JAKARTA- Pemerintah mempertimbangkan menarik kembali kewenangan perizinan dan pengawasan tambang galian C dari pemerintah provinsi ke pemerintah pusat. Galian C meliputi pasir, batu kapur, kerikil, tanah liat, marmer, granit, andesit, dan sejenisnya.
Saat ini, kewenangan pengelolaan tambang galian C berada di pemerintah provinsi berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022. Perpres ini merupakan turunan dari Undang-Undang Minerba.
Langkah evaluasi dilakukan setelah longsor maut terjadi di tambang Galian C Gunung Kuda, Cirebon, akhir Mei 2025.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Tri Winarno menyampaikan, pemerintah tengah mempertimbangkan penarikan sebagian kewenangan ke pusat.
“Beberapa lagi kita pikirkan Perpres-nya, tapi tidak semuanya (izin galian C) akan ditarik ke pusat,” kata Tri di Kementerian ESDM, Selasa (5/8/2025).
Tri belum menjelaskan secara detail wilayah mana saja yang akan terdampak.
“Lagi digodok plus-minusnya,” tambahnya.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menilai rencana tersebut tidak tepat.
Ia mengatakan, kewenangan provinsi sudah sangat terbatas berdasarkan Perpres 55/2022. Tambang mineral non-logam juga akan ditarik ke pusat.
“Justru sebaliknya Pemerintah Daerah harus diberikan kewenangan lebih dalam perizinan pembinaan dan pengawasan tambang agar lebih besar partisipasi daerah. Karena daerahlah yang langsung terkena dampak operasi pertambangan,” kata Bisman, Rabu (6/8/2025).
Menurut Bisman, rencana itu bertolak belakang dengan semangat otonomi daerah. Ia menilai kewenangan yang besar pada awal era otonomi sekitar tahun 2000 justru makin menyusut. Revisi UU Minerba pada 2020 mengakhiri wewenang kabupaten/kota.
“Kalau akan kembali sentralisasi, ini tidak sesuai dengan desentralisasi dan otonomi daerah serta bertentangan dengan konstitusi Pasal 18A ayat 2 UUD 1945,” ujar Bisman.
Ia juga mengingatkan risiko ketimpangan pusat dan daerah akan membesar jika kebijakan ini diterapkan.
“Ini berbahaya karena daerah akan merasa semakin tidak adil antara hubungan pusat dan daerah,” tandasnya.
Ketua Badan Kejuruan Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli juga menyampaikan kekhawatiran.
Menurutnya, perubahan kebijakan bisa menimbulkan persoalan baru bagi pelaku usaha.
“Sangat disayangkan kebijakan kita cepat sekali berubah di tengah kondisi geopolitik dan geoekonomi global saat ini. Kegiatan usaha seharusnya dipermudah, dibuat lebih efisien, cepat, dan murah dari sisi administrasi agar dapat menunjang pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Rizal, Rabu (6/8/2025).
Rizal menegaskan, secara normatif pengelolaan galian C memang berada di tangan pusat sesuai UU Nomor 3 Tahun 2020. Namun, karena keterbatasan SDM di Kementerian ESDM, kewenangan ini didelegasikan kembali ke provinsi. Tujuannya agar proses izin dan persetujuan RKAB bisa lebih cepat.
Belakangan, sejumlah daerah justru kesulitan karena dinas ESDM di tingkat provinsi sudah dibubarkan. Akibatnya, dukungan untuk aktivitas pertambangan menurun karena kekurangan tenaga. Rizal mengingatkan, tanpa kesiapan yang cukup, pengalihan kewenangan ke pusat bisa menimbulkan kekacauan. Ia menyoroti pemberlakuan RKAB tahunan sebagai isu krusial.
“Kita berharap agar proses RKAB tahunan tidak diberlakukan pada tahun ini, sambil menunggu RKAB tahun 2026 selesai disusun. Ini penting agar pelaku usaha bisa mempersiapkan pengajuan RKAB tahunan dengan lebih baik mulai tahun 2026,” katanya.
Rizal juga menyoroti keberadaan ASN yang sebelumnya direkrut daerah untuk mengelola tambang. Mereka harus disalurkan ke Kementerian ESDM bila kewenangan sepenuhnya kembali ke pusat.
“Kalau semua administrasi dan tata kelola sudah di pusat, tentu daerah harus ikut. Namun SDM yang ada di daerah juga harus disalurkan agar bisa memperkuat kapasitas di pusat,” tandasnya.
Longsor Maut Tambang Cirebon: Pemerintah Lalai, Kasus Berulang
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, pakar pertambangan menilai insiden longsor maut di areal tambang Galian C Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Cirebon, Jawa Barat merupakan imbas dari kelalaian pemerintah dalam pengawasan tata kelola pertambangan.
Dalam kaitan itu, Ketua Badan Kejuruan (BK) Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli berpendapat pengawasan pemerintah dalam praktik pertambangan, khususnya oleh koperasi atau usaha kecil menengah, selama ini sangat lemah.
Pemerintah, padahal, sudah memiliki instrumen di Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui tim teknik dan lingkungan, inspektur tambang, hingga dinas di tingkat provinsi.
“Ini dibiarkan. Ini terjadi satu single bench [jenjang penggalian] atau jenjang tunggal. Harusnya ada multi bench. Dihitung nanti kesatuan batuannya bisa berapa meter tingginya, lebar jenjangnya berapa,” ujarnya ditemui di sela agenda ESG Forum 2025, Senin (2/6/2026).
Dalam praktik pertambangan yang aman, lanjutnya, perhitungan aspek geomekanika dan geomekanika tanah sangat krusial. Sayangnya, tidak semua pemegang izin usaha pertambangan (IUP) skala kecil menerapkan ilmu tersebut.
“Nah, kalau saya melihat ini pengawasan pemerintah lemah sekali, karena membiarkan. Ini bukan hanya di Cirebon. Di daerah lain juga banyak. Saya pernah lihat di Aceh ada, di daerah lain juga ada,” tegas Rizal.
Kebanyakan kelalaian praktik pertambangan tersebut, lanjutnya, terjadi pada areal galian batuan nonlogam, seperti kapur, tras, dan sebagainya. Menurutnya, banyak penambang yang mengeruk dari bagian bawah tanpa pengawasan yang tegas.
“Lalai pemerintah. Kalau saya menyalahkan, ini pemerintah. Pemerintah harus bertanggung jawab untuk kejadian seperti itu. Artinya, pemerintah tidak tegas. Kalau sudah melihat bahwa ini tidak benar, seharusnya distop, tidak boleh beroperasi. Kasih police line.”
Kesalahan Fatal
Rizal juga menggarisbawahi kesalahan fatal bahwa tambang Gunung Kuda beroperasi tanpa rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) sejak 2024.
RKAB, padahal, mengharuskan terpenuhinya persyaratan studi kelayakan atau feasibility study (FS), analisis dampak lingkungan (Amdal), rencana pascatambang (RPT), dan sebagainya.
Ketua Badan Kejuruan (BK) Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli di Jakarta, Senin (2/6/2025)./Bloomberg Technoz-Mis Fransiska
Menurut Rizal, pemerintah tidak boleh menyalahkan permasalahan ketiadaan RKAB sebagai penyebab insiden maut di areal pertambangan Cirebon tersebut.
Jika pemerintah sudah mengetahui sejak lama bahwa tambang tersebut tidak memiliki RKAB, lanjutnya, wilayah kerja tambang tersebut semestinya sudah disegel sejak awal.
“Pemerintah harus bertanggung jawab, karena [kejadian seperti ini] bukan hanya di Jawa Barat. Hampir semua daerah punya tambang seperti ini. Single bench sampai 60—70 meter, bahkan sampai 100 meter, karena dia keruk dari bawah. [Ongkosnya] murah, [tetapi] tinggal tunggu longsor saja. Namun, begitu longsor besar, kena semua,” kata Rizal.
“Seharusnya dia mulai dari atas, bikin bench sampai ke bawah dan dihitung berapa geometri kestabilan lereng yang diizinkan. Bisa minimal 1 atau 2 hektare [ha]. Ini untuk faktor keamanan lereng itu. Itu ada ilmunya dan harus menggunakan tenaga yang kompeten.”
Untuk itu, dia mendesak agar pemerintah lebih tegas memberikan sanksi atau tindakan hukum atas penambang yang tidak memenuhi kaidah keamanan pertambangan agar insiden serupa tidak berulang kembali.
Longsor maut di areal tambang Galian C Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Cirebon, Jawa Barat terjadi di wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) operasi produksi (OP) milik Koperasi Pondok Pesantren Al-Azhariyah di Gunung Kuda pada Jumat (30/5/2025) sekitar pukul 10:00 WIB.
Per 1 Juni 2025, korban tewas akibat longsor maut di tambang tersebut telah ditemukan sebanyak 19 orang, sedangkan 6 orang masih dalam pencarian dan 7 orang luka-luka.
Bukan kali ini saja tambang yang memiliki cadangan batuan tras tersebut mengalami kecelakaan. Berbagai referensi menyebut areal galian C itu setidaknya telah mengalami insiden sebanyak lima kali dalam satu dasawarsa terakhir.
Akan tetapi, tambang tersebut masih diberi izin untuk terus beroperasi. Izin terakhir tercatat diberikan pada 2020 oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan data perizinan di Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Barat, izin tersebut diberikan berdasarkan Surat Keputusan Kepala DPMPTSP Provinsi Jawa Barat No. 540/64/29.1.07.0/DPMPTSP/2020 tertanggal 5 November 2020 dengan luas 9,16 hektare (ha), jenis komoditas tras.
Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat Bambang Tirtoyuliono menyebut di blok tambang Gunung Kuda terdapat empat perizinan.
Satu di antaranya adalah milik Al Azhariyah, dua milik Kopontren Al Ishlah, dan satu lagi masih tahapan eksplorasi dan diduga masih satu grup dengan koperasi Al Azhariyah.
Akan tetapi, Bambang mengatakan tambang Gunung Kuda tersebut sudah tidak mengantongi dokumen RKAB sejak 2024.
Bahkan, kata Bambang, kawasan tambang tersebut telah diminta untuk menghentikan operasinya pada 19 Maret 2025, tetapi tidak dihiraukan oleh pengelola tambang.
“Maka, kejadian lah bencana insiden ini. Maka hari itu Jumat [30/5/2025] juga kami langsung mencabut izin operasi produksi secara permanen baik milik koperasi Al Azhariyah, dan juga tiga lainnya,” ujarnya melalui siaran pers Kementerian ESDM, dikutip Senin (2/6/2025).
Saat ini, tim Inspektur Tambang (IT) Ditjen Minerba Kementerian ESDM masih terus melakukan proses verifikasi lapangan di tempat kejadian perkara (TKP).
Verifikasi tersebut mencakup identifikasi penyebab dasar dan penyebab langsung kecelakaan; baik dari sisi manusia, metode kerja, peralatan, material, maupun lingkungan kerja. (Web Warouw)