Dibalik suka-duka perlawanan terhadap Orde Baru Soeharto, banyak kisah romantika yang tak pernah terlupakan. Maruly Hendra Utama, Mantan Ketua PRD (Partai Rakyat Demokratik) Jawa Barat menuliskannya untuk melengkapi sejarah Perlawanan terhadap Orde Baru. Kali ini ia menulis tentang kawan-kawan PRD nya yang merintis pembangunan gerakan bawah tanah di Jawa Barat melawan Soeharto. Kisah ini diambil bergelora dari akun FB Maruly Reborn yang diupload 11 Mei 2019 lalu dan dimuat Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Maruly Hendra Utama
DINI hari, Bandung masih gelap. Aku dan Puyi berjalan menuju simpang Dago. Kami akan ke Jakarta. Puyi tidak bisa lagi diajak diskusi, selain trauma dengan peristiwa semalam dia tampak pucat dan lelah karena kurang tidur. Aku memutuskan untuk tidak ke stasiun, tidak juga ke terminal. Kami naik angkot ke Ciroyom. Dari Ciroyom lanjut ke Cimahi lalu ke stasiun Purwakarta untuk naik kereta tujuan Jakarta.
Sampai stasiun Jatinegara kami turun. Puyi keluar duluan sementara aku mengikutinya dari jarak yang cukup jauh tapi masih tetap bisa memantau. Puyi mengajak makan, aku khawatir jika masih dekat stasiun. Kita makan di kampung melayu saja kataku. Selesai makan aku menuju wartel dan kembali menghubungi nomor ratelindo, oleh Andi Arief, saat itu sudah memimpin PRD bawah tanah diarahkan ke rusun Bidara Cina. Dibawah kami dijemput oleh Bambang Ekalaya,
Naik kerusun dan masuk salah satu ruang yang pengap, hanya ada kipas angin kecil yang biasa digunakan dalam angkot tahun 80an. Dalam ruang tanpa perabotan itu ada Edy Haryadi, Jojon, Megi Margiyono dan tentu saja Andi Arief. Saat baru duduk Megi langsung menyodorkan laptop dan menyuruhku mengetik kronologis. Istirahat dulu kata Edy.
Aku melirik Puyi, sorot matanya yang nampak lelah seakan bertanya tidur dimana? Aku segera menggelar koran dan menyuruh Puyi tidur dipojokan sementara aku duduk didepan laptop. Setelah menulis kronologis, Edy memintaku untuk wawancara sebentar, tulisan ini akan dimuat di Pembebasan dan apa kabar katanya.
Mereka semua yang berkumpul disitu adalah mahasiswa UGM dan tidak ada yang bisa berkelahi. Berbeda dengan Rektor Unila, saat menjadi saksi dipersidangan, dihadapan majelis hakim mengaku lulus dari UGM dengan cumlaude, anaknya yg di luar negeri malu karena bapaknya dikatakan tdk cerdas dalam satu tulisanku.
Faktanya hari ini ada alumni UGM menyerobot tanah dan memukuli tetangganya. Selain UGM, tentu saja Kemenristekdikti merasa di-berak-in atas kelakuan Profesor Mat Akin. Potret institusi pendidikan yang menjadi preseden buruk bagi pemerintahan Jokowi di akhir periode pertama. Rektor sudah harakiri seandainya peristiwa ini terjadi di Jepang.
Esok hari, semua media memberitakan peristiwa penangkapan Irwan. 10 ribu selebaran, buku agenda, ATM dan kartu kredit yang disita muncul di televise dan koran, Dikatakan oleh Pangdam Siliwangi, Tayo Tarmadi ada aliran dana dari luar. Pret! ATM Danamon itu rekening ibuku utk mengirim uang bulanan. Kartu kredit City Bank aku dapatkan karena masa itu mahasiswa di Bandung dengan IPK diatas 3,25 bisa mengajukan KK di City Bank. Uangnya aku gunakan untuk membeli mesin cetak dan kertas selebaran. Pangdam Siliwangi menarik kesimpulan aku berhubungan dengan Sri Bintang Pamungkas dan Yenni Rosa Damayanti. Melalui wartawan majalah D&R, Andre Medita, secara bawah tanah aku bantah semua pernyataan itu.
Pangdam ngamuk! semua tempat yang pernah kukunjungi digerebek. Posko Kewaspadaan Nasional menyerukan tembak ditempat bagi actor intelektual dibelakang peristiwa itu.
Beberapa hari dirusun Bidara Cina aku diantar Bambang Ekalaya ketempat Cak Munir. Saat itu Cak Munir dan isterinya mengontrak rumah dekat stasiun Jatinegara. Disini aku tidur tidak beralaskan koran karena tidur dimeja besar ruang rapat. Tidak lama ditempat Cak Munir aku dikoordinasikan untuk mempersiapkan aksi di PN Jaksel, aksi vonis Budiman Sudjatmiko dkk. Saat pamit oleh Cak Munir aku hanya dibekali sarung karena pakaiannya kekecilan semua bagiku.
Aku langsung menuju rumah Dina di Ciputat. Mahasiswa Unpad yang orangtuanya tinggal di Jakarta. Bersama Dina aku memobilisasi kawan2 Bandung untuk aksi di Jakarta. Saat itu ada kontrakan dibelakang UIN Ciputat, jaraknya dekat dengan rumah Dina. Sementara aku bermalam disana dibawah koordinasi Lukas. Seingatku ada Mono, Bimpet dan Boing saat di Ciputat.
Selesai aksi di PN Jaksel yang dipukul aparat, kawan-kawan Bandung segera pulang dan kawan Jakarta kembali ke basis. Aku ikut Ruri ke basis buruh Tangerang. Ampun! Perkampungan buruh disana siang haripun masih gelap karena sinar matahari tertutup atap bedeng yang begitu padat. Aku terjatuh di WC yang licin karena lumut yang begitu tebal.
Hanya semalam aku disana lalu pulang ke secret di Poltangan kawasan Pasar Minggu. Aku bukan anak mami tapi tidak bisa utk membiasakan diri dg tinggal berlama2 dikampung buruh. Tidur berjajar seperti ikan asin lalu masak dikamar mandi karena dapur dijadikan ruang tidur.
Ngeri! Dari poltangan aku mengorganisir buruh bersama Sisi, mahasiswa IPB di Cielungsi. Sisi yang cerewet tapi cantik dan baik selalu memarahiku karena aku selalu ngajak pulang. Beberapa hari di Cileungsi Sisi mengajak ku ke Baranangsiang kediaman orang tuanya. Rasanya tidak mau pergi dari rumah Sisi, tidur sangat nyaman dan makanan berlimpah.
Aku lupa bulannya, yang aku ingat ada aksi graffiti action serentak disemua kota. Gulingkan Soeharto dengan Pemberontakan Rakyat coretannya. Di Jakarta aku memilih satu grup dengan Lukas. Dia mahasiswa IISIP yang mengenal betul setiap sudut jalan Jakarta dan yang terpenting energik. Lukas juga cerewet, jika marah Nampak lucu dengan logat Betawi. Ruri yang sering di bully nya. Saat dia ngomel aku membayangkan mirip betawi bos ojek di palmerah yang setoran ojek anak buahnya kurang. Lucu! Pilihan ku tepat, operasi corat coret bersama Lukas berjalan aman, berbeda dengan group Bimpet yang tertangkap bersama Boing. Mereka ditahan 3 bulan penjara.
Selesai aksi GA (Grafitty Action), aku ditugaskan ke Kalimantan untuk mengorganisir disana. Aku menolak, revolusi itu di Jakarta, bukan di Kalimantan kataku. Lebih baik aku pulang ke Bandung untuk membangun gerakan disana. Melalui bantuan seorang kawan, Devi Sukartono aku kembali ke Bandung dan menetap di Jatinangor. Dia memberi fasilitas kos an yang keren, sangat tersembunyi dengan pemandangan desa yang indah.
Kamarku paling pojok dan yg paling banyak sarung di jemurannya. Dari Jatinangor aku mengkonsolidasikan beberapa mahasiswa progresif. Pipit dari Unpar dan Rainy ITB yang muncul secara terbuka dalam melakukan pengorganisiran dan aksi-aksi. Pipit berulangkali tertangkap dan ditahan di Polwiltabes Bandung, semakin sering di tahan semakin mahir Pipit main bilyard. Polisi yang menahannya justru mengajak main bilyard terus katanya.
Gerakan membesar, semua kampus memiliki komite aksi tapi aksi paling berkualitas dalam makna turun ke jalan adalah hasil kerja kawan-kawan terutama Pipit dan Rainy. Bahkan saat itu Pipit dan Rainy sudah mengorganisir pelajar dan kaum miskin kota selain mahasiswa untuk memimpin aksi merebut RRI Bandung.
Tapi sejarah memang dikuasai pemilik modal dilegitimasi pulak oleh penelitian LIPI tentang GM 98 yang ditulis Irine Gayatri. Pipit dan Rainy tidak pernah dikenal sebagai organiser gerakan di Bandung padahal keberadaan mereka begitu penting dalam membangun gerakan kiri. Sebagai peringatan, hingga saat ini tidak ada satupun catatan tentang 1998 yang ditulis pelaku sejarah. Pengamat sok pinter dan akademisi sok tau yang banyak menulisnya secara sembarangan. Hasil tulisannya sampah! Rongsok! Karena dikerjakan dengan pendekatan proyek sesuai keinginan pemilik modal.
Foto terlampit adalah karya tulis Rektor Unila yang tidak terakreditasi. Tulisan tangannya sendiri. Kata nenek dari pihak ayah jika laki-laki beraninya sama yang lemah artinya pengecut disebabkan kontolnya cuma seuprit, sebesar k*nt*l monyet!

