Selasa, 2 Desember 2025

MALU GAK SIH..? Media Asing Kecam Soeharto Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

JAKARTA – Keputusan Pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada mendiang Presiden Soeharto menuai sorotan luas dari media internasional.

Upacara penganugerahan yang digelar di Istana Negara pada Senin (10/11/2025) itu dihadiri Presiden RI Prabowo Subianto, yang juga merupakan mantan menantu Soeharto.

Namun, di balik seremoni resmi tersebut, muncul gelombang kritik dari aktivis, akademisi, hingga keluarga korban pelanggaran HAM masa Orde Baru.

Media asing menyoroti langkah ini sebagai bagian dari tren “pemutihan sejarah” atau historical whitewashing di bawah pemerintahan Prabowo, merujuk pada jejak kelam Soeharto yang terlibat dalam pelanggaran HAM dan kekerasan selama lebih dari tiga dekade memimpin Indonesia.

 

The Guardian sebut adanya “pemutihan sejarah”

Surat kabar The Guardian dalam laporannya berjudul “Fury as Indonesia declares late authoritarian ruler Suharto a national hero” menyoroti amarah publik dan tudingan “pemutihan sejarah” di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.

Media asal Inggris itu menyebut penghargaan terhadap Soeharto memperdalam kekhawatiran akan upaya “membersihkan” masa lalu kelam Orde Baru, yang ditandai oleh korupsi, sensor, dan pelanggaran HAM massal.

Dalam laporan itu, The Guardian menulis, “Keputusan ini menunjukkan adanya upaya untuk menulis ulang sejarah dengan menonjolkan sisi kepahlawanan sambil menghapus jejak kekerasan dan represi.”

Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia menyebut keputusan ini “benar-benar absurd”.

Ia berkata, “Bagaimana mungkin orang yang paling bertanggung jawab atas salah satu genosida terbesar dalam sejarah diangkat sebagai pahlawan nasional? Ini adalah bentuk pemutihan kejahatan sejarah yang terang-terangan.”

The Guardian juga menyinggung latar belakang Prabowo yang memiliki kaitan erat dengan Soeharto, termasuk tuduhan keterlibatan dalam penculikan aktivis pada akhir 1990-an.

Namun, Kementerian Kebudayaan Indonesia, melalui Fadli Zon, membantah tudingan keterlibatan Soeharto dalam pembantaian 1965–1966.

Kendati demikian, hal itu dinilai para pengamat sebagai bagian dari narasi pelunakan sejarah yang semakin kentara sejak Prabowo berkuasa.

The Star khawatir akan “kembalinya gaya lama” di era Prabowo

Media Malaysia The Star, melalui artikelnya “Indonesia grants national hero status to late strongman President Suharto,” menyoroti sisi politis dan simbolis dari penobatan Soeharto sebagai pahlawan.

The Star menulis bahwa langkah tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa pemerintahan Prabowo sedang membuka jalan bagi kembalinya “gaya kepemimpinan ala Orde Baru.”

Media itu mengutip aktivis Indonesia di Timor Leste, Tadius Priyo Utomo, yang ikut berdemo di Jakarta.

“Perjuangan kami di masa lalu menjadi sia-sia. Kami disebut pengkhianat karena melawan Soeharto, sementara kini ia disebut pahlawan,” ujarnya.

Selain itu, mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman memperingatkan bahwa gelar itu bisa menjadi “lampu hijau” bagi presiden saat ini untuk meniru pendekatan represif era Soeharto.

“Prabowo bisa melakukan segala hal seperti yang dilakukan Soeharto karena kini ia terlindungi oleh status kepahlawanannya,” katanya.

Analis politik Kevin O’Rourke, penulis buku “Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia,” menilai langkah ini berpotensi “memutihkan sejarah dan menghidupkan kembali otoritarianisme,” meskipun ia menambahkan bahwa demokrasi Indonesia sudah terlalu matang untuk dibalikkan sepenuhnya.

BBC ungkap adanya dilema di balik gelar pahlawan Soeharto

Dalam laporan berjudul “Indonesia names ex-dictator Suharto a ‘national hero,’” BBC menyoroti dilema besar di balik penghargaan itu: antara mengenang Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan” dan mengakui warisan pelanggaran HAM yang terjadi selama masa pemerintahannya.

BBC mencatat bahwa Soeharto memang berhasil membawa Indonesia pada pertumbuhan ekonomi yang pesat, menurunkan inflasi, dan menata stabilitas nasional. Namun, di balik keberhasilan ekonomi itu, terdapat represi politik, penyiksaan, serta invasi ke Timor Timur yang menelan banyak korban jiwa.

Amnesty Indonesia menyebut langkah pemerintah sebagai upaya “memutihkan dosa rezim otoriter” dan “distorsi sejarah.”

 

Terlibat Genosida

BBC juga menyoroti simbolisme politik di balik pemberian gelar ini oleh Prabowo — mantan jenderal yang juga dituduh terlibat dalam penculikan aktivis 1998.

“Penghargaan kepada Soeharto mungkin tak terlepas dari upaya membangun narasi baru yang lebih lunak terhadap masa Orde Baru,” tulis BBC.

Menariknya, media Inggris ini mencatat bahwa dua tokoh lain yang juga menerima gelar pahlawan pada hari yang sama — Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan aktivis buruh Marsinah — justru dikenal sebagai penentang kebijakan represif Soeharto.

Langkah ini dinilai BBC sebagai “cara pemerintah untuk menyeimbangkan reaksi publik terhadap keputusan yang kontroversial.”

AFP sebut gelar pahlawan untuk Soeharto “ungkit” luka lama Indonesia

Dalam artikelnya berjudul “Indonesia names late dictator Suharto a national hero,” kantor berita AFP menyoroti bahwa keputusan pemerintah menambahkan nama Soeharto ke daftar pahlawan nasional dilakukan “meski ada penolakan keras dari aktivis dan akademisi atas rekam jejak diktator militer itu dalam pelanggaran HAM.”

AFP melaporkan bahwa Prabowo Subianto memimpin langsung upacara Hari Pahlawan tersebut, di mana Soeharto termasuk di antara 10 tokoh baru yang menerima gelar kehormatan.

Media itu mencatat bahwa langkah tersebut memicu surat terbuka yang ditandatangani sekitar 500 anggota masyarakat sipil dan akademisi, menilai pemberian gelar itu “sebuah pengkhianatan terhadap korban dan nilai-nilai demokrasi.”

Kepada AFP, Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya menegaskan, “Soeharto, sebagai seseorang yang diduga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan negara, tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional.”

Di sisi lain, AFP juga mengutip pembelaan Sekretaris Negara Prasetyo Hadi yang mengatakan bahwa penghargaan itu merupakan bentuk penghormatan terhadap pemimpin yang telah memberikan kontribusi luar biasa bagi bangsa.

Sementara itu, keluarga Soeharto yang hadir dalam upacara, melalui Siti Hardiyanti Rukmana, meminta publik untuk mengingat perjuangan Presiden ke-2 RI itu bagi Bangsa Indonesia.

“Mohon diingat kembali apa yang telah diperjuangkan oleh bapak saya, sejak muda hingga tua nanti, semua perjuangannya untuk negara dan bangsa Indonesia,” ujar Siti Hardiyanti kepada wartawan usai upacara, dikutip dari AFP. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru