LEBAK – Keberadaan deretan tenda biru di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) viral di media sosial setelah foto-fotonya muncul dari citra satelit Google Maps. Wilayah TNGHS mencakup tiga kabupaten di dua provinsi, yakni Kabupaten Lebak di Banten, serta Kabupaten Sukabumi dan Bogor di Jawa Barat.
Kepala Balai TNGHS, Budhi Chandra, membenarkan bahwa tenda-tenda tersebut merupakan milik para penambang emas ilegal atau gurandil yang beroperasi di dalam kawasan taman nasional itu.
“Benar, tenda-tenda yang terlihat dalam citra satelit tersebut merupakan milik para penambang emas ilegal atau gurandil yang beroperasi di dalam kawasan TNGHS,” kata Budhi melalui pesan WhatsApp, Sabtu (25/10/2025).
Budhi menjelaskan bahwa aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) di kawasan tersebut telah berlangsung sejak awal 1990-an dan semakin meningkat setelah PT ANTAM tidak lagi beroperasi di wilayah itu. Area tambang yang digunakan para gurandil berada di jalur emas Cikotok–Cirotan–Gang Panjang–Cibuluh yang terhubung hingga ke Pongkor, Bogor.
Berdasarkan data dari pihak TNGHS, saat ini terdapat 36 titik lokasi PETI yang tersebar di wilayah Lebak dan Bogor, dengan jumlah tenda kemah mencapai ratusan. Baca juga: Sisa Cerita dari Gang Royal, Kawasan Prostitusi yang Akan Tinggal Kenangan
“Jumlah tenda sekitar 250 unit di titik-titik utama seperti Cibuluh, Cibarengkok, dan Ciberang. Inventarisasi lebih perinci terhadap jumlah lubang galian dan peralatan sedang dalam proses,” ujar Budhi.
Lebih lanjut, Budhi menyebut bahwa sebagian besar penambang ilegal tersebut merupakan warga lokal. Sekitar 90 persen merupakan warga Kabupaten Lebak yang bermukim di sekitar TNGHS, seperti Kampung Gunung Julang, Lebak Situ, Lebak Gedong, dan Citorek.
Sementara sebagian lainnya berasal dari Sukajaya, Bogor, Tasikmalaya, hingga Jampang, Sukabumi. Pihak TNGHS, kata Budhi, telah berulang kali melakukan berbagai upaya untuk menindak para gurandil, mulai dari sosialisasi hingga operasi gabungan bersama pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. Termasuk operasi penertiban gabungan pada tahun 1998 dan 2017 yang melibatkan TNI, Polri, Polhut, pemda, dan PT Antam.
Namun, upaya tersebut belum sepenuhnya berhasil karena medan yang sulit dijangkau danketerbatasan personel di lapangan.
“Lokasi PETI berada jauh di dalam kawasan, akses jalan kaki sekitar lima jam dan terbatasnya personel TNGHS di lapangan, sementara jumlah penambang sangat besar,” kata Budhi.
Menurut Budhi, aktivitas PETI di kawasan taman nasional membawa dampak serius terhadap lingkungan dan ekosistem.
Penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida telah mencemari aliran sungai yang menjadi sumber air warga di hilir.
Selain itu, penebangan pohon secara ilegal untuk memperkuat lubang tambang dan membangun tempat tinggal juga memperparah kerusakan vegetasi serta meningkatkan risiko longsor di lereng curam.
“Bukan hanya air yang tercemar, tapi juga banyak satwa liar yang terusik. Habitat mereka terganggu dan fungsi ekosistem hutan mulai menurun,” ujar Budhi.
Budhi menegaskan, jika aktivitas PETI di kawasan TNGHS tidak segera dihentikan, kerusakan lingkungan dan ancaman bagi masyarakat sekitar dikhawatirkan akan semakin parah di masa mendatang. (Web Warouw)

