Jumat, 4 Juli 2025

MEMANG NGOMONG DOANG…! Izin Tambang Emas Sangihe Bukti SDGs Hanya Slogan

JAKARTA- Pemerintah memberikan izin pertambangan emas di Pulau Sangihe, yang berstatus pulau kecil. Pertambangan ini mengancam kehidupan orang Sangihe, karena hampir separuh pulau masuk dalam kawasan pertambangan. Di satu sisi, Indonesia menyuarakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs).

“Apa yang dikampanyekan berbeda dengan yang dipraktekkan. Hal itu terlihat dalam kebijakan di Pulau Sangihe. Apakah orang Sangihe bisa diyakinkan kalau SDGs itu serius? Konsep besar, tapi nol dalam praktek,” tegas Kandidat Doktor Pertanian dan Perikanan dari UGM, Matheos Talakua, SPi, MSc kepada wartawan, Rabu (20/10).

Letak wilayah KK PT Tambang Mas Sangihe di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara (Ist)

Menurut Matheos, kalau aspek kepentingan ekonomi lebih besar dari aspek sosial dan ekologis-lingkungan, maka yang terjadi dari eksploitasi SDA adalah kehancuran ekosistem secara permanen dan bersifat jangka panjang.

“Konsep pembangunan berkelanjutan adalah besaran sudut ekonomi, sosial dan ekologis-lingkungan itu sama besar maka tercipta suatu keseimbangan. Kalau sebagian besar jaddi wilayah tambang, bagaimana orang bertani, berkebun dan sebagainya,” jelasnya.

Dia mengingatkan, pemerintah Indonesia mengadopsi dan meratifikasi konsep dari pembangunan berkelanjutan tersebut yang diperbaharui dalam konsep SDGs 2030.

Dalam gagasan SDGs 2030 dengan 17 target dan 176 tujuan yang menjadi kesepakatan dunia termasuk Indonesia di dalamnya menyetujui bahasa ekosistem lingkungan harus terjaga, terlindungi dan terpelihara dalam semua aspek kegiatan ekonomi dan sosial.

“Artinya implementasi di lapangan tidak berjalan sesuai konsep ataupun ada sejumlah mising link yang sengaja dibuat seperti izin, yang mungkin saja karena ada pesan khusus sejumlah pihak yang memiliki kekuatan besar dengan sumberdaya yang sangat besar dan itu tidak bisa disentuh siapapun. Itu mungkin saja ya,” kata Matheos yang mendalami Ekologi dan Konservasi dan Pengelolaan Sumberdaya Hayati Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Wilayah Tropika.

Menurutnya, secara ekologis, pulau-pulau kecil itu memiliki keunikan keragaman biota yang spesifik. Untuk itu, katanya, pulau kecil juga memiliki kerentanan dan keterancaman spesifik.

Matheos memastikan, kalau kegiatan eksploitasi tambang dilakukan di pulau kecil maka akan sangat berdampak kepada dua hal. Pertama, kehidupan sosial ekonomi penduduk setempat yang terdampak proyek.

Kedua, populasi biota baik yang umum dan endemik di habitat darat dan pesisir-laut rentan terancam punah karena secara ruang (spatial) ruang jelajahnya kecil untuk di darat dan di pesisir-laut karena terkontaminasi atau terpapar limbah tambang.

“Jujur saja, saya tidak memahami bagaimana tambang emas di pulau kecil memberikan jaminan kenyamanan dan kelestarian lingkungan bagi generasi kini dan mendatang. Ya jangan kepentingan pencari keuntungan sesaat merugikan kepentingan orang banyak,” tegasnya.

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, pertambang emas oleh PT Tambang Mas Sangihe (PT TSM) siap dibuka di Pulau Sangihe, pulau utama di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.

Wilayah KK (kontrak karya) pertambangan emas di Sangihe tercatat sebagai Blok A 10PK0189, atau lebih mudah disebut Blok Sangihe. Letaknya di selatan Pulau Sangihe dengan luas 42.000 hektar yang berarti 56,9 persen dari luas total pulau di Kepulauan Sangihe, yaitu 73.698 hektar. Wilayah Kontrak Karya tambang emas itu membentang di wilayah 80 kampung yang tersebar di tujuh kecamatan.

Izin tambang emas yang dikelola PT Tambang Mas Sangihe (TMS) di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara ditolak oleh 50.000-an penduduk yang sudah mendiam pulau tersebut secara turun temurun.

Hal ini juga dipicu dari surat penolakan yang dikirimkan Wakil Bupati Kepulauan Sangihe Helmud Hontong kepada Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelum meninggal dunia pada penerbangan Lion Air rute Denpasar-Makassar, Rabu (9/6/2021) lalu.

Merusak Lingkungan

Sebelumnya, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah mengatakan, pertambangan mengancam lebih dari setengah pulau. Luas tambang 42.000 ha TMS menurutnya sudah memakan 57% dari luas Kabupaten Kepulauan Sangihe yang hanya 73.689 ha.

“Opsi ekonomi di luar opsi pertambangan, karena pertambangan menurut warga ada dampak dan daya rusak yang besar. Potensi keindahan alam yang diharapkan pemerintah secara kreatif bisa kembangkan sektor lain,” paparnya dalam diskusi daring, Jumat (25/6/2021).

Menurutnya, jika suatu wilayah sudah rusak karena pertambangan, maka akan sangat sulit untuk dipulihkan dan ongkos kerusakan lingkungan bisa jadi tidak terbayar, dibandingkan dengan kompensasi sebesar apapun.

“Operasi tambang hanya dapat keuntungan jangka pendek, mereka ada keindahan alam, kekayaan lain,” pintanya.

Dia mengatakan, penambangan di Pulau Sangihe juga melanggar UU Pulau Kecil, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil atau PWP3K.

“Di sekitar Pulau Sangihe juga ada pulau-pulau lainnya di sisi Timur dan Selatan. Apakah kajian pemerintah juga bahas pulau-pulau kecil yang berkaitan dengan Sangihe?” katanya.

Lebih lanjut dia mengatakan partisipasi masyarakat juga ditinggalkan. Menurutnya, warga mendapat tawaran tanah seharga Rp 5.000 per meter atau hanya Rp 50 juta per hektar.

“Penuh masalah karena tidak melibatkan mereka, padahal banyak sekali aturan gak hanya substansi tapi juga proses dari substansi, warga mendapatkan tawaran tanah Rp 5.000 per meter,” sesalnya.

Sementara itu, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Minerba Irwandy Arif mengatakan PT TMS merupakan perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK) generasi 6 dan telah melakukan kegiatan eksplorasi sejak tahun 1997. Menurutnya, PT TMS memiliki Wilayah Kontrak Karya seluas 42.000 ha.

“Luas wilayah KK PT TMS awalnya 123.850 ha, dalam rangka amandemen KK pada 5 Juni 2018, PT TMS diciutkan wilayahnya menjadi 42.000 ha,” ujarnya.

Berdasarkan izin lingkungan yang diberikan oleh Provinsi Sulawesi Utara tahun 2020, lokasi kontrak PT TMS seluas 42.000 ha, sedangkan yang akan digunakan untuk kegiatan penambangan adalah seluas 65,48 ha.

“Jangka pendek waktu keluar izin lingkungan hanya 65 ha, karena izin lingkungan baru segitu, setelah penuhi syarat-syarat lingkungan Provinsi Sulawesi,” paparnya.

Menurutnya, saat ini Kementerian ESDM sedang melakukan evaluasi luas wilayah yang pantas di rencana penciutan 3, meski luas wilayah dalam KK sebesar 42.000 ha, namun hanya 65 ha untuk penambangan.

Dia pun mengatakan, saat ini pemerintah sedang melakukan evaluasi izin-izin tambang yang bermasalah.

Menurutnya, izin akan dicabut jika tidak melakukan kegiatan sama sekali.

“Kami evaluasi, ternyata bukan 1.600, malah ada 2.300-an yang mendekati 2.350. Semua masalah ini akan dievaluasi ini sedang dikerjakan,” paparnya.

Bupati Menolak Amdal 

Bupati Sangihe, Jabes Ezar Gaghana, SE, ME membantah keras jika dikatakan pihaknya menyetujui ijin penambangan PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS) di 42.000 ha atau 57% dari luas Kabupaten Kepulauan Sangihe yang hanya 73.689 ha. Hal ini disampaikannya dari Manado kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (19/10) menanggapi pernyataan mantan Kepala Badan Intelejen Strategis, Soleman Ponto, yang menyatakan pertambangan tersebut didukung pemerintah daerah.

“Kami tidak pernah menyetujui penambangan emas oleh PT TMS di Pulau Sangihe. Amdal (Analisa dampak lingkungan) sebagai salah satu syarat yang dibikin oleh perusahaan sejak awal sudah kami tolak. Tapi pemerintah pusat tetap keluarkan ijin,” tegasnya.

Atas ijin tersebut bupati melakukam protes ke kementerian lingkungan hidup, namun oleh pemerintah pusat ijin pertambangan tetap berjalan.

“Herannya, walau kami menolak rekomendasi Amdal, namun ijin tetap keluar. Kami protes ke KLH di Jakarta, tapi tidak digubris. PT TMS tetap mendapat ijin penambangan,” katanya.

Bupati menegaskan bahwa sejak awal hingga saat ini pihaknya tetap menolak PT TMS beroperasi di Sangihe.

“Sejak 2017 saya jadi bupati diundang semua pihak untuk membicarakan perijinan saya tetap menolak sampai hari ini. Soleman Ponto dan semua pejabat di Sulut dan nasional tahu torang samua menolak pertambangan ini,” tegasnya.

Bupati menjelaskan bahwa oleh pemerintahan Kabupaten Sangihe sebelumnya ada Perda Tata Ruang yaitu Perda No 4/2014 yang mendukung perijinan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah pusat.

“Sekarang kami sedang dorong perubahan Perda Tata Ruang sehingga tidak ada tata ruang tambang emas,” tegasnya.( Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru