JAKARTA – Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong divonis hukuman penjara 4,5 tahun. Hakim menyatakan Tom bersalah dalam kasus korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan RI.
Hakim menyebut tindakan Tom terkait dengan impor gula juga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, meski dalam fakta persidangan, tidak ada unsur memperkaya diri sendiri.
Hal yang memberatkan dalam Kasus Tom Lembong, hakim menilai mantan timses Anies Baswedan di Pilpres 2024 itu dianggap lebih mengedepankan ekonomi kapitalis dalam kebijakannya.
“Terdakwa pada saat menjadi Menteri Perdagangan kebijakan menjaga ketersediaan gula nasional dan stabilitas harga gula nasional lebih mengedepankan ekonomi kapitalis, dibandingkan sistem demokrasi ekonomi dan sistem Pancasila berdasarkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial,” beber hakim.
Majelis hakim juga menilai perbuatan Tom Lembong menerbitkan 21 persetujuan impor (PI) gula kristal mentah untuk perusahaan gula swasta dan melibatkan koperasi dalam operasi pasar memenuhi unsur pasal yang didakwakan jaksa.
Data impor gula 2017-2023
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, sebagai informasi, selama puluhan tahun terakhir, Indonesia selalu melakukan impor gula. Hal ini karena produksi pabrik-pabrik gula dalam negeri tak pernah mencukupi kebutuhan domestik.
Sejak era Orde Baru, Indonesia banyak mengandalkan gula impor untuk pemenuhan konsumsi dalam negeri. Meski volume impornya naik turun, tren impor gula hampir selalu naik dari tahun ke tahun. Ambil contoh dalam 10 tahun terakhir atau di dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014-2024).
Indonesia selalu mengimpor jutaan ton gula setiap tahunnya.
Negara-negara asal impor gula terbesar Indonesia adalah Thailand, kemudian diikuti Brasil, Australia, dan India.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2014 impor gula tercatat sebesar 2,93 juta ton, lalu pada tahun 2015 naik menjadi 3,36 juta ton.
Tren kenaikan impor terus berlanjut yakni tahun 2016 impornya sebesar 4,74 juta ton, tahun 2017 sebesar 4,47 juta ton, tahun 2018 sebesar 5,02 juta ton, dan 2019 sebesar 4,09 juta ton.
Berikutnya pada periode kedua pemerintahan Jokowi, impor gula masih terus berlanjut. Program swasembada gula pun seolah jalan di tempat dan tak pernah terealisasi. Misalnya pada tahun 2020, masih mengutip data BPS, pemerintah melakukan impor gula sebanyak 5,54 juta ton, lalu tahun 2021 impor gula sempat turun tipis jadi 5,48 juta ton.
Bahkan di tahun 2022, impor gula mencapai rekor tertinggi yakni 6,01 juta ton. Impor gula terus berlanjut di tahun 2023 yakni 5,06 juta ton.
Berikut data impor gula menurut BPS dari :
2014-2023: 2014: 2,93 juta ton
2015: 3,36 juta ton
2016: 4,74 juta ton
2017: 4,48 juta ton
2018: 5,03 juta ton
2019: 4,09 juta ton
2020: 5,54 juta ton
2021: 5,48 juta ton
2022: 6,01 juta ton
2023: 5,07 juta ton
Artinya terlepas dari kasus Tom Lembong, enam Mendag yang menjabat di era pemerintahan Jokowi, tak satu pun yang tidak lepas dari kebijakan impor gula.
Selama kurun waktu tersebut, Mendag berganti-ganti, mulai dari Rachmat Gobel (2014-2015), Tom Lembong (2015-2016), Enggartiasto Lukita (2016-2019), Agus Suparmanto (2019-2020), Muhammad Lutfi (2020-2022), hingga Zulkifli Hasan (2022-2024).
Mengapa Indonesia selalu impor gula? Menurut data USDA (Departemen Pertanian Amerika Serikat), Indonesia bersama dengan China, selalu menempati urutan pertama negara importir gula terbesar di dunia. Kondisi ini bertolak belakang bila dibandingkan saat masa Hindia Belanda di awal abad ke-20. Saat masih dijajah Belanda, Pulau Jawa adalah eksportir gula terbesar di dunia setelah Kuba.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengungkapkan, kondisi pergulaan Indonesia bagai ironi, dari awalnya eksportir gula terbesar kedua di dunia, menjadi importir gula terbesar.
“Masalahnya pabrik gula peninggalan Belanda ini tidak direvitalisasi sejak merdeka. Bangun pabrik baru juga sangat sedikit. Rendemen sangat rendah, karena masih pakai mesin lama. Bagaimana mungkin pabrik gula yang masih pakai ketel uap peninggalan Belanda bisa bersaing,” kata Soemitro beberapa waktu lalu.
Sebaliknya, pabrik gula baru yang marak dibangun sejak Orde Baru malahan pabrik gula rafinasi untuk industri. Di mana hampir seluruh bahan bakunya (raw sugar) merupakan impor.
Gula yang jadi komoditas penting abad 19, membuat banyak investor dari Eropa ramai-ramai membangun pabrik gula (PG) di Hindia Belanda, khususnya di Pulau Jawa pasca-era Tanam Paksa.
Setelah merdeka, Indonesia mewarisi 179 PG yang kemudian dikelola sejumlah BUMN perkebunan.
Pabrik-pabrik gula tua BUMN ini sudah banyak yang tutup lantaran terus merugi. Selain itu, banyak PG eks Belanda yang gulung tikar karena kekurangan bahan baku seiring menyusutnya lahan tebu di Jawa.
Menurut Sumitro, dengan produksi mencapai 3 juta ton di tahun 1930 serta konsumsi gula domestik tak sebesar sekarang, Indonesia mengalahkan negara-negara produsen utama gula dunia saat itu seperti Thailand, Brasil, dan India. Namun saat ini, negara-negara tersebut telah menyalip posisi Indonesia.
Brasil contohnya, produksi gula negara tersebut saat ini mencapai lebih dari 29 juta ton, disusul India dengan produksi 29 juta ton, China 11 juta ton, dan Thailand 5 juta ton.
Sementara Indonesia, produksi gula lokalnya malah menyusut dari 3 juta ton menjadi 2,2 juta ton, di saat bersamaan, penduduknya semakin banyak yang artinya konsumsi gulanya sudah jauh meningkat. (Wen Warouw)