Minggu, 14 September 2025

KRISIS RESAPAN AIR..! Dilanda Banjir, Bali Perlu Evaluasi Tata Ruang 

JAKARTA – Tata kota Bali menjadi sorotan setelah banjir besar melanda beberapa wilayah pada awal bulan September 2025. Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna menilai, persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari konflik kepentingan antara ruang untuk manusia dan ruang untuk air.

“Sebetulnya ini ada konflik yang namanya konflik antara tata ruang untuk air dan tata ruang untuk manusia. Nah, tata ruang untuk manusia ini yang memang sudah agak berlebihan,” kata Yayat, Jumat (12/9/2025).

Prabowo mengunjungi korban banjir Bali Sabtu (13/9/2025) di sebuah gang kecil di daerah tersebut. Presiden meninjau lokasi rumah warga setempat dan menanyakan kondisi warga. (Ist)

Menurutnya, pembangunan masif perumahan, hotel, dan kawasan perdagangan membuat ruang terbuka hijau semakin tergerus.

Padahal, sejak lama Bali dikenal dengan aturan tata ruang yang ketat dan berpijak pada adat serta agama. Namun, seiring dengan meningkatnya investasi, aturan itu mulai bergeser.

Krisis Resapan Air

Yayat menilai, masalah utama tata kota Bali saat ini adalah berkurangnya ruang resapan air. Hal itu membuat air hujan tidak tertampung dengan baik, sehingga melimpas ke jalanan.

“Desain kota itu satu, sudah mulai menghilangkan resapan. RTH (Ruang Terbuka Hijau) berkurang, area sawah, kebun juga berkurang. Akhirnya apa? Kita mengalami krisis resapan air,” ujarnya.

Prabowo terlihat duduk di salah satu rumah warga dan mendengarkan keluhan warga tersebut. Salah satu warga mengeluhkan barang-barangnya yang kini habis karena hanyut dibawa air. (Ist)

Ia menambahkan, kapasitas drainase yang tidak memadai semakin memperparah kondisi. Hujan dengan intensitas tinggi dengan puncak hujan yang dulu mungkin terjadi dalam siklus 50 atau 100 tahunan, telah muncul. Namun, infrastruktur perkotaan di Bali belum siap mengantisipasi pola hujan ekstrem tersebut.

“Kalau kemarin kita tahu hujan ekstrem cukup besar, cukup lebat, sementara drainasenya masih lama atau dimensinya kecil, tidak terawat, penyempitan, dan banyak pembangunan perumahan baru itu tidak memperhatikan aspek drainasenya,” ujar Yayat.

Ia mencontohkan, di Jakarta dimensi gorong-gorong sudah diperbesar hingga dua meter untuk mengurangi risiko banjir. Sementara itu, di Bali drainase inti kota belum banyak berubah. Akibatnya, ketika air hujan meluap, jalan raya berubah menjadi aliran sungai dadakan.

Perlu Evaluasi Tata Ruang

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Yayat menekankan perlunya evaluasi besar-besaran terhadap tata ruang di Bali. Menurutnya, pemerintah harus mengkaji ulang keseimbangan antara tata ruang kota dan tata ruang air.

Jika ruang-ruang air itu terus dihilangkan, banjir besar akan lebih sering terjadi.

“Ruang air itu artinya misalnya ada kolam-kolam retensi yang hilang, ada waduk atau situ yang hilang, ada resapan yang hilang,” katanya.

Di sisi lain, aturan adat di Bali yang tidak memperbolehkan pembangunan gedung tinggi juga menjadi tantangan tersendiri. Kondisi tersebut membuat hampir seluruh pembangunan dilakukan dalam bentuk landed house atau rumah tapak. Akibatnya, lahan kosong semakin menyempit dan daya tampung ruang untuk air berkurang.

“Apalagi Bali itu enggak bisa membangun bangunan tinggi karena adat tidak mengizinkan. Jadi efisiensi penggunaan lahan jadi landed semua. Kalau landed kan artinya kapasitas daya tampung ruangnya akan terus berkurang karena terpakai untuk itu,” ujar Yayat.

Solusi Jangka Pendek

Meski perbaikan tata ruang memerlukan waktu panjang, Yayat menekankan pentingnya langkah cepat untuk mengurangi dampak banjir.

Menurutnya, pemerintah harus segera memperbaiki permukiman dan infrastruktur yang rusak akibat bencana. “Solusi jangka pendek pertama, segera bantu untuk direhabilitasi, diperbaiki pemukiman yang rusak dan hancur, recovery.

Kedua, perbaiki infrastruktur yang rusak, khususnya pada infrastruktur yang terkait dengan transportasi dan mobilitas,” kata Yayat.

Selain itu, ia menilai perlu ada keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dalam memperbaiki lingkungan. Semangat gotong royong penting untuk membersihkan sampah, memperbaiki gorong-gorong yang mampet, hingga membangun ulang fasilitas yang rusak.

“Menurut saya ada kegotongroyongan lah. Bagi pelaku-pelaku usaha, bagi siapapun yang kira-kira punya dana, punya apa, untuk sharing. Sharing membangun infrastrukturnya, memperbaiki yang rusak,” ujarnya.

Yayat menegaskan, mencari siapa yang salah bukanlah prioritas saat ini. Yang lebih penting adalah membenahi tata kota sekaligus memperkuat infrastruktur agar Bali lebih siap menghadapi curah hujan ekstrem selanjutnya. (Enrico N. Abdielli)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru