Dibalik suka-duka perlawanan terhadap Orde Baru Soeharto, banyak kisah romantika yang tak pernah terlupakan. Maruly Hendra Utama, Mantan Ketua PRD (Partai Rakyat Demokratik) menuliskannya untuk melengkapi sejarah Perlawanan. Kali ini ia menulis tentang seorang mahasiswi Institute Teknologi Bandung (ITB) yang ikut dalam perjuangan bawah tanah menjelang kejatuhan Soeharto. Kisah ini diambil bergelora.com dari akun FB Maruly Reborn yang diaplod 7 Mei 2019 lalu. (Redaksi)
Oleh: Maruly Hendra Utama
PERGILAH, berjuanglah dan menderitalah! Pesan perempuan berumur pendek, 25 tahun yang rela menjadi isteri ke 4. Ya! RA Kartini rela menjadi isteri ke 4 Bupati Rembang demi hadiah sebuah sekolahan dari suaminya untuk perkembangan emansipasi. Kisahnya begitu inspiratif. Menjadi aktivis gerakan juga harus berkorban, paling tidak mengorbankan kenyamanan saat istirahat dan tidur dimalam hari. Bertahun-tahun terlibat dalam gerakan membuat kenyamanan menjadi terbatas tak terkecuali tempat tidur. Tidur dikasur busa tipis dengan kepala sampai dada diatas Kasur, sementara dari pinggang sampai kaki terasa dingin seperti ada yang niup karena menyentuh lantai. Dikarenakan kasur busa tipis yang biasanya digunakan untuk satu orang harus digunakan untuk 4 atau 5 orang. Sangat biasa tidur diatas karpet tipis, bahkan tidur diatas selembar koran bekas sekedar melindungi baju agar tidak kotor merupakan hal yang lazim bagi kawan2 gerakan.
Dari sekian banyak tempat untuk istirahat dan tidur ditahun – tahun menjelang tergulingnya Regim Orde Baru, ada satu tempat yang sangat nyaman. Sofa berwarna coklat tua yang empuk. Jika berbaring diatasnya tubuh seakan tenggelam mengikuti berat badan. Sofa itu terletak ditengah ruangan sejajar dengan piano besar yang biasa dimainkan pemiliknya.
Dekat piano juga terdapat computer yang bisa digunakan kapan saja karena pemiliknya selalu menggunakan laptop. Berhadapan dengan sofa ada pintu masuk ruang lainnya yang biasa digunakan untuk latihan nyanyi penghuni rumah. Sofa berwarna coklat tua itu adalah tempat tidurku dimalam hari.
Sofa itu milik Kolonel Simangunsong, yang memiliki anak laki2 tertua dan biasa aku panggil Abang, putri keduanya Key Simangunsong, produser film. Lalu Astri Imelda, putri ketiganya yang paling dekat dengan ku. Imel memiliki adik perempuan, Dewi “Dee” Lestari dan sibungsu Dedek yang suaranya sangat merdu.
Jika aku sudah merebahkan badan di sofa itu, tanpa diminta Imel segera melempar bantal dan selimut. Jika sudah tertidur, tidak pernah ada yang membangunkan. Aku terjaga jika mendengar Imel mulai memainkan pianonya atau ketika Dee sedang latihan bernyanyi bersama RSD nya. Aku mengenal Dee sebagai penyanyi, beberapa tahun kemudian saat dia menulis Supernova, novel yang super keren itu aku jadi menyesal karena tidak pernah diskusi soal buku bacaannya.
Lokasi rumah tempat ku bersembunyi itu di jalan Patrakomala Bandung, tempat mukim perwira Kodam Siliwangi. Jam berapapun jika keluar masuk rumah ini tidak perlu khawatir. Sangat aman. Geng motor dan bandit2 kota Bandung tidak ada yang berani beroperasi didaerah ini karena jaraknya yang sangat dekat dengan Kodam Siliwangi. Tidak ada satupun kawan2 gerakan bawah tanah yang tahu tempat ini. Hanya ini caraku untuk melindungi Imel dan keluarganya jika suatu waktu terjadi penangkapan.
Dari rumah Imel dengan menggunakan computer miliknya aku memproduksi tulisan2 untuk kebutuhan internal gerakan. Tulisanmu di sukai dosenku, Hepi Bone Zulkarnaen dan Andreas Pereira, kata Pipit, Mahasiswa Unpar yang juga aktivis pers kampus. Pasca Reformasi, kedua dosen Pipit itu menjadi anggota DPR RI fraksi Golkar dan PDIP. Hepi Bone dan Andre Pereira menjadi pembaca tulisan2ku dan tentu saja untuk itu mereka harus merogoh kocek yang dalam guna membiayai sekretariat dan biaya operasional bulanan termasuk membiayai aksi-aksi mahasiswa.
Imel adalah pribadi yang unik dan menyenangkan. Cantik, cerdas, berani dan terkesan semau gue jika tidak ingin dikatakan sembarangan. Saat itu dia memiliki mobil twincam warna merah marun. Bertahun-tahun bersama Imel tidak pernah aku dibuatnya menunggu saat akan bepergian, Imel bukan cewek yang suka dandan.
Mobilnya tidak pernah dicuci, kaca spion pecahpun tidak diperbaikinya. Hanya ditempel kaca kecil yang diambil dari peraut pensil lalu dilem. Baginya mobil hanya alat transportasi. Persis dengan ucapannya saat dia mengatakan, apapun yang kita miliki boleh kumuh, tapi muka jangan. Imel kuliah di jurusan Arsitek ITB. Dia tidak terlalu peduli dengan tawaran menjadi dosen ITB. Dia lebih memilih focus bermain piano.
Sekarang Imel disibukan dg jadwal konser krn dia sudah menjadi diva jazz Indonesia. Imel tidak pernah mau kompromi jika dia menginginkan sesuatu. Ayo kita makan babi panggang ajaknya suatu waktu. Tanpa meminta persetujuanku dia meraih tas kecilnya lalu bangun meninggalkan kursi. Arya Sinulingga, sekarang TKN Jokowi mengikutinya dan aku harus bergegas juga karena tidak ingin ditinggal sendirian.
Lokasi makan babi panggang diseberang Kantor Telkom yang dekat dengan Gedung sate sentral aksi-aksi mahasiswa. Saat duduk dimeja makan Imel dan Arya ngobrol tentang cara masak, bumbu dan segala macam kelebihan makan disitu. Instingku sebagai organiser lebih memilih berkenalan dan ngobrol dengan pemilik rumah makan. Dan benar, instingku bekerja dengan baik, beberapa waktu kemudian saat memantau aksi kawan-kawan dari sudut lapangan Gasibu ada intel yang mengenaliku, Maruly! teriaknya. Saat aku menoleh empat orang berbadan besar dan berambut cepak berjalan cepat ke arahku. Aku segera berlari ke arah rumah makan babi panggang langganan Imel, sampai disana aku berteriak sekuat tenaga bahwa ada orang yang akan memukuliku. Dengan sigap pemilik rumah makan memerintahkan semua pelayannya melindungiku. Ibu-ibu keluar membawa sapu dan ember. Melihat massa yang melindungiku empat orang berbadan tegap itu berlari balik arah. Aku diselamatkan babi panggang Imel.
Rutinitas menulis ditambah rapat-rapat gelap hingga larut membuat aku ambruk. Saat selesai menelpon di wartel, aku terjatuh dan tidak bisa bangun. Dibagian perut terasa nyeri sekali bila tubuh dibaringkan lurus, sehingga aku harus menekuk tubuh seperti udang untuk mengurangi rasa sakit.
Beberapa orang langsung membawaku ke RS. Dokter memutuskan harus operasi karena usus buntu. Aku tidak khawatir soal keamananan di RS karena identitas yang aku kantongi adalah KTP dengan nama palsu. Yang menjadi masalah adalah pihak RS butuh persetujuan keluarga untuk melakukan operasi.
Malam itu aku sendirian, tidak mungkin aku menghubungi keluarga di Lampung. Aku tidak ingin mereka cemas dan khawatir. Tidak mungkin juga aku menghubungi kawan-kawan karena aku tidak ingin aksi-aksi massa terganggu hanya karena mereka merawatku. Aku memberikan kontak Imel pada pihak RS. Seperti biasa, kawanku yang cantik dan baik ini dengan sigap datang disaat aku membutuhkan.
Imel datang sendiri dan terlihat khawatir juga bingung, aku meraih tangannya agar dia mendekat dan aku bisikan, tolong kau tandatangani formulir dengan menulis nama palsuku agar aku bisa operasi dan bila ditanya, katakan kamu adalah isteriku. Mendengar itu sorot mata Imel terlihat ingin protes, tapi dia tidak sanggup melakukannya karena melihatku menahan sakit.
Saat pamit pulang aku berpesan padanya jangan pernah membesuk dan jangan juga memberitahu siapapun aku dirawat di RS.
Setelah operasi dokter mengatakan bahwa aku harus istirahat 7 sampai 10 hari agar benar-benar pulih. Selama dirumah sakit, aku menghabiskan waktu dengan membaca koran dan majalah yang diberikan gratis oleh pihak RS. Berita dari koran tentang aksi mahasiswa yang marak membuatku ingin cepat sembuh. Selain membaca aku juga mempelajari rutinitas dokter, perawat dan penjaga di RS itu.
Hari ketiga aku sudah bisa berjalan sendiri walau masih tertatih-tatih. Pagi hari saat perawat dan penjaga disibukan oleh pergantian jam jaga aku mencopot jarum infus dan menyelinap keluar. Asrama Lampung yang kutuju, disana aku beristirahat untuk memulihkan luka setelah operasi.
Aku menulis cerita ini bukan tanpa resiko, terbayang cerewetnya Imel yang langsung menelpon dan berkata apa-apaan sih lo Rul? Lo kan tau gua gak suka dilibatkan dalam gerakan. Gua gak mau kumuh Rul! Seperti biasa Mel, setiap lo marah, pasti gua punya alasan. Ini bulan Ramadhan, gua harus memperbanyak ibadah. Dan menulis semua kebaikan lo adalah ibadah. Masak lo gak ngasih kesempatan gua beribadah sih! Makasih atas semuanya Mel, peluk dari jauh. Teriring salam dan hormat untuk Abang, kakak Key, Dee dan Dedek

