JAKARTA – Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid mengungkapkan bahwa sebanyak 45 persen anak-anak di Indonesia menjadi korban bullying atau perundungan melalui chatting.
Dalam sambutan di acara Hari Anak Sedunia, Meutya menuturkan bahwa hal tersebut diketahui berdasarkan data terbaru United Nations Children’s Fund (UNICEF).
“Bullying kurang lebih 45 persen, ini juga data yang kita pegang saat ini, yang dilakukan melalui aplikasi digital, khususnya chatting,” ucap Meutya, di Hotel Lumire, Jakarta Pusat, Kamis (20/11/2025).
Meutya menyebutkan, konten-konten negatif di ruang digital akan membawa dampak buruk bagi perkembangan sosial dan emosional anak.
“Rata-rata anak-anak yang terpapar hal-hal yang negatif itu menjadi cenderung mudah marah, emosional, terpapar konten-konten negatif, dan sebagainya,” tutur dia.
Meutya mengakui, hatinya sangat menciut ketika melihat data yang memperlihatkan mulai masifnya anak-anak Indonesia menggunakan internet.
“Saya lagi pilih-pilih, karena ini data-datanya memang banyak yang membuat hati kita bisa menjadi ciut,” ucapnya.
Ia berharap, para orang tua memberikan pemahaman bahwa berselancar di dunia digital itu sangat tidak ramah anak dan berisiko tinggi.
Pasalnya, saat ini masih banyak ditemukan orang tua yang abai dan membiarkan anaknya menggunakan gadget secara bebas.
50 Persen Anak Pernah Terpapar Konten Dewasa
Kepada Bergelora.com di Jakarta.dilaporkan, Meutya Hafid menyampaikan bahwa menurut data United Nations Children’s Fund (Unicef), anak-anak Indonesia menggunakan internet selama 5,4 jam per hari. Meutya mengatakan, sebanyak 50 persen anak-anak yang berselancar di media sosial pernah terpapar konten dewasa.
“Anak-anak kita itu menurut Unicef menggunakan internet 5,4 jam per hari. Kemudian, 50 persen mengaku pernah terpapar konten dewasa,” kata Meutya
Meutya mengatakan, data-data yang diperoleh dari dari Unicef itu menunjukkan bahwa penggunaan internet pada anak cukup mengkahawatirkan.
Menurut Meutya, anak-anak perlu diberikan pemahaman bahwa berlari di dunia digital itu sangat kencang dan penuh tantangan.
“Berjalan sendirian saja itu ibarat kita mengabaikan. Ini anak-anak kita berlari di ranah yang tidak ramah kepada anak, dan orang tua atau sebagian besar orang tua masih membiarkan anak-anak kita berlari sendirian di ranah itu,” ucap dia.
Di sisi lain, Meutya tidak memungkiri bahwa ada banyak juga anak-anak yang melakukan hal-hal yang baik dan mendapatkan ilmu-ilmu yang bermanfaat melalui digital. (Enrico N. Abdielli)

