Minggu, 14 Desember 2025

MANTUUUL….! Aktivis 98: Pemindahan Ibu Kota Pas dengan Semangat Reformasi 98

Aktivis 98 Sulaiman Haikal.(Ist)

JAKARTA- Rencana pemerintah memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur menuai pujian dan harapan. Sebagian wilayah Kabupaten Penajam Passer Utara dan Kutai Kertanegara telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai calon ibu kota baru. Pemindahan ibu kota ini menuai pujian dan harapan dari banyak pihak, salah satunya datang dari aktivis 98 Sulaiman Haikal.

Ketua Kaukus Percepatan Pemindahan Ibu Kota Negara (Kaukus Ibukota), Sulaiman Haikal menilai sudah waktunya bangsa Indonesia mewujudkan cita-cita bersama yakni menghadirkan pemerataan ekonomi dan politik ke seluruh negeri.

“Sudah 74 tahun Indonesia merdeka. Sudah seharusnya seluruh wilayah tumpah darah negeri kita merasakan kesejahteraan yang tinggi. Dan ini harus dimulai dari sekarang,” ujarnya kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (30/8).

Selanjutnya Haikal menyoroti berbagai ketimpangan demografis dan ekonomis antara Pulau Jawa dan Luar Jawa khusunya kawasan Indonesia Timur. Ketimpangan tersebut seolah menjadi cerita klasik yang tidak ada habisnya hanya menjadi bahan perbincangan dan pembahasan.

“Nah, inisiatif Presiden Jokowi ini harus diapresiasi karena berani memulai langkah besar memindahkan ibu kota yang sebetulnya sejak lama sudah dipikirkan oleh para pemimpin republik,” katanya.

Ketika dihubungkan dengan sejarah dan semangat reformasi yang digelorakan mahasiswa pada tahun 1998, pemindahan Ibu kota ini sesuai dengan tuntutan rakyat pada masa itu.

“Gerakan reformasi 98 yang menjadi pijakan demokratisasi Indonesia, juga disumbangkan melalui darah dan air mata rekan-rekan aktivis dari Indonesia Timur. Sehingga sangat aneh jika ada yang alergi atas pemindahan ibu kota ke posisi tengah wilayah nusantara ini,” katanya.

Kemudian mantan ketua umum Pijar Indonesia 98 ini menambahkan, spirit gerakan reformasi saat itu adalah menghadirkan keadilan dan pemerataan bagi kawasan tertinggal, sehingga kemudian lahirlah undang-undang otonomi daerah sebagai buah perjuangan reformasi. Dalam perjalanannya, pelaksanaan otonomi daerah telah menyumbang banyak kemajuan bagi daerah. Selain pengelolaan keuangan negara yang lebih terdistribusi, otonomi daerah berhasil melahirkan kepala-kepala daerah terbaik sepanjang sejarah.

“Otonomi daerah ini pada akhirnya harus disempurnakan dengan pemindahan pusat pemerintahan RI. Supaya apa? agar segera terwujud integrasi nasional yang kokoh dalam menghadapi tantangan besar ke depan” tutup Haikal.

Sikap Orde Baru

Sebaliknya sebelumnya, Emil Salim mantan arsitek Orde Baru menyatakan, pemindahan Ibukota adalah bentuk pelarian tanggung jawab. Padahal pemindahan ibukota semakin menguat. Bahkan pemerintah menyebut wilayah di Kalimantan Timur akan menjadi ibukota baru negara. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan pemindahan ibukota agar tidak Jawa Sentris.

Ia menafikan, data Bappenas menyatakan 57% penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa. Selain itu, pertumbuhan ekonomi di Jawa, 5,6% lebih tinggi dari daerah lain. Untuk mempersempit ketimpangan, selain masalah rawan gempa, banjir, dan kemacetan, pemerintah ingin memindahkan ibukota.

Ekonom senior dan mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup ini menilai pemerintah seharusnya tidak lari dari tanggung jawab dengan pindah ibukota, melainkan membenahi Jakarta.

“Justru karena tantangan di Jakarta itu lah perlu ditangani, dengan pengembangan sosial dan technical engineering. Apakah dengan pindah ibukota menyelesaikan masalah-masalah tersebut? Ini bentuk pelarian tanggung jawab,” tandas Emil Salim di Jakarta, Jumat (23/8) lalu.

Mengenai lokasi Kalimantan yang berada di tengah-tengah Indonesia, Emil mengatakan yang menjadi permasalahan era sekarang bukanlah fisiknya, melainkan bagaimana mengimplementasikan regulasi dan aspek non-fisik, sehingga bisa mengoptimalkan potensi di Indonesia.

“Kita ada di abad ke-21, yang menentukan kemajuan Indonesia itu bukan fisik tapi keampuhan sarana transportasi dan kualitas dari sumber daya manusia,” tegas Emil yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.

Selain itu, Emil juga mempertanyakan dana besar untuk pemindahan ibukota yang disebut-sebut mencapai Rp466 triliun, berkorelasi dengan pemerataan ekonomi. “Diperlukan dana Rp466 triliun untuk pemindahan ibukota, tapi apakah benar-benar urgent pemindahannya? Apakah ini bisa menjamin pemerataan di pulau lain?,” tegas Emil.

Emil menerangkan kesuksesan pemindahan ibukota di negara lain tidak bisa serta merta dijadikan rujukan untuk Indonesia. Ia mencontohkan 30 negara yang berhasil memindahkan ibukota secara fisik, seperti Brasilia oleh Brasil, Putrajaya Malaysia, Sejong oleh Korea Selatan, Astana di Kazakhstan, dan Canberra oleh Australia.

Tetapi, sambung Emil, negara-negara tersebut adalah negara non-kepulauan. Sementara Indonesia adalah negara kepulauan yang menjadi lalu lintas maritim di dunia “Jadi ini berbeda.”

Karena itu, cermat Emil, ketimbang memindahkan ibukota, sebaiknya pemerintah mengutamakan hal lain yang lebih penting: pembangunan sumber daya manusia. Anggaran SDM setidaknya 36% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pasalnya, kualitas SDM Indonesia masih berada di bawah Vietnam.

“Daripada kita pindah ibukota, kita tingkatkan kualitas SDM kita agar memadai. Terutama ketrampilan dan pengetahuan dalam menghadapi Industri 4.0, pendidikan kita masih banyak tertinggal,” terangnya.

Ia pun memberi pilihan kepada pemerintah, “jadi mana yang lebih penting untuk menutup kesenjangan perekonomian, pembangunan SDM atau pindah ibukota?”. Jika pembangunan dijalankan secara rasional maka pada tahun 2043, Indonesia bisa keluar dari jebakan negara kelas menengah alias middle income trap. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru