JAKARTA- Tepat pada Hari Bakti Dokter Indonesia Senin (24/10) ribuan dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melakukan aksi ke istana menolak program Pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP). Program pemerintahan Presiden Joko Widodo ini semakin merusak sistim kesehatan Indonesia dan akan merugikan seluruh rakyat Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh Anggota Komisi IX DPR RI, dr. Ribka Tjiptaning P, AAK kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (24/10).
“DLP adalah program yang tercantum dalam Undang-Undang Pendidikan kedokteran. Program DLP ini tumpang tindih dengan undang-undang yang lain di bidang kesehatan, seperti Undang-Undang Pratek Kedokteran, Undang-Undang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Pendidikan tinggi
Menurutnya wajar seluruh dokter dari seluruh Indonesia menolak program yang sudah mulai dijalankan oleh Kementerian Kesehatan ini. Bahkan menurutnya gerakan ini meminta seluruh rakyat Indonesia harus mendukung perjuangan dokter Indonesia.
“PB IDI (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia) sudah menyerukan agar semua dokter Indonesia untuk turut mendukung aksi ini. Saya menyatakan mendukung dan ikut serta dalam perjuangan ini,” tegasnya.
Menurutnya, Undang-Undang No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran harus segera direvisi. Dirinya menjadi inisiator revisi pada undang-undang tersebut dan akan mendorong DPR untuk menyetujui revisi pada undang-undang yang telah meresahkan dokter dan masyarakat pada umumnya.
“Gak ada pilihan selain melakukan revisi pada undang-undang ini. Khususnya tentang program DLP. Hari ini juga saya telah memasukan naskah akademik dan rancangan perubahan atas Undang-Undang No 20 Tahun 2013 ke Baleg (Badan Legeslasi-red).
Dokter perempuan dengan tiga anak yang juga berprofesi sebagai dokter, Tjiptaning menyatakan perjuangan dalam parlemen harus terus didukung oleh perjuangan ekstra-parlementer sampai revisi selesai menghapus pasal DLP dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2013.
“Untuk itu Presiden Joko Widodo harus segera menghentikan program yang dijalankan oleh Kementerian Kesehatan yang banyak ditolak oleh seluruh dokter dari Sabang sampai Merauke. Saatnya dokter bersatu menentukan kebijakan dan Undang-Undang yang tidak anti dokter dan anti rakyat,” tegasnya.
“Program DLP akan semakin mempersulit mahasiswa Fakultas Kedokteran yang lulus untuk segera bisa mengabdi di tengah masyarakat. Hal tersebut sungguh ironis, karena negeri ini masih kekurangan dokter. Selamat berjuang teman sejawat. Tujuan dari program DLP ini adalah mencelakai dokter dan seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.
Juru bicara aksi damai Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Agung Sapta Adi menilai program DLP percuma dilaksanakan. Alasan dia, selain menghabiskan anggaran, program itu tak menyelesaikan persoalan pada pelayanan kesehatan.
Agung mencatat ada beberapa poin yang sebaiknya dibenahi pemerintah untuk mereformasi sistem pendidikan dokter di Indonesia. Ia mencontohkan, masih ada pendirian fakultas kedokteran yang belum mengikuti ketentuan berupa rekomendasi dari tim penilai. Selain itu biaya pendidikan masih tergolong tinggi yang sulit dijangkau masyarakat menengah ke bawah. Tercatat biaya pendidikan dokter setiap semester mencapai Rp 50-75 juta per mahasiswa.
Dari segi akreditasi, kata Agung, masih banyak fakultas kedokteran yang memiliki nilai B dan C. Pada 2015, dari 75 fakultas kedokteran, ada 60 fakultas yang memiliki akreditasi B dan C.
“Intinya kalau pemerintah ingin memperbaiki fasilitas layanan kesehatan harus secara komprehensif,” kata Agung.
Menurut Agung, program ini tidak jauh berbeda dengan hasil lulusan dokter umum. Ia menilai DLP merupakan program sepihak dari Kementerian Kesehatan karena program itu belum secara tuntas dibahas pada tingkat organisasi profesi dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Disamping itu, kata dia, program Dokter Layanan Primer terkesan dipaksakan berjalan padahal peraturan pendukung Undang-Undang Nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran berupa peraturan pemerintah dan peraturan menteri.
Rp 300 Juta/dokter
Prof. Dr. I. Oetama Marsis,Sp.OG, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengatakan program pendidikan DLP tersebut merupakan langkah mubazir.
“Mubazir karena Pemerintah mewajibkan dokter untuk kembali menempuh program pendidikan DLP selama 3 tahun dengan biaya sekira Rp300 juta/tahun/dokter. Tercatat ada 110 ribu dokter yang membutuhkan peningkatan kompetensi,” ujarnya.
Program DLP juga menurutnya memberatkan calon dokter dan merendahkan serta meragukan kompetensi dokter. Pasalnya para dokter sebelum bertugas telah melalui proses uji kompetensi untuk proses sertifikasi dan masa internsip dokter yang juga diatur dalam Undang-Undang Pendidikan Kedokteran.
Bukan hanya di Jakarta, ribuan dokter di Kota Solo menggelar aksi damai di Bundaran Gladag pada hari Senin (24/10). Para dokter tersebut menuntut adanya reformasi sistem kesehatan dan pendidikan kedokteran. Peserta aksi membawa keranda sebagai simbol dunia kedokteran yang belum berpihak kepada rakyat kecil.
Bundaran Gladag di Jalan Slamet Riyadi, Solo, dipadati ribuan dokter. Para dokter dengan mengenakan jas warna putih membawa sebuah keranda. Keranda diusung dalam aksi tersebut sebagai simbol ketidakberpihakan sistem kesehatan saat ini kepada rakyat kecil.
“Tuntutan pertama kita kepada pemerintah adalah melakukan reformasi sistem kesehatan terutama untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kedua, kami ingin pemerintah merivisi Undang Undang nomor 20 tahun 2013 terkait sistem pendidikan kedokteran. Kita ingin sistem pendidikan kedokteran lebih pro rakyat,” kata dr. Aji Suwandi, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Solo.
Aji menjelaskan, saat ini sistem Jaminan Kesehatan Nasional belum berjalan maksimal, akibatnya para dokter dan rumah sakit sering disalahkan apabila muncul permasalahan.
Terkait sistem pendidikan kedokteran, menurut dia, undang-undang tersebut membuat pendidikan kedokteran menjadi semakin lama karena adanya program dokter layanan primer. Program tersebut merupakan program lanjutan dari profesi dokter.
“Biaya untuk menjadi dokter sudah mahal, dan apabila pendidikan semakin panjang tentunya akan menuntut biaya tinggi, imbasnya biaya kesehatan juga mahal,” katanya.
Aji menyebutkan, lebih baik pemerintah mengatur peningkatan sarana dan prasarana kesehatan serta kualitas obat-obatan.
Di Kemenkes, ribuan massa juga berorasi untuk meminta jalan masuk menemui Nila Moeloek, selaku Menteri Kesehatan RI. Namun, hanya beberapa saja yang diizinkan oleh pihak Kemenkes untuk menemui Menteri Nila. Padahal, ribuan dokter itu menginginkan Menkes menemui massa di tengah aksi.
“Bu, kami saudara kandung kalian, loh. Ini dokter dari Sabang sampai Merauke, loh, Bu. Gimana mau pro rakyat? Rakyat mau berobat saja harus bayar mahal.” ujar salah seorang orator. (Petrus H. Hariyanto/Web)