JAKARTA- Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel menyoroti putusan hakim atas Teddy Minahasa Putra. Menurutnya putusan hakim hanya mengandalkan keterangan saksi yang sekaligus terdakwa Dody Prawiranegara yang merusak pengungkapan kebenaran dan proses persidangan.
“Saya melihat ada sejumlah loopholes dalam putusan hakim, terutama amat-sangat mengandalkan keterangan saksi. Saksi yang sekaligus merupakan terdakwa. Yakni DP. Jelas, dengan status ganda tersebut, DP akan mengedepankan keterangan yang menguntungkan dirinya,” ujarnya kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (9/5).
“Sebagaimana saya katakan beberapa waktu lalu, keterangan saksi adalah barang yang paling potensial merusak proses pengungkapan kebenaran dan proses persidangan,” katanya.
Karena itu, jika Teddy Minahasa mengajukan banding, ia berharap putusan hakim pengadilan tinggi nantinya akan lebih bersandar pada pembuktian.
“Sebagaimana sorotan saya terhadap coretan tangan JPU di naskah tuntutannya, hakim mengamini tuntutan jaksa bahwa Teddy Minahasa tidak menyuruh melakukan. Teddy Minahasa dinilai hakim turut serta bersama Dody Prawiranegara,” ujarnya.
Dengan posisi setara, karena Teddy Minahasa dihukum seumur hidup, maka boleh jadi Dody Prawiranegara juga akan dihukum seumur hidup jika divonis bersalah.
“Perlu penjelasan dari Polri tentang Tawas, yang katanya dipakai sebagai pengganti sabu, itu sekarang di mana?
Apakah sabu di Jakarta otentik dengan sabu di Bukittinggi? Kalau beda, berarti bukan hasil penyisihan. Lantas, dari mana sabu itu?” katanya.
Ia juga menanyakan apakah
Dody Prawiranegara menjalani pemeriksaan urin?
“Apa hasilnya, positif atau negatif?” katanya.
Ia mengingatkan perkataan Direktur dan Wakil Direktur Resnarkoba Polda Metro Jaya bahwa mereka sebatas melaksanakan pimpinan.
“Dari sisi pidana, bukankah itu mengarah ke wrongful conviction atau kriminalisasi terhadap Teddy Minahasa? Dari sisi organisasi kepolisian, itu patut dikhawatirkan sebagai perang bintang yang destruktif (dysfunctional),” katanya.
Reza Indragiri Amriel juga menyampaikan bahwa ada riset di kepolisian. Respondennya adalah ratusan anggota polisi. Responden sebut bahwa sub-sub grup di internal kepolisian sudah mencapai level berbahaya sehingga patut dilarang.
“Itu menjadi pengakuan bahwa klik-klik di institusi kepolisian memang ada,” katanya.
Tinggal lagi menurutnya perlu dibedakan mana perang bintang yang fungsional dan mana yang disfungsional. Rivalitas fungsional membuat organisasi menjadi dinamis progresif dan personel menjadi berpola pikir transformatif.
“Sedangkan perang bintang yang disfungsional akan membuat organisasi statis bahkan regresif, dan personel polisi menjadi agresif bahkan kanibal. Aksi saling sabotase menjadi salah satu bentuknya,” ujarnya.
Namun, Reza Indragiri menegaskan bahwa arkoba memang masalah serius. Pengedar, jangankan seumur hidup, saya setuju hukuman mati. Apalagi jika pelakunya adalah aparat penegak hukum.
“Saya menghormati putusan hakim,” ujarnya. (Web Warouw)