Oleh: Toga Tambunan *
UUD ’45 Amandemen 2002 ini, meski berhianat pada UUD 45 (asli), sejak 2002 lalu positif berlaku sebagai sumber primer hukum menata kehidupan negara, pemerintah dan bangsa kita. UUD45 Amandemen 2002 itu telah menjerumuskan bangsa dalam negara tanpa haluan tujuan bernegara. Apa boleh buat di masa kini. Kini tidak ada lagi tatanan rujukan pasti, dan pengevaluasi terhadap segala materi kebijakan kenegaraan produk pemerintah, legislatif dan yudikatif yang semestinya menyetir ketiga badan triaspolitika itu melaksanakan
Pancasila selengkapnya. Adanya haluan negara menata kepastian sasaran menyeluruh kehidupan kebangsaan masyarakat Indonesia diantaranya pers selain ketiga badan kenegaraan itu, termasuk perkara pemilihan umum.
Format politik presiden terpilih dalam pilpres hanya lima tahunan. Paling panjang berlanjut hanya satu periode lagi. Presiden berikut, politik kebijaksanaannya bisa berbalik 180 derajat dari politik presiden sebelumnya. Karena tanpa haluan penuntun arah pasti pembangunan berencana jauh ke masa depan.
Kehidupan bernegara berbangsa tanpa arah itulah kesempatan yang terbuka bagi intrusi, infiltrasi bahkan invasi negara asing menancap agendanya yang dapat akan melongsorkan Pancasila.
Selama UUD45 Amandemen 2002 ini belum dicabut, masih bertengger, bangsa Indonesia tersandera pada kebijaksanaan pendek kenegaraan 5 tahunan oleh Presiden terpilih.
Jadilah UUD 45 (asli) pasal 22 dirombak luarbiasa dengan beranak tambahan 6 pasal yakni pasal 22A, 22B, 22C, 22D, 22E dan 22F. Ternyata bobot isi enam pasal tambahan ini, bukan norma dasar, (yang memang hanya MPR berkapasitas menetapkan sumber hukum dalam UUD) tapi bobotnya cuma aturan materil dan prosuderal yang dapat diterbitkan legislatif berbentuk UU. Ke enam isi pasal disebut diatas berbobot setaraf UU produk legislatif. Urusan yang sepatutnya pekerjaan kenek, dilakukan mubazir oleh supir. UUD itu seharusnya sumber hukum, bukan bermuatan sejenis produk legislatif. Amburadul.
Dengan terpaksa, sementara menuntut amendemen terhadap UUD 45 amandemen 2002 itu, kita di masa kini tetap wajib manut yang disebut UUD45 amandemen 2002 itu.
Dalam pasal 22E ayat 3 tercantum: ( _3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah *adalah partai politik* ._
Tanpa sebutan sistim proporsional tertutup, ataupun terbuka. Determinasi terbuka tertutup itu muncul belakangan di tahun 2003.
Setelah pemilu 1955 – 1957 pada masa presiden Soekarno, sistem pemilu proporsional tertutup yang sama di masa order rezim Soeharto pun pernah diterapkan pada pemilu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997), dan pemilu tahun 1999.
Selanjutnya DPR menetapkan UU no 20 tahun 2004, membuat sistim pemilu proporsional terbuka yakni peserta pemilu selain nama partai juga menyebut nama calon legislatif dari partai bersangkutan.
Sejak pada pemilu tahun 2004, Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka, berlanjut pada pemilu 2009, pemilu 2015, dan pemilu 2019
UU no 20/2004 justru melampaui muatan UUD45 Amandemen 2002 pasal 22E itu yang menentukan peserta pemilu adalah partai politik, tanpa imbuhan dibolehkan dan tanpa larangan mencantumkan
nama calegnya partai disebut.
Peluang tidak adanya larangan atau izin nama caleg itulah celah digunakan untuk mengakali kedaulatan rakyat menyimpang dari aspirasi politiknya.
Pemilu pada masa presiden Soekarno dan dipersiapkan perdana menteri Ali Sastroamidjojo, berdasarkan Undang undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, secara proporsional tertutup. Sewaktu pemilu berlangsung perdana menteri sudah dijabat Burhanuddin Harahap.
Pemilu itu diakui paling demokratis, walaupun unik.
Pemilu itu berjalan lancar aman sekalipun gerombolan DI/TII masih beraksi. Yang pertama dilaksanakan pada 29 September 1955 untuk anggota-anggota DPR. Pemilu kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Pemilu 1955 menggunakan sistem proposional tertutup untuk partai dan juga ada peserta pemilu tokoh perorangan yang tampil atas nama sendiri bukan dari partai.
Pesertanya tidak seragam di semua daerah pemilihan, berhubung ikutsertanya perorangan yang jadi caleg nasional atau hanya caleg di daerah masing-masing saja.
Pemilu 1955 diikuti oleh lebih dari 30 partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perseorangan. Mereka semua mewakili beragam latar belakang politik, ideologi, sampai organisasi masyarakat yang berbasis kedaerahan, etnis, serta ras. Sebanyak 87,65% pemilih memberikan suara sah dan 91,54% memberikan suara.
Pemilu 1955 itu paling demokratis dan bebas samasekali dari money politic. Melulu adu program argumentatif dari tiap peserta. Sungguh luar biasa; saya masih usia remaja saat itu, mengikuti pesta pemilu yang sangat tertib, mengesankan, padahal perabot kerjanya hanya properti sederhana. Hanya bilik coblos terhalang dilihat dan dua atau tiga meja panitia. Tidak ada alat pengeras suara, gadget, apalagi laptop dan properti ramai seperti sekarang. Warga yang berhak coblos berbaris panjang berkelok mengular.
Biaya pemilu itu amat rendah. Kertas suara satu macam saja. Penyelenggara cuma beberapa orang saksi, pengeras suara hanya dibeberapa tempat. .
Bahwa pemilu tertutup itu ada kekurangannya, benar. Antara lain salah satunya ialah jika pimpinan partai bersikap nepotisme di internalnya. Kondisi partai-partai dulu umumnya, terlebih partai arus bawah, nihil penyakit nepotisme itu.
Namun lebih tengik lagi pemilu sistim proporsional terbuka, yakni money politic.
Tatkala pemilu di masa orde Soeharto muncullah perilaku serangan fajar dan berlanjut lagi pada sistim terbuka, kebusukannya jauh lebih sengak, yakni politik uang oleh caleg orang per orang yang berupaya bertantakel di panitia pemilu urutan bawah hingga ke KPU. Praktek politik uang ini merekayasa pemilu jadi sekadar prosedural aktivitas demokrasi, melongsorkan kedaulatan rakyat mau wujudkan substansial demokrasi.
Politik uang oleh para caleg atau capres itulah pangkal aksi korupsi marak meletup, pengganti modal caleg/capres, saat bersangkutan jadi legislator atau terpilih nomor satu di republik ini.
Perihal itu sudah nyata dibuktikan berapa banyaknya ketua umum parpol dan kader parpol berkedudukan menteri dan ketua atau anggota legislatif terpidana koruptor.
Bukankah hampir semua penjuru dikepung billoard poster jumbo bergambar tapak tangan aksi menampik dengan bunyi slogan “katakan tidak pada korupsi”? Ternyata segalanya retorika, menipu warga peserta pemilih pemilu.
Pemilunya 1955, tengoklah: sebanyak 87,65% pemilih memberikan suara sah dan 91,54% memberikan suara. Lancar berlangsung, karena nihil serangan subuh politik uang. Adakah pemilu blusukan serangan politik uang, diikuti pencoblos 91,54%?
Praktek politik uang itulah yang harus dibasmi dengan sistim proporsional tertutup yang pernah nihil politik uang atau serangan pagi/subuh.
Ada apa maunya delapan partai, yang kibarkan atribut reformasi, menolak sistim proporsional tertutup dan ngotot sistim proporsional terbuka? Apakah mau langgengkan serangan subuh politik uang pada warga arus bawah miskin melarat itu demi korupsi kelak?
Reformasi macam apa dengan melanggengkan money politic?
UUD45 Amendemen 2002 yang berlaku ini pun sebenarnya mengamatkan sistim tertutup. Apakah bunyi Konstitusi itu akan diingkari? Jika itu diingkari, apa maknanya?
Bagaimanakah sikap Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI menyidang Hasyim Asyari, ketua KPU dan enam anggota KPU, terkait kasusnya ungkap siapa tahu sistemnya pemilu kembali tertutup? Aneh jika tidak patuh isi pasal 22E UUD45 Amandemen 2002.
Begitu juga Mahkamah Konstitusi bersidang perkara sistim coblos terbuka atau tertutup dalam pemilu 2024.
Apakah MK berfungsi merubah, menambah atau meralat amanat pasal 22E dalam UUD 45 Amandemen 2002 itu? Ataukah bertindak membatalkan UU yang melampaui original intent pasal 22E UUD 45 Amandemen 2002 itu.
Sekiranya amanat pasal 22E tersebut diganti, yang paling tepat melakukannya hanyalah MPR.
Bekasi, 1 Maret 2023
* Penulis Toga Tambunan, pengamat sosial politik

