Oleh: Rio Ismail *
KEMARIN saya membaca ulasan Tatang Mulyana Sinaga di Harian Kompas mengenai diskusi buku “Ratu Adil: Ramalan Jayabaya dan Sejarah Perlawanan Wong Cilik”. Buku ini awalnya adalah disertasi Sindhunata, wartawan senior Harian Kompas yang juga budayawan, saat dia menempuh studi doktoral di Sekolah Tinggi Filsafat Jesuit (Hoch-schule für Philosophie, Philosophische Fakultät) di Muenchen, Jerman, pada 1992 Semoga saya akan memiliki buku ini segera.
Sindhunata merefleksikan penderitaan dan harapan rakyat jelata di tengah pergulatan kekuasaan kolonial. Meski titik berangkatnya dari gerakan Samin dan Marhaenisme dalam perlawanan terhadap penguasa kolonial, namun buku Sindhunata tentu saja punya dimensi kekinian dan kemasadepanan. Karenanya menjadi sesuatu yang punya dimensi kritisisme yang tajam terhadap kekuasaan, kini dan ke depan.

Dalam pandangan saya, penguasa seperti Jokowi dan siapapun pemenang pilpres 2024, harus diingatkan, bahkan jika perlu harus dipecut untuk tak lupa sejarah dan tak lupa dengan nasib banyak orang yang dilindas oleh roda industrialisasi ala Jokowi. Seperti kata Sindhunata, penguasa perlu diingatkan agar membayar utang sejarah sehingga tidak lupa mensejahterakan rakyat.
Samaran Kekuasaan
Dalam pandangan Sindhunata, kekuasaan justru harus diwaspadai ketika semuanya terasa baik-baik saja. Sebab dalam spiritualitas, roh jahat itu selalu menyamar dalam kebaikan, dan itu bisa bikin banyak orang terlena. Dalam imajinasi masa kecil saya– kekuasaan,—seperti yang ditunjukkan rezim orde baru misalnya— tampil ibarat hantu yang menyamar sebagai malaikat. Dan, dalam mimpi buruk saya pada kekinian, kekuasaan Jokowi adalah ibarat hantu yang tampil telanjang tak lagi mampu menyamar sebagai apapun.
Peringatan Sindhunata sangat penting. Sebab dalam konteks kekinian, publik sedang diperhadapkan dengan kekuasaan yang mampu memanipulasi situasi politik dan ekonomi menjadi sesuatu yang seolah tidak ada apa-apa.
Buku dengan konten lama yang baru diterbitkan dalam kekinian, seakan memberi sentilan kepada kita semua yang terlena dengan populisme dan lupa mengingatkan Jokowi sejak awal. Saking bergairah ingin keluar dari bayang-bayang situasi post authoritarian, lalu kita lupa bahwa “si lugu” dan “petugas partai” itu ternyata bisa memperdaya banyak orang. Kita tak pernah menyangka bahwa Jokowi mampu melancarkan “mawashi geri”,–atau tendangan berputar menggunakan punggung kaki— yang dengan jitu mampu melumpuhkan demokrasi.
Presiden Jokowi bahkan sudah sampai ke tingkat mampu membius banyak orang untuk lupa pada pelanggaran HAM berat/kejahatan kemanusiaan masa lalu; korupsi dan pencucian uang yang makin menggurita; pembungkaman/teror/kriminalisasi terhadap aktor-aktor civil society, lawan politik maupun kelompok-kelompok kritis; dan tentu saja penghancuran lingkungan dan perampasan sumber-sumber kehidupan rakyat.
Publik bahkan tak lagi bisa melihat dengan jernih berbagai tindakan intervensi terhadap pemilu/pilpres; berbagai kebohongan politik; penumpukan beban utang; salah urus ekonomi; kejahatan pajak/keuangan; inefisiensi proyek berbasis APBN; proses pemiskinan; hingga praktik politik dinasti dan penghancuran sistem demokrasi.
Presiden Jokowi mengklaim sejak 2018 berhasil menekan angka kemiskinan hingga 1 digit: 9,82% pada Maret 2018 menjadi 9,36 pada Maret 2023. Namun sebaliknya presiden justru membiarkan proses pemiskinan berjalan dengan mengerikan di sektor pertanian.
Sesuai data BPS, pada 2013 jumlah petani gurem/miskin (dengan penguasaan lahan di bawah 0,50 hektar) hanya ada 14,25 juta atau 55,33%. Namun pada Maret 2023 sudah mencapai 17,25 juta rumah tangga petani atau 62,04% dari sekitar 27,80 juta rumah tangga petani.
Manipulatif
Dengan memanfaatkan teknologi informasi yang bergerak cepat dan tak terkonfirmasi, rezim penguasa bisa membius banyak anak muda,– yang tak lagi mendapat pelajaran sejarah secara utuh dan genuine,– hingga tak mampu lagi melihat fenomena semacam ini sebagai masalah serius bangsa ini.
Penguasa dengan leluasa menjejali publik,– terutama generasi Gen Z yang berjumlah 74,93 juta atau 27,94% dan generasi Milenial yang berkisar 69,38 juta jiwa atau 25,87%— dengan berbagai informasi yang justru makin menumpulkan kesadaran kritis. Menyulap data untuk menunjukkan seolah tak ada masalah di republik ini.
Jokowi bahkan dengan begitu yakin mempreteli pengetahuan/keahlian yang berakar pada sejarah panjang “kuasa pangan” para petani, yaitu keahlian menanam singkong dan jagung. Saat negara tak sanggup menyediakan pangan, para petani tanpa bantuan siapapun mampu membudayakan bahkan mengandalkan kedua komoditas ini untuk bertahan hidup dalam kemiskinan sekalipun.
Kini food estate yang dikelola Kementerian Pertahanan mau merenggut pengetahuan atau kuasa atas kedua komoditas pangan ini dari tangan petani.
Perlawanan Selalu Hidup
Penguasa lupa bahwa “semangat ratu adil” yang hidup di dalam masyarakat tak bisa pupus begitu saja dengan berbagai manipulasi informasi. Seperti dalam temuan Sindhunata, rakyat akan selalu menggugat penindasan yang dialaminya dengan caranya sendiri, sebagaimana yang ditunjukkan oleh gerakan Samin dan Marhaenisme dalam melawan penjajahan Belanda. Perlawanan sehari-hari akan selalu ada pada masyarakat kecil. Mereka memprotes, memberontak, meskipun kemudian selalu kalah.
Sindhunata mencontohkan perlawanan itu nampak pada era kolonial Belanda. Ketika membangun jembatan, pemerintah
memerintahkan rakyat membawa batu, tetapi mereka justru membawa kerikil. Pemerintah kolonial Belanda marah. Lalu orang Samin menjawab dengan melontarkan pertanyaan, apakah kerikil itu bukan batu?
Mungkin ketika Jokowi di akhir masa jabatannya memerintahkan percepatan food estate untuk membawa Indonesia pada swasembada pangan. Para petani pasti tak berani memberontak karena food estate dikelola Kementerian Pertahanan bersama militer. Tetapi bisa saja para petani akan beramai-ramai membawa hasil panen ke halaman Istana Merdeka sebagai ungkapan protes atas harga pangan yang selalu jatuh dan tak bisa menutupi ongkos produksi saat musim panen tiba.
*Penulis Rio Ismail, aktivis