JAKARTA- Keberadaan teroris ISIS di Filipina dan simpatisannya di Indonesia sudah mengarah pada keadaan darurat sehingga perlu keputusan cepat untuk melibatkan TNI dalam menyelamatkan kedaulatan NKRI. Namun revisi Undang-Undang Anti Terorisme justru akan memasung tugas TNI untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan NKRI dari serbuan teroris ISIS.
“Jangan pasung TNI Dengan Revisi Undang-Undang Anti Terorisme. Pemasungan peran TNI dalam pemberantasan terorisme justru terlihat dalam pasal-pasal Undang-Undang Anti Terorisme,” demikian hal ini diingatkan Laksamana Muda TNI (Purn.) Soleman B. Ponto, S.T., MH., mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI (2011-2014) kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (3/6).
Ia menjelaskan, pemasungan peran TNI dalam pemberantasan terorisme sangat terlihat pada pasal 43 B Undang-Undang Anti Terorisme yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut,
Ayat 1
Kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme
Ayat 2
Peran Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pada Ayat 1 dalam Undang-Undang Anti Terorisme ini menurut Soleman B. Ponto, TNI harus tunduk kepada ‘Koordinator’ yang tidak jelas, Karena hanya disebut sebagai Lembaga Pemerintah non Kementerian yang menyelenggarakan penanggulangan Terorisme. Polri-pun harus tunduk kepada ‘Koordinator’ pembuat Kebijakan dan Strategi Nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, yang tidak disebut namanya.
“Pada ayat ini TNI dan Polri serta instansi lainnya kedudukannya sama tinggi sesuai dengan kewenangannya,” jelasnya.
Tetapi Soleman B. Ponto mengingatkan lagi, pada Ayat 2 dalam Undang-Undang Anti Terorisme ini, TNI diletakkan hanya sebagai pembantu atau memberikan bantuan kepada POLRI. Artinya TNI hanya diperankan tidak lebih dari ‘pembantu’ untuk mencari bukti pelanggaran pidana. Dengan demikian menurutnya kewenangan TNI untuk melaksanakan Operasi Militer sebagaimana yang diatur oleh pasal 7 ayat 2 Undang-Undang TNI, ‘dipasung’ oleh ayat ini. Padahal pada ayat 1 kedudukannya sama tinggi.
“Karena itu menurut saya, sebaiknya TNI tidak diatur dalam Undang-Undang Terorisme ini. Toh sudah diatur secara jelas pada Undang-Undang TNI. Tidak diaturnya TNI dalam Undang-Undang Terorisme, bukan berarti hilangnya hak dan kewajiban TNI dalam memberantas Terorisme,” tegasnya.
Soleman B. Ponto menegaskan bahwa pemerintah tetap bisa menggunakan TNI untuk memberantas terorisme. Karena penggunaan TNI tetap harus tunduk pada pasal 7 ayat 3 Undang-Undang TNI yaitu harus melalui kebijakan dan keputusan politik negara yang diambil oleh Presiden dan DPR.
“Jadi TNI tidak bisa semaunya sendiri, masih tetap terkontrol. Untuk itu maka pasal 43 B ini harus dihapus,” tegasnya.
Kejahatan pada Negara
Sebelumnya, Jumat (2/6) Soleman B. Ponto menjelaskan, bila pemerintah memutuskan bahwa tindakan terorisme merupakan kejahatan pada negara yang mengancam kedualatan negara, maka yang berlaku adalah Undang-Undang TNI dan atas dasar itu Presiden dapat memerintahkan TNI untuk segera melaksanakan Operasi Militer sesuai Undang-Undang TNI.
“Itulah sebabnya TNI tidak perlu dimasukkan ke dalam Undang-Undang Anti Terorisme,” tegasnya.
Menurutnya, untuk memberantas terorisme, tugas dan kewenangan TNI sudah diatur dalam Undang-Undang TNI. Jadi kalau teroris itu sudah diputuskan sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara, maka yang akan berlaku adalah Undang-Undang TNI, disitu TNI dapat melaksanakan operasi militer untuk membarantas terorisme.
“Sangat tidak tepat kalau TNI dimasukan kedalam Undang-Undang Anti Terorisme. Dalam Undang-Undang Terorisme, karena dalam Undang-Undang Terorisme, teroris itu hanya dianggap sebagai pelanggar hukum saja. Kalau pelanggar hukum dihajar oleh TNI maka akan terjadi pelanggaran HAM,” jelasnya.
Pontoh menjelaskan, ketika pertama kali seseorang melakukan pembunuhan dengan menggunakan bom (teroris) maka kasusnya adalah sama dengan pembunuhan dengan menggunakan pisau.
“Pembunuhan itu adalah peristiwa atau perbuatan pidana. Sehingga baginya berlaku tindakan pidana dibawah Undang-Undang Anti Terorisme dan atau Undang –Undang Pidana,” katanya.
Namun apabila ternyata si pembunuh itu tidak sendiri, ada banyak yang terlibat, mereka menguasai wilayah tertentu, mereka mampu menyerang dalam waktu lama, maka berubah kondisinya, sudah menjadi ancaman terhadap kedaulatan.
“Saat itulah Presiden dan DPR dapat memutuskan bahwa tindakan yang harus digunakan adalah Operasi militer berdasarkan Undang-Undang TNI. Atau Presiden bisa segera memerintahkan TNI langsung, kemudian nanti melaporkan dan disetujui DPR, sesuai Undang-Undang TNI,” jelasnya. (Web Warouw)

