Jumat, 4 Juli 2025

Mencari Air Minum Ke Laut

Oleh: Toga Tambunan *

KITA semua tentu sangat mengapresiasi upaya Tim PPHAM meneliti kasus yang gaungnya amat populer : pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia sebagaimana tertulis pada dokumen Lembaga Komnas HAM RI, sejak beberapa tahun lalu. Rumusan kasus itu menyebut phrase “pelanggaran” (sebatas etika/moral) dan bukan “kejahatan” (bermakna kriminal). Apakah diksi itu tepat benar yang akuntable atau tidak atau belum akuntable secara ilmiah? Merupakan ganjalan beban tertentu bagi seseorang pengidam pengejar rindu keadilan kebenaran atas fakta terjadi, meski hanya dipandang dari sisi perspektif hukum saja, saat sudah lama paska-fakta itu.

Dipimpin Ketua Tim (pelaksana) PPHAM, Prof. Makarim Wibisono, Tim PPHAM berkunjung ke pimpinan PGI, tanggal 27 Oktober 2022. Mencari masukan dari pangatasnama lembaga PGI. PGI secara eksplisit diketahui bukanlah korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Memang bisa juga sih termasuk korban HAM di masa lalu jika termasuk dalam katagori “korban tidak langsung” diluar posisi “korban langsung”.
Hendaknya Tim PPHAM tetaplah melek pada dan tidak menyimpang dari koridor ditetapkan Kepres 17/2022 itu mengurus jeli bertahap jitu tentang pihak korban & keluarganya langsung, yang memiliki hak sosial masing-masing keluarga bersangkutan. Terlebih lagi tenggang waktu tugas sangat mepet.
Kemanakah sebenarnya mencari apalagi meneliti air minum, apakah ke sumur dan bukan ke laut?

Merujuk pada Kepres 17/2022 itu, para korban terdiri dari beberapa kelompok, setidaknya 13 kelompok pelanggaran HAM berat masa lalu. Diantaranya sudah ada proses sidang pengadilan memvonnis pelaku. Lepas dari kualitas pengadilan itu. Dan tragedi yang belum digelar dalam pengadilan masih sangat banyak. Diantaranya tragedi terhadap kelompok yang disebut tragedi kemanusiaan 65.

Jumlah korban tragedi kemanusiaan 65 itu paling banyak, lebih ratusan ribu orang, kasusnya terjadi tersebar paling luas di seluruh wilayah Indonesia dan mengalami faktual penderitaan penyiksaan, pembunuhan, horor, teror terdahsyat setelah disekap di rutan maupun sebelumnya ketika masih di lingkungan penduduk dan demikian pula dialami keluarganya di lingkungannya.

Sungguh menolak dugaan jika ada prasangka menganggap sepi penderitaan dialami kelompok para korban kasus pelanggaraan HAM berat lainnya. Hanya membedakan jumlah korban, sebaran lokasi tragedi maupun tanggungan siksa dialami korban & keluarga.

Sungguh patut layak Tim PPHAM, bertanya atau mencari tahu riil yang dialami mereka dan kini apa kemauan mereka yang terutama, utama dan yang tidak utama tentang hak-haknya, sehubungan hidup lanjutan pribadi & keluarga dan nasional ke masa depannya.

Segi waktu kekinian dan ke masa depan diri mereka salah satu faktor urgen diperhitungkan.

Tahukah Tim PPHAM, para Pengarah dan Pelaksana, kondisi umum terbesar para korban tragedi kemanusiaan 65 itu, selama paling minim k.l 42 tahun selaku penyintas?

Tahukah Tim PPHAM istilah Inrehab (Instalasi Rehabilitasi, contohnya Inrehab Sabohor di Kalsel, maupun semisal Inrehab Namlea di Pulau Buru, adalah istilah yang dilabur margarine untuk menipu dunia perihal sebenarnya tempat itu kamp kerja paksa telah membentuk kepribadian perkasa mereka?

Di sekolah rezim otoriter orba Soeharto itu para terciduk dikriminilisasi selaku peserta/pendukung seratus prosen G30S, maupun keluarganya yang tidak turut diciduk dan melarat di lingkungan sosial telah tergodok tahan siksa, tahan bantingan, tahan diperas tenaga kerja dan dijarah materi.

Justru penderitaan tersiksa berat berkepanjangan bahkan berpuluh tahun itulah membekalkan ketangguhan, kearifan dan semangat mengatasi kemiskinan maupun segala macam kesemerautan hidup, seketika para korban jadi penyintas 65. Mereka bukan pemikir letoi dan pemalas.

Tahukah Tim PPHAM kini mereka, para penyintas 65 hampir semuanya hidup berkondisi ekonomi cukupan. Bahkan sejahtera. Malah tidak sedikit jadi sungguh orang kaya raya halal, pengusaha, kontraktor, bankir peringkat atas. Di sektor seni budaya, namanya tenar di panggung tingkat atas. Mereka itu memulai dari hidup terlantar pindah dari emper toko/gedung, bantar sugai, pemulung, kuli.

Memang tidak bisa dinafikan, sejumlah persentasi kecil diantara penyintas 65 itu hidupnya masih merana. Itupun yang umumnya penyintas 65, yang keluar dari kamp telah menyandang cacad berat fisik dan gradasi mental akibat dipukuli saat interogasi. Tentu penyintas 65 bersangkutan tercekal mengimprovisasi hidupnya.

Pendirian para penyintas 65 seluruhnya yang telah kaya raya maupun yang masih hidup merana, pada dasarnya serupa yakni berprinsip mengutamakan tindakan peniadaan permusuhan antar warga negara sekalipun berbeda etnis, ras, agama, keyakinan maupun sikap politiknya, dengan mengidamkan kerukunan nasional. Prinsip hidup moral mereka selain menyusun kehidupan privat sejahtera, juga merakit kerukunan nasional Indonesia berbasis Pancasila dan UUD 45.

Tiap orang awam, apalagi terpelajar peringkat tinggi personal Tim PPHAM itu tahu mekanisme jiwa perseorangan maupun massa tentang terbentuknya niat dalam diri perseorangan atau massa selalu terbentuk oleh perbuatan sebelumnya yang berhasil serta tidak pernah disalahkan akan bergelora dilakukan. Artinya potensil terjadi berulang. Itu mekanisme pasti dikandung jiwa siapa pun.

Seseorang berhasil mencuri dan tidak pernah disalahkan, dia potensil berbuat lagi, tunggu saatnya saja, aksi pencurian lebih hebat.

Bukankah terbukti tentang hoaks yang tak pernah disalahkan karena pengadilan macet, di masa Hatta memerintah tahun 1948 berulang terjadi dengan hoaks (misal atas jasad jendral terbunuh di Lubang Buaya) oleh Soeharto pada awal November 1965 dan diteriakkan berulang kali oleh korannya secara sepihak, karena koran lain telah dibreidel terbit.

Demikian pula hal tragedi kemanusiaan 65 yang terjadi oleh rezim Soeharto selama belum ada pengadilan atau putusan hukum jenis apapun atasnya, maka partisan semula atau keturunannya berpikir sama, pasti berpotensi mengulangi kembali aksi tersebut dengan kejahatan berlipat ganda. Dengan kondisi demikian, selamanya Indonesia sedang terancam adanya tragedi genosida lebih jahat dari tragedi 65 atas kemanusiaan di Indonesia. Dengan kata lain kini Indonesia sedang tersandera tragedi kemanusiaan 65 yang sewaktu-waktu bisa terjadi lebih brutal. Para personal Tim PPHAM ini terpelajar tingkat tinggi / tertinggi ini apakah menyadarinya?

Maka tahukah Tim PPHAM bahwa para penyintas 65 itu, menginginkan urgensi kerukunan nasional bangsa Indonesia terlebih penting dibanding iming-iming terima materi produk non-yudiasial itu.
Bukan berarti menolak materi produk non-yudiasal yang diinisiasi dan akan diprogram sesuai isi Kepres 17/2022 itu.

Kami korban / penyinyas 65 berhak menerima haknya yang diiming-iming dalam isi Kepres 17/2022, meski kini sudah hidup kaya raya sejahtera. Apalagi bagi yang hidupnya masih melarat. Namun terserah sikap personal, mengambilnya atau tidak jika kebenaran tragedi dialaminya belum terungkap, atau tidak ada jaminan pasti digelar buka ungkap tragedi itu dari pemerintah.

Jika ada kepastian pengungkapan tuntas secara yudisial tragedi kemanusiaan 65 itu, sekalipun dilakukan setelah proses non-yudisial kami korban/penyintas 65 sudah pasti semarak menyambut Kepres 17/2022 ini, sekalipun skeptis berhubung ada personilnya yang dahulu, entah sampai sekarang, bersikap memupuk terus (potensi) permusuhan atau kondisi intoleran terhadap penyelesaian tuntas yudisial maupun sikapnya dingin atas non judisial kasus tragedi kemanusiaan 65 tersebut.

Korban / penyintas tragedi kemanusiaan 65 merupakan sumber prima informasi tentang tragedi kemanusiaan 65 tersebut, selain pelakunya yakni rezim otoriter Soeharto yang terdiri dari aparatnya yang turut perintah atasannya atau bertindak murni kesadarannya.

Terkait kunjungan Tim (pelaksana) PPHAM ke pimpinan PGI itu, mencari masukan, kenapa Tim (pelaksana) PPHAM tidak mencari tahu dari para korban itu sendiri yang dapat diwakili oleh beberapa diantara mereka atau LSM yang berafiliasi dengan mereka?

Apakah benar Tim (pelaksana) PPHAM itu tidak mau bertemu pihak korban, sebagaimana selintingan tersebar diluar, oleh LSM tertentu yang sudah menyarankannya?

Hendaknya Tim PPHAM tersebut akan tepat, benar dan cepat dapat menyusun solusi jika menomorsatukan bergaul dengan para korban / penyintas yang hidup kini berkondisi dan berpikir perasaan bukan seperti masa lalu.

* Penulis, Toga Tambunan adalah seorang penyintas Kejahatan HAM berat 1965

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru