Kamis, 21 Agustus 2025

Mengapa Wirausaha Sulit Berkembang? (Bagian 1)

Pelatihan kewirausahaa industri kecil menengah di Batam, Provinsi Kepulauan Riau, November 2019. (Ist)

Sumber Daya Manusia adalah kata kunci, keberhasilan Indonesia yang harus bisa dibangun selama 5 tahun kedepan. Dibutuhkan kerjasama yang kuat antara pemerintah, pelaku bisnis dan pendidik untuk mempercepat peningkatan kualitas manusia, khususnya dalam wirausaha. Ada banyak lembaga atau balai pelatihan yang sudah lahir sebelumnya dalam 10 tahun terakhir, namun tidak ada peningkatan kualitas Sumberdaya Manusia Indonesia. BPS bahkan menyatakan bahwa jumlah sarjana di negeri ini hanya 5,3 % yang mendiri menjadi pengusaha, sementara 83,1 % sarjana S-1 adalah menjadi karyawan Bergelora.com memuat tulisan pertama dari lima seri tulisan A. Khoerussalim Ikhs., Direktur LP Entrepreneur College menyorotinya. (Redaksi)

Oleh: A. Khoerussalim Ikhs.

KINI, pelatihan kewirausahaan sangat digencarkan oleh pemerintah RI, baik pemerintah pusat hingga ke pemerintah daerah. Banyak juga lembaga-lembaga pemerintah, BUMN, swasta dan LSM yang juga mengembangkan program yang serupa, baik secara gratisan, berbayar maupun dibiayai oleh angaran-anggaran APBN,APBD,CSR maupun dana pribadi perorangan yang intens dan perhatian dengan program kewirausahaan ini. Eforia pelatihan kewirausahaan mewujud ke berbagai model dan atau bentuk seperti seminar, diskusi, workshop, bussiness meeting, studi banding, kunjungan lapangan, dll.

Eforia kewirausahaan sangat terasa sejak negeri ini mengalami krisis moneter tahun tahun 1998-an. Sejak awal era reformasi itulah orang baru tersadarkan betapa ternyata pelaku UMKM mampu menjadi penyelamat negeri ini. Pelaku bisnis UMKM kita mampu melewati krisis ini dengan menggembirakan. Ternyata mereka tangguh dan sangat elastis, akomodatif dan sangat dinamis dengan situasi jaman  di saat-saat sulit itu.

Begitu krisis moneter tiba saat itu, banyak sekali bisnis konglomerasi yang tumbang dan mem-PHK karyawannya. Pengangguran meningkat tajam, kemiskinan semakin banyak dan kesulitan ekonomi rakyatpun tak terelakkan. Krisis meraja lela dan kesulitan hidup masyarakat kian  berkepanjangan hingga pengaruhnya beberapa orang di negeri ini masih merasakan itu hingga saat ini.

Dua dasa warsa terakhir telah banyak program pelatihan kewirausahaan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, namun disaat itu pula ternyata kita masih belum menyaksikan revolusi jumlah pengusaha di negeri ini.

A.Khoerussalim Ikhs. Direktur dan Tim Instruktur LP Entreprenuer College sedang kunjungan bisnis ke PT. Vitechindo Perkasa milik Fitrianto, alumni pelatihan kelas SuperCamp Angkatan ke 7 tahun 2010. (Ist)

Berbagai data seperti Kementerian Koperasi dan UMKM  RI dan BPS menyatakan bahwa jumlah pengusaha nasional masih sangat minim, sekitar 1,56 % dari jumlah penduduk usia produktif di negeri ini. BPS bahkan menyatakan bahwa jumlah sarjana di negeri ini hanya 5,3 % yang mendiri menjadi pengusaha, sementara 83,1 % sarjana S-1 adalah menjadi karyawan. Ini artinya semakin tinggi pendidikan seseorang di negeri ini hanya akan menjadi karyawan, buruh dan kuli.

Alumni Diploma rata-rata 88,8 % itu menjadi karyawan. Mereka yang menjadi pengusaha terbanyak dari mereka yang berpendidikan terbatas, yakni alumni SD 22 % dan tamat SMP 20 %. Ini artinya mereka yang saat ini menjadi pengusaha maka yang terbanyak adalah dengan kapasitas pendidikan rendah dan terbatas, sementara kaum terdidik, pintar dan sarjana maka mereka asyik menjadi karyawan, kuli, buruh dan membesarkan bisnis orang lain (bahkan bisnis orang asing).

LPEC didirikan oleh praktisi bisnis, alumni Fakultas Filsafat UGM dan Fakultas Syariah UIN Jogjakarta. Mentornya para pelaku bisnis yang inspiratif dan memberikan motivasi sehingga memberikan gairah untuk terus berkarya dan berinovasi lewat eksplorasi bisnis-bisninya. Pengalaman para pengusaha yang telah jatuh bangun dalam merintis usahanya tentu bisa menjadi guru yang inspiratif buat memotivasi para pelaku bisnis di lembaga ini.

Sejak kelahirannya 24 September 2007 hingga kini LPEC terlibat aktif menggelar berbagai pelatihan kewirausahaan, seminar, diskusi, workshop, bazar, dan lainnya. Dua belas tahun lebih kita ikut aktif pelatihan-pelatihan kewirausahaan yang diinisiasi oleh pemerintah, seperti Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Sosial, Kementerian Perdagangan dan Industri, Kementerian Pemuda dan Olah Raga, dan berbagai BUMN , dan perusahaan swasta lewat program CSR-nya. Apa yang terjadi pada pelatihan kewirausahaan itu? Yang pasti secara kuantitatif sudah ribuan orang  sudah kita latih. Namun sayangnya secara kuantitatif masih banyak kelemahannya.

Banyak Seremonial

Diantara kelemahan-kelemahan pelatihan kewirausahaan yang selama ini ada antara lain pelatihan kewirausahaan itu lebih banyak serimonialnya dari pada tuntutan mencapai kualitas pelatihan yang semestinya.

Pelatihan itu lebih banyak karena tuntutan si penyelenggara untuk memenuhi laporan pertanggung jawaban administratif seperti LPJK (Laporan Pertanggungjawaban Kegiatan). Yang penting acara terselenggara, ada bukti foto-foto kegiatannya, ada berita acara dan absensi kehadiran peserta dan didukung berbagai dokumen adminsitarasi lainnya, sehingga acara itu sudah terlaksana “dengan baik”.

Walaupun pagu acara 5 hari namun hanya terselenggara 3 atau 2 hari itu tidak penting lagi bagi penyelenggara. Acara yang semestinya 3 hari namun dilaksanakan satu hari itu juga tidak apa-apa. Yang didatangkan menjadi pembicara pun juga terkadang tidak berkompeten di bidang kewirausahaan, namun itu juga sudah tidak penting lagi. Yang penting tidak ada protes dan ramai-ramai yang menggugat acara tersebut.

Pelatihan itu berkualitas atau tidak, bukanlah menjadi urusan penting bagi para pejabat pemerintahan itu. Apakah peserta yang dilatih menjadi pengusaha atau tidak, itu juga tidak penting lagi, karena tidak ada tool atau alat dan atau cara untuk memantau mereka yang sudah ikut pelatihan itu apakah mereka benar-benar menerapkan ilmu bisnis yang dilatih atau tidak. Peserta pelatihan bangkrut atau eksis setelah beberapa bulan ikut pelatihan tidaklah dievaluasi atau dipantau sebagaimana yang seharusnya.

Secara substansi rakyat yang menjadi peserta pelatihan itu tidak berubah lebih maju itupun tidak merasa berdosa bagi para pejabat pemerintahan itu. Yang penting pagu anggran dengan selesainya acara terebut sudah bisa turun dan tahun depan dibuatkan lagi program yang sama. Begitu berulang-ulang dari waktu ke waktu, dari tahun ke tahun, tidak ada yang berubah secara substantif. Metodenya sama, materinya sama, caranya juga sama. Maka itu hasilnya sangat minim secara kualitataif. Maka itu kini tidak heran ada beberapa orang yang “enggan” mengikuti pelatihan itu  kecuali sekedar motif untuk memperoleh uang transpor, dari pada dirumah, sekedar ngisi waktu kosong, atau sekedar rekreasi atau keluardari rutinitas yang menjenuhkan.

Sungguh ini hal yang sangat ironi mengingat dana yang dikerahkan selama sangatlah besar namun hasilnya sangat minimalis.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru