JAKARTA- Masyarakat adat Papua sebagai pemilik tanah harus dilibatkan dalam negosiasi antara Pemerintah RI dengan PT Freeport tentang izin usaha pertambangan di Papua. Logika demikian disampaikan oleh John Gobay dalam Diskusi Publik yang diadakan oleh Rumah Mediasi Indonesia (RMI) dan Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI), bertajuk “Divestasi Freeport: Bagaimana dan Untuk Siapa?” di Jakarta, Rabu (26/4).
“Masyarakat adat Papua tidak mengemis pembagian saham dari divestasi PT Freeport, tapi kami ingin dihormati sebagai pemilik tanah ulayat,” tutur John Gobay, perwakilan masyarakat adat Amungme.
Menurutnya, Papua memiliki sejarah penguasaan tanah yang berbeda dengan tanah di Jawa atau Sumatera. Papua tak memiliki pengalaman tanam paksa dan cultuurstelsel, maka keberadaan pemangku hak adat atas tanah harus dihormati dan diakui keberadaannya. Sementara skema pelibatan masyarakat terkait izin penambangan diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba.
Masyarakat Amungme sebagai salah satu entitas pemangku adat di Papua menginginkan gambaran tentang status tanah saat Pemerintah Indonesia dan PT Freeport menjalankan sebuah kontrak bisnis. Masyarakat adat Amungme ingin meminta kedaulatan sebagai pemilik tanah adat di Papua kepada Pemerintah selaku pihak yang menjalankan skema bisnis pengelolaan pertambangan.
Persoalan tentang operasi pertambangan PT Freeport di Papua terjadi sejak 1957 saat perusahaan tersebut memegang kontrak karya. Sebagai pemegang kontrak karya, PT Freeport memiliki kewenangan mengelola seratus persen manajemen operasional pertambangan. Kontrak karya secara kasat mata telah memposisikan negara sejajar dengan entitas bisnis setingkat perseroan terbatas. Pun, secara finansial merugikan negara, karena pemerintah tak bisa melakukan kontrol terkait cost production perusahaan.
Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat RI, Kurtubi mengatakan menyejajarkan negara dengan perusahaan dalam kontrak karya merupakan bentuk tindakan yang bertentangan dengan konstitusi. Pada kasus migas, Mahkamah Konstitusi telah memutus untuk membubarkan BP Migas lantaran praktik pengelolaan sumberdaya migas oleh entitas bisnis non pemerintah menimbulkan dua kerugian, yaitu negara kehilangan kedaulatan sekaligus rugi secara finansial.
Rezim kontrak karya telah berakhir diganti dengan rezim perizinan yang diatur dalam UU No 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Jika Freeport bersikeras menolak skema perizinan, sesuai peraturan perusahaan bisa mengoperasikan bisnisnya hingga 2021, setelah itu tidak ada lagi skema kontrak karya.
Pengamat Pertambangan, Marwan Batubara, berpendapat bahwa negara tidak boleh mengalami pengurangan pendapatan ketika terjadi perubahan kontrak yang diatur dalam UU No 4 Tahun 2009 tentang Minerba.
“Pemerintah harus konsisten dengan konstitusi terkait divestasi saham,” katanya.
Sumberdaya mineral dan batubara merupakan kekayaan alam yang dikuasai oleh negara, bisa dijadikan sebagai aset cadangan terbukti. Menurutnya penting untuk memutus rantai oligarki pengusaha dan penguasa.
Kepada Bergelora.com dilaporkan, keputusan dispensasi kepada Freeport untuk melakukan ekspor konsentrat mempertimbangkan pendapatan daerah di Papua masih tergantung dengan industri ekstraksi.
“Pemberian izin ekspor konsentrat Freeport yang dilakukan tanpa terlebih dahulu menyelesaikan pembangunan smelter perlu dikaji ulang,” demikian Direktur Advokasi RMI, Ridha Saleh
Sementara itu, skema kontrak karya bertentangan dengan konstitusi, dan harus digantikan dengan skema perizinan sehingga pemerintah bisa melakukan kontrol biaya produksi dan negara tidak dirugikan secara finansial.
“Masyarakat adat Papua harus dilibatkan dalam negosiasi antara pemerintah dan PT Freeport. Terutama mengenai dampak, mitigasi risiko, dan keberlanjutan usaha penambangan di Papua,” Agung Sedayu, Koordinator Presidium FAA PPMI. (Enrico N. Abdielli)