Oleh: Randy Tandjung*
ERA globalisasi dewasa ini menciptakan ketergantungan antarnegara dalam hampir segala bidang, seperti ekonomi, politik, teknologi, sosial masyarakat dan budaya. Internet dan kemajuan transportasi membuat batas-batas antarnegara menjadi kabur.
Internet memudahkan lalulintas informasi terkait nilai dan budaya mengalir bebas begitu saja tanpa hambatan, bahkan mampu menyebrangi benua hanya dalam sekedip mata.
Martin Albrow menyimpulkan bahwa globalisasi merupakan sebuah proses untuk membuat populasi dunia terhubung ke dalam satu komunitas dunia tunggal.
Dunia semakin terhubung. Untuk meluaskan pengaruh, suatu bangsa tak lagi hanya memerlukan kekuatan bersenjata. Ia bisa dilakukan dengan kemampuan mengorganisir budaya, nilai dan gaya hidup (pop culture) masyarakatnya untuk memengaruhi bangsa/negara dengan cara menarik simpati luas dari masyarakat dunia. Inilah yang disebut dengan soft power, istilah yang dipopulerkan oleh Joseph Nye pada tahun 1980-an.
Menggali Soft Power Nusantara Kuno
Sebelum Joseph Nye mempopulerkan istilah tersebut, jauh dari peradaban modern saat ini, manusia Nusantara telah mempraktekkan soft power di abad ke 7 Masehi melalui Kedatuan Sriwijaya, atau Kerajaan Sriwijaya.
Terimakasih sebesar-besarnya kepada I-Tsing, Biksu dari Tiongkok dimasa Dinasti Tang yang menuliskan beberapa catatan penting tentang kedatuan Sriwijaya.
I-Tsing merupakan biksu yang menempuh Pendidikan di Sriwijaya. Motivasi catatannya adalah untuk membetulkan praktek Buddha Mahayana yang keliru di Tiongkok. Untuk itu ia perlu menuntut ilmu ke Sriwijaya guna mendapat kebenaran praktis.
I-Tsing mencatat bahwa Sriwijaya adalah pusat Pendidikan ajaran Buddha. Bahkan dia merekomendasikan para biksu di Tiongkok untuk belajar ke Sriwijaya sebelum melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Nalanda, India.
Dapat disimpulkan bahwa Kedatuan Sriwijaya menaruh perhatian besar pada bidang Pendidikan. Investasi besar-besaran dibidang pendidikan selain menjadikannya pusat peradaban, juga melahirkan kepemimpinan yang berkelanjutan, hingga mampu bertahan lebih dari 4 abad.
I-Tsing yang pernah mengunjungi dan tinggal di Sriwijaya beberapa kali juga menginformasikan kepada kita bahwa adanya perpustakaan dan pusat penerjemahan di Sriwijaya.
Selain ajaran Buddha, kurikulum pendidikan juga mencakup ilmu pasti, sastra dan ilmu sosial. Sriwijaya juga memiliki pendidikan kejuruan dan keterampilan tekhnis seperti pertanian, pelayaran, pembuatan kapal, dan konstruksi bangunan.
Sriwijaya menciptakan saling hubungan dengan bangsa-bangsa kawasan Asia melalui perdagangan maritim. Letaknya yang strategis dan kaya akan komoditas rempah membuatnya menguasai jalur rempah di selat malaka dan perairan Cina selatan.
Dengan cara berdiplomasi, Sriwijaya memperkenalkan dirinya kepada dunia. Timur Tengah pun mengenalnya dengan nama Sribuza, sebagaimana Tiongkok mengenalnya dengan nama Silifoshi. Dari Kayu Gaharu, kapur barus, cendana hingga rempah membanjiri pasar-pasar di Timur Tengah, Asia Tenggara, India dan Tiongkok.
Sriwijaya Mampu Memengaruhi Indiap
Menurut catatan prasasti Nalanda, Raja Devapaladeva mengaku diminta Raja Balaputradewa (Sriwijaya) untuk menyiapkan sebidang lahan dan membangun asrama bagi mahasiswa yang berasal dari Sriwijaya.
Masih dari prasasti yang sama, menyebutkan bahwa Raja Balaputradewa membebaskan 5 desa di Calcuta, India dari beban pajak untuk keperluan pembangunan asrama tersebut.
Masa keemasan Sriwijaya dibuktikan dengan pembangunan candi Borobudur yang berlangsung selama tiga generasi, yang selesai dibangun di masa Raja Samaratungga, 825 M.
Dimasa lalu, Borobudur disinggahi para peziarah untuk meditasi, pemujaan dan perayaan Waisyak oleh penganut ajaran Budhha di Kawasan Asia. Borobudur adalah bukti berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, terutama matematika dan tekhnik konstruksi di Sriwijaya.
Warisan soft power Sriwijaya itu masih menjejak di Majapahit hingga era Mataram Islam.
Lalu bagaimana soft power bisa hadir dalam alam pikir masyarakat nusantara kuno hingga membawa mereka pada kejayaan?
Alam Pikir yang Membentuk Soft Power Nusantara Kuno
Dalam preambule UUD 1945 disebutkan bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Alinea pertama dalam pembukaan UUD 1945 menyimpulkan dengan baik alam kebatinan dan alam pikir masyarakat nusantara.
Masyarakat Nusantara kuno adalah masyarakat spiritual. Pandangan kosmologis masyarakat nusantara mengacu pada konsep keseimbangan, harmonisasi, dan penyatuan dengan alam. Mereka mempertanyakan asal usul kehidupan untuk mengenal dunia (semesta) dengan jalan spiritual untuk menemukan ketenangan batin dan menjadi satu kesatuan dengan semesta.
Mereka begitu dekat dengan hutan, gunung, sungai, lautan, bahkan menjadikannya sarana untuk berinteraksi dengan pencipta. Karena itu, mereka tak akan merusak alam, karena akan berarti juga merusak semesta. Inilah ciri dari filsafat timur, yang untuk Nusantara diwakilkan dengan istilah Manunggaling Kawula Gusti. Alam pikir tersebut menjadi dasar terbentuknya nilai-nilai (etik), sistem sosial, seni dan budaya pada masyarakat nusantara.
Alam pikir tersebut juga membentuk pandangan masyarakat terhadap waktu yang siklik, bukan linear, serta pentingnya keseimbangan (rwa bhineda) dalam kehidupan. Hal ini menjadi pondasi dalam lahirnya karya seni, sastra, hukum adat, dan struktur kerajaan yang bukan hanya berorientasi pada kekuasaan, tapi juga simbolisme spiritual dan keteraturan kosmik.
Sriwijaya dan Majapahit misalnya, sistem kekuasaan yang dibangun lebih mengacu pada konsep politik mandala (Mandala Polity), dimana kekuasaan melingkar, desentralisasi (Yuwaraja) yang menginduk pada kemaharaja-an. Konsep politik mandala lebih menekankan aspek pengaruh ketimbang penguasaan mutlak, atau seperti penguasaan tanah dan penduduk secara langsung seperti dalam kekuasaan raja-raja Eropa.
Maka dalam praktek perluasan pengaruhnya, Sriwijaya sebagai mandala utama akan berdiplomasi dengan kerajaan disekitar dan menawarkan bentuk aliansi kepada mereka, dimana Sriwijaya yang besar dan kuat menawarkan perlindungan kepada calon bawahannya (Yuwaraja).
Diplomasi tersebut bertujuan untuk memperluas pengaruh dan supremasi politik, serta akses pada jalur dagang yang lebih besar. Ini berbeda dengan tujuan ekonomi eksploitatif yang menjadi praktek penjajahan Eropa.
Dengan begitu, Nusantara kuno mampu membangun citra positif melalui pendidikan, perdagangan, serta kemaritiman yang berdampak pada perekonomian yang maju, yang mampu membuat Sriwijaya survive hingga lebih 4 abad, atau melampaui umur Amerika Serikat saat ini.
Masa Sekarang: Apa yang Harus Dilakukan?
Setelah bercermin dari masa lalu, kita tentu perlu melihat masa kini, dimana bangsa kita hanya menjadi pengikut (followers) bangsa lain. Ekonomi kita didikte oleh kekuatan asing karena ketergantungan akan hutang luar negeri.
Begitupun dibidang budaya, kita hanya menjadi pasar bagi industri budaya asing. Fenomena bendera Jolly Roger yang menghebohkan kita akhir-akhir ini adalah bukti bahwa bangsa kita hanya jadi followers dan konsumen produk budaya asing.
Berkaca pada Jepang setelah di bom atom oleh Amerika Serikat, yang menghancurkan dua kota utama mereka, Hirosima dan Nagasaki. Kaisar Hirohito menanyakan berapa guru yang tersisa. Jepang beruntung memiliki Kaisar yang memahami arti penting soft power.
Jepang berkonsentrasi pada Pendidikan, dan hasilnya adalah balas dendam terbaik dengan munculnya sebuah serial anime Astro Boy atau Atom Boy yang digemari oleh anak-anak di Amerika di era 1960-an.
Astro Boy adalah sang pembuka jalan bagi anime-anime lainnya di Amerika, serta sang pelopor bagi produk budaya Jepang lainnya seperti merchandise, kuliner, fashion, otomotif dan lain-lain.
Serial Astro Boy menghasilkan 2 Trilyun Yen atau 19 Milyar USD pada tahun 2019, atau hampir seperempat APBN kita ditahun 2024. Itu baru dari serialnya, bagaimana dari penjualan merchandise-nya? Ini baru satu manga, sedangkan di Jepang ada lebih ratusan ribu manga yang telah terbit. Inilah kekuatan soft power, yang mengubah ide cerita menjadi industri budaya yang mendatangkan profit, pembukaan lapangan kerja dan tentu saja pengaruh bagi bangsa lain.
Melalui serial anime yang di konsumsi masyarakat dunia, perlahan dunia mulai menikmati kuliner Jepang. Restoran-restoran Jepang mendunia, begitupun pariwisatanya. Manga bertransformasi menjadi serial dan film, lalu menjadi industri merchandise yang kesemua itu mendatangkan nilai lebih (surplus value) bagi perekonomian Jepang. Hal yang sama juga dilakukan Korea Selatan melalui K-Pop, drama serta fashion dan kulinernya.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi budaya yang besar. Keberagaman masyarakat telah menghadirkan banyak jenis seni tradisional, mitos-mitos, legenda, kuliner bahkan fashion dari keragaman etnik. Negara harus hadir dalam memajukan industri budaya, terutama dalam mendukung terciptanya habitat dan ekosistem pop culture sebagai fondasi soft power nusantara modern.
Kurangnya kepekaan pemerintah dalam melihat perkembangan pop culture dalam negeri adalah fenomena yang harus disikapi serius. Salah satu contoh dibidang musik misalnya, tahun 2020 ada sebuah grup music bergenre EDM Bernama Weird Genius merilis single Lathi yang mampu menembus 153 juta penonton. Lathi adalah perpaduan music elektronik barat yang diisi oleh harmoni gamelan Jawa.
Andai saja pemerintah peka, tentunya akan lahir Lathi-Lathi baru sebagai ekosistem musik nusantara yang mendunia.
Sebagai informasi, lagu Lathi berhasil menembus tangga lagu internasional seperti Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan hingga diputar di billboard iklan Kawasan Times Square New York, AS.
Masih dibidang musik, kita masih punya Agnez Mo, Rich Brian, NIKI, Stephanie Poetri, Putri Ariani bahkan VOB yang menunggu dukungan pemerintah.
Kurangnya dukungan infrastruktur seperti Pendidikan budaya dan strategi kebudayaan nasional membuat momentum soft power kita berlalu begitu saja.
Pemerintah harus mengambil Langkah investasi dibidang industri kreatif, pendidikan seni dan budaya, digitalisasi warisan budaya, kolaborasi seniman lokal, serta promosi global.
Pemerintah juga harus pro aktif dalam membangun narasi yang kuat melalui film, animasi, musik, literatur, dan platform digital — seperti yang dilakukan Korea dan Jepang.
Belum terlambat. Pemerintah harus memulainya dengan rumusan strategi kebudayaan nasional. Kebudayaan nusantara adalah aset strategis bangsa kita.
Pemerintah harus dengan jernih melihat ini sebagai investasi masa depan, untuk Indonesia emas 2045. Sudah saatnya sebagai bangsa yang besar, Indonesia harus mampu memanfaatkan warisan budaya untuk menciptakan soft power yang berdaya saing global.
—–
*Penulis Randy Tandjung, aktif di Komunitas Svaraya, Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sumatera Utara