PEKANBARU — Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nusron Wahid menyoroti persoalan tumpang tindih lahan sawit dengan kawasan hutan di Riau dalam kunjungan kerjanya. Nusron menegaskan saat ini tidak ada program pemutihan perkebunan sawit yang berada di kawasan hutan.
“Kita belum ada rencana pemutihan (kebun sawit di kawasan hutan),” ungkapnya dikutip, Sabtu (26/4/2025).
Padahal sebelumnya sudah ada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 36/2025, yang memuat daftar 436 perusahaan perkebunan sawit yang memiliki kebun tanpa izin dalam kawasan hutan.
Pada SK itu disebutkan lahan kebun sawit seluas 790.474 hektare dinyatakan sedang berproses penyelesaian atau pemutihannya, dan 317.253 hektare lainnya dinyatakan ditolak permohonan penyelesaiannya, karena tidak memenuhi kriteria Pasal 110A Undang-undang Cipta Kerja (UUCK).
Dari data Komisi IV DPR RI periode 2019-2024 diketahui luas perkebunan sawit ilegal di Riau mencapai 1,8 juta hektare. Namun dari versi lain luas perkebunan sawit ilegal di Riau ini luasnya 1,4 juta hektare.
Nusron mengakui persoalan tata ruang dan perizinan lahan di Riau telah memicu banyak konflik antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah.
“Saat rapat tadi kita bahas kebijakan pertanahan, termasuk HGU yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Dulu sudah ada HGU, tiba-tiba masuk kawasan hutan,” ujar Nusron.
Dia juga menegaskan komitmen pemerintah menindak tegas pelanggaran oleh pengusaha sawit. “Kalau menanam di luar HGU secara sengaja, akan kami denda. Tidak kasih plasma, HGU-nya dicabut,” tegasnya.
Dalam rakor tersebut, Nusron menyampaikan enam fokus pembahasan yaitu penyelesaian sengketa tanah, reforma agraria, dan kewajiban lahan plasma, selain masalah tata ruang dan tumpang tindih lahan.
Dia menekankan perlunya kolaborasi erat antara pemerintah pusat dan daerah agar kebijakan agraria berjalan efektif di lapangan.
“Semua ini tak akan jalan tanpa sinergi,” pungkasnya.
HGU dan Plasma
Kepada Bergelora.com di Pekanbaru dilaporkan, Nusron mengatakan, persoalan tumpang tindih lahan antara perkebunan sawit dengan kawasan hutan menjadi salah satu permasalahan utama yang harus segera diselesaikan saat ini.
Apalagi permasalahan yang banyak ditemukan terjadi di Riau adalah lahan sawit yang secara administratif berada dalam kawasan Hak Guna Usaha (HGU), namun kemudian hari ternyata masuk dalam kawasan hutan. Ada pula kebun sawit yang sudah dibuka oleh perusahaan atau masyarakat sebelum memiliki Izin Usaha Perkebunan ( IUP) maupun HGU.
“Kita sudah tekankan dengan pemerintah daerah tadi (kemarin, red). Nanti akan kami cek kalau ada pengusaha sawit yang menanam di luar HGU secara sengaja dan akan kami denda. Kemudian kalau ada yang nggak mau memberikan plasma, akan kami cabut HGU-nya,” katanya.
Permasalahan agraria di Bumi Lancang Kuning semakin kompleks dengan adanya permasalahan tumpang tindih antara lahan sawit dan hutan serta adanya konflik pertanahan yang melibatkan pemerintah daerah dan BUMN.
Dalam sengketa yang melibatkan klaim antarinstansi terhadap tanah yang sama ini, diungkapkan Nusron harus dicarikan jalan keluar melalui koordinasi lintas kementerian dan lembaga.
“Penyelesaian sengketa tanah antara pemerintah provinsi dengan Pertamina harus diselesaikan secara keseluruhan agar tidak menjadi konflik berkepanjangan dikemudian hari. Ini juga berlaku untuk tanah sengketa antara masyarakat,” katanya.
Tak hanya sengketa tanah, Nusron juga menyoroti permasalahan reforma agraria di Riau. Ia meminta program ini tetap berjalan dengan fokus pada penyelesaian konflik agraria dan redistribusi lahan kepada masyarakat.
“Kami juga sedang menyusun model penyelesaian sengketa yang lebih efektif, termasuk akan pemanggilan pihak-pihak terkait melalui monitoring yang dilaksanakan oleh kantor wilayah (kanwil),” ucapnya.
Khusus untuk sektor perkebunan kelapa sawit, pemerintah juga menyoroti implementasi pola kemitraan plasma antara perusahaan dengan petani. Menurut Nusron, banyak perusahaan yang belum sepenuhnya memenuhi kewajiban membangun plasma bagi masyarakat.
Dalam permasalahan ini, pengawasan terhadap kemitraan plasma akan diperketat. Pihaknya juga akan memanggil semua pihak yang terkait, termasuk bupati dan wali kota, untuk rapat koordinasi dan evaluasi sejauh mana implementasi plasma ini dijalankan.
Nusron Wahid juga menargetkan sejumlah permasalahan tanah di Riau dapat diselesaikan secara optimal pada tahun 2025. Namun, jika tidak tuntas, penyelesaiannya akan tetap dilanjutkan tahun depan dengan pendekatan bertahap dan terukur.
Kebijakan ini merupakan bentuk perlindungan terhadap hak-hak masyarakat dan upaya mewujudkan keadilan dalam pengelolaan sumber daya agraria di daerah. Nusron mengingatkan implementasi agenda ini perlu kerja sama yang solid antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. (Syamsuddin)