Oleh: Dominggus Oktavianus *
KARENA mengutip Milton Friedman dalam salah satu presentasinya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dituduh sebagai seorang penganut mazhab monetaris. Pelabelan ini bisa menjadi serius. Milton Friedman adalah perumus teori besar ekonomi yang melahirkan Chicago Boys, para ekonom Chili lulusan Universitas Chicago, yang menjadi penasehat diktator Agusto Pinochet setelah mengkudeta Salvador Allende, seorang presiden sosialis.
Di tahun 1973, ketika Pinochet berkuasa, istilah neoliberalisme belum dikenal dunia. Chicago Boys lah yang pertama kali menjalankan resep-resep neoliberal lewat rezim Pinochet; melakukan privatisasi aset publik, menderegulasi sistem keuangan dan perdagangan, melepaskan kontrol negara atas ekonomi, hingga membuka keran impor.
Hasilnya? Chilie mengalami deindustrialisasi besar-besaran. Industrinya anjlok hingga 11 persen selama satu dekade antara 1974-1984. Jumlah pekerja industri berkurang hingga 22 persen hanya dalam waktu tujuh tahun. Perkiraan konservatif untuk penurunan pekerja industri antara 1973-1983 sekitar 33 persen.
Fenomena deindustrialisasi ini tidak pernah disesali oleh kaum monetaris. Mereka menganggap hal ini sebagai kewajaran bahkan perlu. Mereka menganggap industri yang bangkrut adalah yang tidak kompetitif dan tidak menguntungkan dalam konteks perdagangan dunia. (R.N. Gwynne, 1986)
Meski menjadi eksperimen yang gagal di Chili, resep neoliberal tetap digunakan sepanjang beberapa dekade selanjutnya. Bukan hanya di Chili, tetapi nyaris di seluruh dunia. Dicetuskan oleh Margaret Thatcher dan Ronald Reagen, kemudian semakin mendunia setelah Amerika Serikat meneguhkan supremasinya sebagai penguasa tunggal pasca runtuhnya Uni Soviet (1991). Virus neoliberalisme menebar ke mana-mana. Neoliberalisme juga mengjangkiti tubuh bangsa Indonesia, separuh resep pada awal 1980-an, dan paruh lebih besar lagi pasca kejatuhan Soeharto 1998.
Lantas, apa yang bisa diharapkan dari Menkeu Purbaya apabila benar ia tak lebih dari seorang pengikut Milton Friedman? Bukankah visi Presiden Prabowo justru berbeda jauh dari mazhab tersebut? Bukankah Prabowo menghendaki Indonesia maju sebagai negara industri dengan hilirisasi dan industrialisasi nasional? Bukankah menjadi kontradiktif antara visi Presiden dengan mazhab Menteri Keuangan yang ditunjuk?
Kita perlu mendudukkan tuduhan di atas dalam fakta kebijakan yang diambil Menkeu Purbaya. Benar, di satu sisi ia mengutip pandangan Milton Friedman terkait “uang yang mengendap”. Sedikit mirip dengan teori Friedman bahwa ekonomi dapat dikelola semata dengan mengontrol jumlah uang beredar.
Tapi ada perbedaan mendasar. Friedman mengadvokasi kebijakan moneter untuk kepentingan kapitalisme sektor keuangan termasuk perbankan. Perhatian Friedman pada inflasi adalah dengan mengontrol pasokan uang secara ketat melalui kenaikan bunga oleh Bank Sentral. Sementra Purbaya, dengan menggelontorkan 200 triliun dana pemerintah, berharap tidak lagi terjadi perang bunga antar bank sehingga tingkat suku bunga justru akan turun.
Lebih jauh, Purbaya menekankan bahwa uang yang dipasok ke dalam sistem tidak digunakan untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN). Dengan demikian ia berharap perbankan berupaya menyalurkan uang tersebut ke sektor riil. Selama ini lembaga keuangan, termasuk bank-bank Himbara, cukup dimanjakan dengan memperoleh laba melalui bunga SBN tanpa perlu berkeringat. Saat ini jumlah SBN yang dipegang oleh bank konvensional mencapai 19 persen, atau sekitar 1,122 triliun rupiah. Dengan asumsi bunga SBN sebesar 7 persen maka pendapatan mereka mencapai 78 triliun per tahun dari APBN, kasarannya hanya dengan duduk kipas-kipas.
‘Jurus’ lain yang ditunjukkan Purbaya, misalnya dengan memastikan optimalisasi penyerapan anggaran serta penambahan alokasi transfer daerah yang sebelumnya dikurangi Sri Mulyani, memperlihatkan bahwa ia tidak dapat dilabel sebagai seorang monetaris murni. Malahan di sini nuansa Keynesian terasa lebih kuat. Jadi, kita masih perlu melihat kebijakan-kebijakan lanjutan dari Menteri Keuangan Purbaya terkait pengelolaah fiskal dan koordinasi ke sektor moneter ke depan.
Bila tujuan monetaris ala Friedman adalah mengontrol inflasi, maka tujuan Keynesian adalah mencapai kesempatan kerja penuh dan pertumbuhan ekonomi riil. Bila Friedman ingin mendudukkan sektor ekonomi produktif untuk melayani sektor keuangan, maka sebaliknya, Keynes ingin mendudukkan sektor keuangan untuk melayani ekonomi produktif.
Akhirnya, ada hal lebih penting melampaui perdebatan tentang mazhab ekonomi seorang Menkeu Purbaya. Visi Presiden Prabowo untuk meningkatkan produktivitas nasional dengan fondasi ekonomi kerakyatan (koperasi), swasta, dan negara (BUMN), harus dapat diimplementasikan oleh para pembantunya. Kementerian dan Lembaga teknis yang menangani sektor riil seperti pertanian, perindustrian, ESDM, koperasi, Ekraf, termasuk Danantara dan lain-lain perlu secepatnya bersinergi untuk perbaikan-perbaikan yang sudah banyak dibahas oleh berbagai kalangan.
Sampai hari ini kepemimpinan Presiden Prabowo masih mendapat kepercayaan yang besar dari masyarakat. Kita yakin modal politik ini dapat digunakan sebaik-baiknya oleh Presiden Prabowo untuk menata kembali perekonomian melalui program-program unggulannya, serta menciptakan landasan yang kuat untuk loncatan Bangsa Indonesia menjadi berdaulat, maju, adil dan makmur.
——
*Penulis Dominggus Oktavianus, Eks Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran. Anggota Majelis Rakyat Adil Makmur Partai PRIMA