JAKARTA- Bangsa Indonesia saat ini penting untuk turut serta dalam penguatan dan gerakan global penghormatan dan perlindungan Hak Azasi Manusia (HAM), dengan turut serta dalam International Criminal Court (ICC),–Pengadilan Kriminal Internasional. ICC dapat membantu Indonesia untuk menyelesaikan kegagalan proses hukum. Demikian Ketua Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (18/7).
“Saat ini pengadilan HAM di Indonesia mengalami kebuntuan sehingga sudah seharusnya bisa ditindak lanjuti oleh ICC,” tegasnya dalam menyambut peringatan Hari Keadilan Internasional yang diperingati setiap 17 Juli.
Menurut Haris Azhar, peringatan tahun ini bagi Indonesia, mengingatkan kembali berbagai kejahatan yang berat, yang dilakukan oleh negara atau dibiarkan oleh negara, tidak ada yang diselesaikan.
“Secara lebih luas, Indonesia penting memastikan bahwa hukum berjalan mengingat demokrasi jika diisi oleh bandit-bandit kemanusiaan justru akan mencederai agenda demokratisasi di Indonesia, seperti yang terlihat sejauh ini, justru demokrasi dibajak oleh mereka yang tangannya berlumuran darah dimasa lalu,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa Hari Keadilan Internasional (International Justice Day) mulai diperingati sejak 1998, dimana pada tanggal tersebut merupakan pengesahan Statuta Roma.
“Statuta yang menginisiasi Pengadilan Kriminal Internasional untuk mengadili penjahat-penjahat kemanusiaan seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, Genosida, kejahatan Perang dan kejahatan Intervensi atau Agresi,” jelasnya.
Pendirian Pengadilan ini menurutnya adalah mandat global sejak pasca perang dunia kedua dan pasca pengadilan Nurenberg dan Pengadilan Tokyo, yang rumusan awalnya disusun oleh Komisi Hukum PBB (International Law Commission) sejak era 40-an. Sejak 2002, empat tahun pasca disahkan, Statuta Roma mulai diberlakukan. Setiap 17 Juli diperingati sebagi simbol bahwa ICC didirikan untuk melawan impunitas (kekebalan dan ketiadaan proses hukum dan penghukumannya) terhadap pejabat-pejabat militer dan sipil yang kerap lolos dari jerat hukum. Serta, menghentikan praktik serupa terulang.
“Sayang dan mengecewakan bahwa Indonesia belum meratifikasi dengan ikut serta menandatangani Statuta Roma. Dengan sendirinya Indonesia tidak terikat dan tidak bisa mendapatkan keuntungan perlindungan hukum dari komunitas global. ICC bisa menjadi alat pelengkap jika terjadi kegagalan pengadilan nasional untuk menangani pelanggaran HAM berat yang berat,” ujarnya.
Menariknya menurut Haris Azhar, Indonesia mengambil berbagai ide dari Statuta Roma untuk dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, ketika terdesak dari PBB atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur pada 1999.
“Atas dasar Undang-Undang Pengadilan HAM ini banyak penentang ratifikasi merasa bahwa Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Pengadilan HAM jadi tidak perlu menjadi bagian dari Statuta Roma dan ICC,” katanya.
Ditolak Kejagung
Dalam catatan KontraS justru Undang-Undang Pengadilan HAM di Indonesia tidak berjalan, berhenti pada tingkat penyelidikan di Komnas HAM saja. Pernah ada beberapa kasus bisa menembus pengadilan yaitu kasus Timor Timur 1999, kasus Tanjung Priok 1984, kasus Abepura 2000 akan tetapi gagal menghukum pelakunya dan gagal menyentuh tingkatan pertanggung jawabannya.
“Saat ini berbagai kasus pelanggaran HAM yang berat lainnya ditolak dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa, dizaman pemerintah Soesilo Bambang Yudhoyono, agenda ratifikasi pernah masuk dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) tapi tidak terpenuhi. Namun dizaman Joko Widodo, justru RANHAM dalam Perpres No. 75 tahun 2015) tidak mengagendakan sama sekali untuk meratifkasi Statuta Roma, alias menghapus rencana ratifikasi tersebut.
“Belum lagi kebijakan-kebijakan penanganan di sektor keamanan yang apabila dilakukan eksesif maka potensial masuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, namun tetap tidak ada perhatian dari pemerintah untuk meratifikasi instrumen penting ini,” paparnya.
Turut diketahui pula menurutnya, dimasa pemerintahan Joko Widodo, pemerintahpun pernah mengundang penjahat terhadap kemanusiaan, yang akhirnya masuk ke dalam yurisdiksi Indonesia, tanpa pernah ditanyai pertanggungjawabannya, seperti kehadiran buronan ICC, Presiden Sudan, Omar Al-Bashir pada acara Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Kerja Sama Islam (KTT OKI) tahun lalu.
Omar Al-Bashir telah ditetapkan sebagai terangka pelaku kejahatan perang oleh Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) dan dia dinyatakan buronan atas tuduhan genosida. (Web Warouw)