Senin, 21 Juli 2025

MEMANG GAK MAMPU AJA..! Tanaman Obat Berserakan di RI, Tapi Impor 90% Bahan Baku Obat

JAKARTA – Indonesia memiliki keanekaragaman herbal yang melimpah. Berdasarkan data Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), secara umum di Indonesia tercatat ada lebih dari 30.000 spesies tanaman, dan dari jumlah tersebut, sekitar 9.600 spesies diketahui memiliki nilai ekonomi dan kegunaan, termasuk sebagai tanaman obat.

Menurut beberapa sumber dan penelitian, diperkirakan sekitar 6.000 sampai 7.000 spesies dari tanaman di Indonesia digunakan dalam pengobatan tradisional untuk mengobati berbagai penyakit. Namun ironisnya, 90% bahan baku obat yang beredar justru masih impor. Pelaku industri farmasi pun mengungkapkan alasannya.

“Yang Indonesia impor lebih dari 90% itu adalah bahan baku obat kimia bukan bahan baku obat herbal,” Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) Elfiano, dikutip Bergelora.com di Jakarta, Senin (21/7/2025).

Meski memiliki banyak bahan baku herbal, tidak serta merta bisa dengan mudah digunakan untuk bahan baku obat kimia. Pasalnya, butuh proses untuk merubahnya, bahkan beberapa diantaranya belum tentu bisa diubah.

“Untuk switching bahan baku obat kimia ke bahan baku obat herbal tidak mudah karena pengobatan penyakit sampai dengan saat ini di global pun masih lebih banyak menggunakan obat kimia,” ujar Elfiano.

Karenanya perlu dukungan kuat dari pemerintah dan banyak stakeholder terkait agar industri obat bisa berkembang dan mengurangi ketergantungan dengan impor.

“Untuk membuat dan membangun industri bahan Baku obat juga perlu didukung dengan ekosistem yang saling menunjang, dan yang tidak kalah penting adalah harus ada juga industri kimia dasar di indonesia. Tidak hanya pemerintah tapi semua stakeholder yang terkait,” ujar Elfiano.

Ribuan Penelitian Mengendap di Laboratorium

Prof. Dr. Bambang Cahyono, leneliti kimia Obat Tradisional, Universitas Diponegoro mangatakan Indonesia, negeri dengan kekayaan hayati yang melimpah, telah menghasilkan ribuan penelitian mengenai potensi tanaman herbal sebagai obat alami.

Dalam tiga tahun terakhir saja, sekitar 8.000 penelitian praklinis terhadap tanaman herbal Indonesia telah diterbitkan. Namun, ironisnya, hanya sedikit dari penelitian ini yang berhasil berkembang menjadi Obat Herbal Terstandar (OHT), apalagi fitofarmaka yang memiliki standar lebih tinggi.

Ia mempertanyakan, mengapa begitu banyak penelitian berakhir hanya sebagai paten atau jurnal ilmiah, tanpa bisa diwujudkan menjadi produk yang dapat dimanfaatkan masyarakat?

Ia menjelaskqn, menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, obat tradisional kini dikategorikan sebagai obat bahan alam. Sediaan farmasi ini disejajarkan dengan obat konvensional dan suplemen kesehatan, dengan empat kelompok utama: jamu, obat herbal terstandar, fitofarmaka, dan kategori baru yaitu obat bahan alam lainnya.

Namun, meskipun ribuan penelitian telah dilakukan, perkembangan obat herbal terstandar di Indonesia masih stagnan.

Bahan Baku yang Tidak Terstandarisasi 

Ia mengatakan, banyak peneliti hanya berfokus pada uji praklinis tanpa mempertimbangkan ketersediaan bahan baku yang stabil dan terstandarisasi. Padahal, untuk dapat teregistrasi sebagai OHT, bahan baku harus memiliki asal usul yang jelas dan konsisten dalam kandungan senyawa aktifnya.

“Ketiadaan sumber bahan baku yang terstandarisasi ini sering menjadi penghalang utama ketika produk herbal ingin diproduksi dalam skala besar,” katanya.

Proses Produksi yang Rumit dan Biaya Tinggi 

Pembuatan obat herbal yang sesuai dengan standar Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) bukanlah hal yang mudah. Proses ini membutuhkan fasilitas produksi yang memadai, biaya besar, serta pemahaman mendalam tentang regulasi.

Tidak semua peneliti menurutnya memiliki akses atau kemampuan untuk memenuhi persyaratan ini, sehingga banyak penelitian yang akhirnya terhenti di tengah jalan.

Tantangan Uji Toksisitas dan Uji Klinis 

Agar dapat dikategorikan sebagai obat herbal terstandar, produk harus melewati uji toksisitas dan uji klinis untuk membuktikan keamanan dan khasiatnya. Namun, proses ini memerlukan perencanaan yang matang dan kolaborasi dengan berbagai pihak untuk memastikan bahwa semua tahapan terpenuhi dengan baik.

“Tanpa uji klinis yang memadai, produk herbal sulit untuk mendapatkan izin edar,” jelasnya.

Dokumentasi Ilmiah yang Kurang Lengkap 

Dokumentasi ilmiah yang lengkap sangat penting untuk mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun, banyak peneliti yang tidak mempersiapkan dokumentasi ini dengan baik sejak awal, sehingga sulit memenuhi persyaratan BPOM ketika ingin mendaftarkan produk mereka.

“Tanpa dokumentasi yang memadai, produk tidak bisa dipasarkan,” tegasnya.

Minimnya Sinergi antara Akademisi, Industri, dan Regulator tidak Sinergis

Ketiadaan sinergi antara akademisi, industri, dan regulator menjadi salah satu kendala utama. Banyak penelitian herbal hanya berfokus pada aspek ilmiah tanpa memperhatikan standar industri dan regulasi yang berlaku. Akibatnya, meskipun penelitian sudah matang di atas kertas, tetap sulit untuk diterapkan dalam skala industri.

Solusi: Dari Laboratorium ke Pasar

Ia mengatakan untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kolaborasi yang lebih erat antara peneliti, industri, dan regulator.

Peneliti harus melibatkan industri sejak awal penelitian untuk memastikan bahwa bahan baku yang digunakan dapat distandardisasi dan siap untuk diproduksi dalam skala besar.

Selain itu, BPOM juga perlu berperan aktif dalam memberikan pendampingan sejak tahap perencanaan penelitian.

Dengan demikian, peneliti dapat menyiapkan semua dokumentasi yang diperlukan dengan baik. Jangan sampai data yang sudah dikumpulkan dengan susah payah menjadi mubazir hanya karena tidak sesuai dengan standar regulasi yang berlaku.

Agar penelitian tidak hanya berakhir sebagai publikasi ilmiah, peneliti harus proaktif berkolaborasi dengan industri dan meminta pendampingan BPOM sejak awal.

Konsultasikan rencana penelitian kepada pihak industri untuk memahami kebutuhan pasar dan memastikan bahwa produk yang dikembangkan dapat diproduksi dalam skala besar. Mintalah pendampingan dari BPOM untuk memastikan bahwa semua standar keamanan, kualitas, dan efektivitas terpenuhi.

Dengan melibatkan industri dan BPOM sejak tahap perencanaan, peneliti dapat memastikan bahwa hasil penelitian tidak hanya berhenti di laboratorium, tetapi juga dapat diwujudkan menjadi produk herbal yang aman, berkhasiat, dan siap dipasarkan.

“Inilah saatnya bagi peneliti Indonesia untuk berperan lebih aktif dalam membawa produk herbal kita ke tingkat yang lebih tinggi dan membuktikan bahwa kekayaan alam Indonesia bisa menjadi solusi kesehatan bagi dunia,” tegasnya. (Enrico N. Abdielli)

 

 

 

 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru