Senin, 27 Maret 2023

Lindungi Petani Tembakau Nasional

Oleh  : AJ Susmana

Imperialisme tak berhenti untuk merampok kekayaan negeri-negeri lain dan berusaha sebisa mungkin mencegah peluang bangkitnya Industri Nasional suatu negara. Untuk Indonesia, mengembangkan Industri Nasional yang tangguh adalah keharusan agar sanggup melawan dominasi modal asing yang terus melemahkan kemampuan daya kreatif nasional dan menghancurkan kepribadian bangsa dan  menyebabkan Indonesia tergantung pada barang-barang impor seperti kebutuhan bahan pangan yang sebenarnya bisa diproduksi sendiri. Peluang untuk mengembangkan Industri Nasional yang tangguh itu sebenarnya ada dan secara nyata bisa dimulai dari Industri Tembakau alias Kretek.

 

Tembakau dan kretek memberikan sumbangan besar terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan  tenaga kerja, dan pendapatan negara. Pun merupakan satu-satunya industri nasional yang  terintegrasi dari hulu ke hilir, mulai dari  penyediaan  input produksi  (pertanian tembakau),  pengolahan (pabrik rokok), hingga sektor penjualan (ekspor rokok, perdagangan dalam negeri,  pedagang  kaki lima,  warung kelontong, dsb.) Semua dilakukan di dalam negeri oleh pelaku-pelaku usaha nasional dengan melibatkan tenaga kerja yang sangat besar jumlahnya.

Luas areal tembakau didominasi perkebunan rakyat sebesar 97,43%. Jumlah tenaga kerja industri rokok mencapai  angka 10 juta orang atau 10% dari jumlah  keseluruhan  tenaga kerja di tanah air. Industri ini memberikan sumbangan sangat besar terhadap pendapatan negara dari pembayaran cukai, yaitu sebesar Rp62,75 triliun (APBN 2010). Jauh lebih tinggi dibandingkan penerimaan negara dari sektor tambang yang hanya Rp13,77 triliun. Padahal luas lahan yang dieksploitasi tambang mencapai 42 juta hektar, sementara lahan yg diperuntukkan bagi industri tembakau hanya 198 ribu hektar. Tembakau sungguh bermartabat, sudah sepantasnya bangsa ini berterima kasih kepadanya.

Peranan FCTC

Sialnya, tembakau (dan kretek) mendapat tekanan dari rezim internasional melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), perjanjian internasional yang disepakati di bawah organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO) yang dimaksudkan untuk membatasi produksi, distribusi, dan penjualan tembakau di dunia dengan alasan kesehatan.

FCTC berisi dukungan bagi  kegiatan  kampanye anti-rokok secara internasional dan nasional, tentu dibiayai oleh industri  internasional di bidang kesehatan dan farmasi. Target kampanye anti-rokok internasional adalah bagaimana  melakukan penjualan produk  pengganti nikotin (yang disebut Nicotine Replacement Therapy/NRT) secara massal. Juga didukung oleh World Bank dan telah dimasukkan dalam satu program pencapaian pembangunan Millennium Development Goals (MDGs).

Salah satu gerakan  kampanye anti-rokok  yang  dicetuskan  World Health Organization (WHO) adalah Hari Tanpa Tembakau  Sedunia yang diperingati setiap tanggal 31 Mei. Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia selalu dimeriahkan dengan kampanye anti-rokok dalam  berbagai bentuknya oleh organisasi-organisasi di bawah pengaruh “rezim kesehatan internasional” tersebut. Pengaruh “rezim kesehatan internasional” dalam gerakan anti-rokok juga sampai kepada para pengambil kebijakan. Satu setengah tahun yang lalu ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Dengan memanfaatkan sistem otonomi daerah, “rezim kesehatan internasional” itu membiayai lahirnya berbagai Peraturan Daerah  yang  substansi aturannya jelas-jelas bersumber dari pasal-pasal yang termaktub dalam FCTC. Hasilnya fenomenal, puluhan daerah di tanah air  telah secara resmi mengeluarkan Perda Anti-Rokok tanpa harus mengacu  pada aturan  hukum nasional yang tingkatannya lebih tinggi.

Dengan dalih kesehatan, FCTC dan arah kebijakan “rezim kesehatan internasional” serta meluasnya gerakan kampanye anti-rokok telah menjadi “senjata pembunuh massal” bagi petani tembakau, petani cengkeh, buruh-burh dari industri tembakau skala kecil, menengah, dan besar, dan jutaan rakyat lain yang hidupnya tergantung pada industri yang terkait dengan industri tembakau. Banyak tenaga kerja produktif yang terancam kehilangan sumber nafkah kehidupannya. Negara juga terancam  kehilangan sumber penerimaan dari industri tembakau. Kesemuanya ini tidak ditanggung dan tidak digantikan oleh proyek-proyek “rezim kesehatan internasional” melalui antek-antek lokalnya dengan segala agenda anti-tembakaunya.

 Merebut Pasar Nasional

“Kriminalisasi” terhadap tembakau telah mematikan usaha-usaha rokok berskala kecil dan menengah. Akibatnya, perusahaan-perusahaan multinasional semakin agresif mengambil alih pasar nasional, baik perusahaan kecil dan menengah maupun perusahaan rokok besar nasional, seperti Sampoerna diambil alih Philip Morris Internasional tahun 2005 dan Bentoel diambil alih British American Tobacco tahun 2009.

Masalah tembakau dan rokok tidak bisa direduksi semata-mata sebagai persoalan kesehatan, tapi juga dikembalikan keberadaannya sebagai persoalan sosial-ekonomi yang melibatkan nasib jutaan pekerja dan  petani  tembakau di seluruh Indonesia. Di tengah wajah industri nasional yang makin terpuruk oleh globalisasi dan perdagangan bebas, tindakan untuk turut serta “mematikan” industri tembakau dan rokok, apalagi dengan motif mendapatkan dana internasional, adalah tindakan yang sama sekali tidak bermartabat. Kewajiban negara adalah untuk menyediakan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi setiap warganya. Perlindungan dan pembelaan kepada para petani dan pekerja industri tembakau adalah bagian dari amanat konstitusi, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

*Penulis adalah Koordinator Percik Indonesia

 

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,586PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru