Oleh: Dominggus Oktavianus Tobu Kiik *
DEMOKRASI, menurut Bung Karno serta Tokoh-tokoh Pendiri Republik Indonesia lainnya, tidak hanya soal partisipasi politik melainkan juga keterlibatan rakyat dalam bidang ekonomi.
APartisipasi politik dapat tercermin lewat berbagai jenis kebebasan yang dinikmati sekarang, seperti pemilu, kebebasan pers, serta kebebasan berkumpul, berbicara dan menyampaikan pendapat di muka umum.
Kebebasan ini relatif sudah dipenuhi sejak tahun 1998, sebagai hasil perjuangan rakyat (termasuk mahasiswa), serta didorong oleh momentum menguatnya liberalisme di dunia pasca runtuhnya Blok Timur (1991).
Tapi kebebasan politik ini hanya ilusi ketika perekonomian tetap dikontrol oleh sedikit lapisan elit. Seorang buruh kembali ke pabrik atau seorang petani kembali ke ladang setelah mencoblos surat suara.
Sementara kaum yang mempunyai kekuatan ekonomi tetap mengendalikan jalannya proses politik.
Kerangka Ekonomi
Lantas, bagaimana keterlibatan rakyat di bidang ekonomi? Untuk mengetahuinya, terlebih dahulu kita perlu membuka konteks yang dihadapi. Situasi ekonomi menyajikan persoalan pokok dalam bentuk kapitalisme dengan sisa-sisa praktik neoliberalismenya.
Kapitalisme neoliberal adalah sistem ekonomi-politik berbasiskan akumulasi kapital tanpa batas (bebas) melalui eksploitasi yang dilindungi oleh negara melalui instrumen-instrumennya.
Sistem ini melahirkan serta melestarikan kesenjangan, ketidakadilan sosial, perusakan lingkungan, kekerasan, dan kemerosotan budaya.
Presiden Prabowo Subianto berulangkali menegaskan bahwa sistem kapitalisme-neoliberal harus dikoreksi. Sistem inilah yang melahirkan “serakahnomics”, ekonomi berdasarkan keserakahan, nirempati, dalam pikiran dan perbuatan. Sistem ini menstimulus orang untuk berperilaku konsumeris hingga menjadi korup dan tak pernah merasa cukup.
Hal yang harus disadari adalah bahwa mengubah sistem ini tidak mudah. Secara politik kita harus berhadapan dengan pihak-pihak yang sudah nyaman menikmati ketidakadilan tersebut. Mereka adalah kapitalis neoliberal (kaum imperialis) dengan kaki tangannya, segelintir oligarki yang memonopoli perekonomian nasional, dan para koruptor di dalam maupun luar pemerintahan. Mereka terorganisir rapi dan masih menguasai sebagian besar instrumen dalam sistem ini; mulai dari partai politik, oknum-oknum aparat, oknum-oknum birokrat, korporasi, bahkan oknum-oknum intelektual di dunia akademis, hingga oknum-oknum pelaku media massa (termasuk influencer media sosial).
Selain hambatan politik, perubahan ini juga menghadapi tantangan teknis. Dibutuhkan pengetahuan yang memadai untuk merancang dan menyusun tatanan alternatif yang lebih adil. Pengetahuan ini bisa dengan mengambil referensi dari keberhasilan negara lain, atau yang lebih penting, dengan mengambil pengalaman sejarah bangsa sendiri.
Kita menghadapi pertanyaan-pertanyaan besar seperti: Bagaimana membuat peraturan yang membatasi penguasaan ekonomi oleh segelintir orang? Bagaimana membuat perubahan struktur ekonomi yang dapat menghapus kemiskinan secara permanen? Bagaimana mengatur alokasi pembiayaan untuk program-program pro rakyat? Bagaimana mengatasi persoalan budaya ketika pola pikir individualisme dan liberalisme sudah menguasai ruang-ruang publik?
Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang perlu dijawab. Tapi perubahan-perubahan sedang dilakukan. Pernyataan ini bukan sikap denial terhadap kenyataan-kenyataan lain terkait kesenjangan sosial dan belum tuntasnya persoalan korupsi, melainkan agar kita dapat melihat titik-titik terang dalam kegelapan yang diciptakan kapitalisme neoliberal selama puluhan tahun. Agar kita tidak menjadi ahistoris dengan menimpakan seluruh kesalahan hanya pada pemerintahan sekarang yang belum satu tahun berjalan.
Tawaran Pemerintahan Prabowo Subianto
Perubahan sistem itulah yang ditawarkan Prabowo kepada bangsa ini dan sedang dilaksanakan tahap demi tahap, unsur demi unsur, dan bidang demi bidang.
Beberapa konsepsi besar telah diutarakan, seperti landasan Pasal 33 UUD 1945 serta ekonomi Pancasila—yang disebutnya sebagai gabungan esensi terbaik dari sosialisme dan kapitalisme.
Dalam bentuk yang aplikatif, tawaran tersebut dapat dilihat pada program-program ekonomi pro rakyat, seperti swasembada pangan, hilirisasi, Makan Bergizi Gratis, Koperasi Merah Putih, Sekolah Rakyat, pemeriksaan kesehatan (medical check up) gratis, pengambilan aset, dan lain-lain. Tentu masih banyak program yang dinilai kurang, belum dilakukan sama sekali, atau bahkan belum terpikirkan. Penulis pun yakin Pak Prabowo mengetahui hal itu dengan baik.
Apabila tawaran-tawaran dalam bentuk program ini dapat dikoordinasikan secara baik antar kementerian dan lembaga pemerintahan, serta dikomunikasikan secara jelas kepada rakyat maka peluang keberhasilannya akan semakin terbuka.
Misalnya, dalam konteks MBG, rakyat dapat dilibatkan dengan mendukung peningkatan produktivitasnya di sektor pertanian untuk memasok bahan baku pangan ke dapur-dapur MBG. Hal ini sudah terjadi di beberapa tempat, tapi belum menjadi pola pikir penyelenggara kebijakan secara umum.
Demikian juga dalam program Koperasi Desa Merah Putih, keterlibatan rakyat akan lebih bermakna apabila orientasinya untuk meningkatkan produktivitas rakyat melalui dukungan modal, teknologi dan manajemen yang menunjang kemajuan usaha. Koperasi harus bisa berperan meningkatkan produktivitas petani, menyerap hasil pertanian, dan bersinergi dengan unit usaha kecil desa untuk mendistribusikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Lebih jauh lagi, koperasi juga dapat berperan mengolah hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan kelautan menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Artinya, program hilirisasi dapat dilaksanakan pada sektor-sektor yang lebih luas (tidak hanya pertambangan) dengan keterlibatan masyarakat.
Tantangan-tantangan
Dalam hal pelaksanaan program dengan keterlibatan rakyat, terdapat banyak tantangan yang harus diatasi. Di sini penulis mencatat sedikitnya tiga persoalan utama.
Pertama, masih ada kesenjangan informasi dan pemahaman terkait program-program di atas. Seluruh pemimpin dan aparatur pemerintahan seyogyanya memahami dan mengkomunikasikan program-program ini kepada masyarakat luas. Harus ada perubahan mindset bahwa program-program ini sejatinya milik rakyat sehingga tidak menjadi hidangan khusus bagi segelintir kaum pemburu rente. Informasi yang lengkap juga membuat program-program ini semakin transparan sehingga dapat dikawal oleh masyarakat.
Kedua, pemerintah harus berpikir keras terkait sumber pembiayaan program di tengah keterbatasan ruang fiskal.
Upaya untuk melibatkan Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) dalam pembiayaan program Koperasi Desa Merah Putih harus melampaui peran penyalur dana dari pemerintah. Bank-bank sendiri harus memiliki likuiditas yang cukup membiayai program-program ini dalam skala besar. Karena itu pemerintah membutuhkan pemikiran-pemikiran ekonomi alternatif (yang bukan neoliberal) untuk memecahkan masalah keuangan.
Ketiga, partisipasi rakyat berhubungan dengan persoalan pengorganisasian ke dalam wadah-wadah ekonomi. Koperasi adalah wadah yang paling sesuai untuk pengorganisasian tersebut. Perubahan mindset dan konsepsi terkait koperasi dibutuhkan untuk menumbuhkann kesadaran baru sehingga agenda ini dapat menjadi gerakan rakyat.
Hubungan antara negara dan rakyat bukanlah hubungan antara dua entitas yang berbeda; seolah negara menjadi pemberi aktif dan rakyat menjadi penerima pasif. Hubungan keduanya harus organik dengan cita-cita bersama yang pencapaiannya harus dikerjakan bersama-sama.
*Penulis Dominggus Oktavianus Tobu Kiik, Eks Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran. Anggota Majelis Rakyat Adil Makmur Partai PRIMA