpa terpengaruh intervensi dari pihak mana pun. Polisi juga diminta menelusuri lebih dalam mengenai aktor intelektual dari peristiwa pembakaran rumah dari penganut Syiah dan tidak berhenti hanya pada para pelaku di lapangan.
Seandainya rekomendasi tersebut dilaksanakan sepenuhnya, maka peristiwa pelanggaran HAM berikutnya tidak akan terjadi, yaitu penyerangan pada bulan Agustus 2012 yang mengakibatkan satu orang warga Syiah meninggal dunia dan pengusiran paksa secara massal warga Syiah dari kampung halamannya. (Dian Dharma Tungga)