Rabu, 2 Juli 2025

Membubarkan DPD RI Sama Dengan Membubarkan NKRI

JAKARTA- Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD.RI) sebagai lembaga negara yang menyuarakan aspirasi rakyat daerah di tingkat pusat, dipertanyakan. Namun, kalau ada yang ingin membubarkan DPD berarti ingin membubarkan NKR.

Anggota DPD RI Intsiawati Ayus menegaskan hal ini alam diskusi publik yang di gelar Mubarok Center Minggu (28/2) di Anomali café, Menteng Jakarta Pusat yang menghadirkan, Ketua DPR RI periode 2009-2014, Marzuki Alie, Ketua Umum AJI, Suwarjono, Dewan Pembina Mubarok Foundation, Ahmad Mubarok dan pengamat sosial Bob Soelaiman Efendi.

Menurut Intsiawati Ayus tidak semua kebutuhan masyarakat bisa diakomodasi oleh lembaga DPD RI mengingat masih banyaknya daerah tertinggal, miskin, dan tak memiliki listrik. Karenanya jika ada pihak yang menginginkan pembubaran DPD, maka hal tersebut serupa dengan membubarkan NKRI.

“Sejarah lahirnya DPD sebagai dorongan memperkuat NKRI melalui penguatan Otda sehingga keberadaan DPD ini sesuai kebutuhan masyarakat daerah. Jadi, kalau ada yang ingin membubarkan DPD berarti mau membubarkan NKRI,“ ujar senator dari Provinsi Riau tersebut.

Ketua DPR Periode 2009-2014, Marzuki Alie menyampaikan bahwa konsep membubarkan DPD adalah bagian dari konsep mengembalikan sistem pelembagaan infrastruktur politik ke model multi kameral. Artinya, dikembalikan lagi pasal 1 ayat (2) UUD45 dan pasal 2 ayat (1) UUD 45 yang lama. Maka, MPR akan kembali lagi dengan hak-haknya yang lama.

Menurutnya ini membuktikan bahwa model bikameral DPR dan DPD tidak efektif menjalankan fungsi-fungsi politik yang sesuai dengan nilai-nilai dan cita-cita perjuangan bangsa.

“Pembubaran DPD juga melahirkan konsekuensi kewajiban mengadopsi tokoh-tokoh masyarakat di level nasional dari golongan tertentu menjadi anggota MPR,” demikian tutur Marzuki Alie dalam pemaparannya.

Lebih jauh, Ahmad Mubarok menyampaikan dalam diskusi tersebut, bahwa pembubaran DPD layak dikalkulasi lebih dalam sehingga niat menegakkan kedaulatan rakyat sesuai dengan semangat perjuangan bangsa, nilai-nilai tersirat upaya mempertahankan kemerdekaan dan UUD 1945 yang belum diamandemen.

“Saat ini juga pihak DPD perlu mengakselerasikan agenda politiknya ke ruang publik, sehingga masyarakat memahami bahwa apa yang diperjuangkan DPD RI bukan untuk kepentingan sempit tentang DPD semata, tetapi suara dan aspirasi rakyat di daerah,” demikian ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Sementara itu pengamat sosial politik Bob Soelaiman Efendi dalam diskusi tersebut mengatakan selama ini DPD RI kurang mendapat peran, padahal DPD adalah representatif keterwakilan tokoh
.
”Kita harus mendukung penguatan posisi dan penguatan DPD dalam hal legislasi sehingga punya peran dalam mengambil keputusan, ini sejalan dengakeputusan Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Sementara itu, Suwarjono Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen ( AJI) dalam penuturannya menyampaikan bahwa pola komunikasi DPD RI dengan media juga musti lebih di bangun, mengingat selama ini cukup sepi pemberitaan DPD RI di media massa.

“Selama ini yang lebih sering muncul di media adalah DPR RI. Mungkin ini muncul dari pola komunikasi yang kurang baik antara DPD RI dengan media. Ke depan DPD RI harus bisa lebih erat menggandeng media dalam memplubikasikan perannya” tambah Suwarjono dalam penuturannya.

Hasil Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I Partai Kebangkitan Bangsa di Jakarta 5-6 Februari lalu yang merekomendasikan tujuh rekomendasi, salah satunya adalah pembubaran DPD RI.

Seperti bola salju yang bergulir, bandul wacana yang di gulirkan oleh PKB tersebut membuat perhatian publik terarah ke DPD RI. Berbagai pihak mulai menggulirkan dukungan terhadap upaya penguatan peran DPD RI.

Meskipun merupakan representasi daerah-daerah yang telah dipilih langsung oleh rakyat namun keberadaan DPD dapat di ibaratkan anatara ”ada dan tiada”. Betapa tidak karena fungsi dan wewenang yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas tidak seperti yang dimiliki oleh DPR. Dampak lainnya adalah, tidak terjadi checks and balances antara DPR dan DPD itu sendiri.

Bersama DPR, DPD diharapkan menjadi salah satu kamar dari sistem parlementer dua kamar dalam format baru perwakilan politik Indonesia. Jika DPR merupakan parlemen yang mewakili penduduk, DPD adalah parlemen yang mewakili wilayah atau daerah dalam hal ini provinsi.

Tetapi, struktur ini tidak sepenuhnya mencerminkan sistem bikameral. DPD yang semestinya salah satu kamar dari sistem dua kamar, tidak mempunyai kekuasaan yang memadai. Kewenangan DPD hanya terbatas pada kekuasaan-kekuasaan yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi lainnya, serta masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah seperti Pasal 22D UUD 1945. Di luar itu, kekuasaan DPD hanya memberi pertimbangan kepada DPR. Dengan demikian, keberadaan DPD relatif tidak berfungsi.

Dalam diskusi tersebut terungkap perlunya untuk mengkaji secara mendalam agenda-agenda tentang posisi dan peran DPD maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan struktur negara sebagai bagian dari amandemen UUD 45. Amandemen merupakan keniscayaan secara esensi dari kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan dari kepentingan politik yang parsial. (Enrico N. Abdielli)

Diskusi publik dengan tema menimbang peran DPD: Pembubaran atau Penguatan” yang di gelar oleh Mubarok Center Minggu (28/2) bertempat di Anomali café, Menteng Jakarta Pusat. Diskusi publik ini menghadirkan yang menghadirkan, Ketua DPR RI periode 2009-2014, Marzuki Alie, Ketua Umum AJI, Suwarjono, Dewan Pembina Mubarok Foundation, Ahmad Mubarok dan pengamat sosial Bob Soelaiman Efendi. (Ist)

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru