Minggu, 14 Desember 2025

Mengatasi Silangsengkarut BPJS

Aksi buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN ) di Jakarta, Rabu (2/10). (Ist)

Kehidupan kaum buruh semakin dibebani oleh BPJS (Badan Pelayanan Jaminan Sosial). Untuk itu tidaklah mungkin meningkatkan Sumberdaya Manusia Indonesia jika tidak segera diatasi. Maka tidak akan ada kemajuan pembangunan dan produksi seperti yang dicita-citakan Presiden Joko Widodo. Djoko Heriyono, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Nasional (DPP-SPN) menuliskannya untuk pembaca Bergelora.com (Redaksi)

Oleh: Djoko Heriyono

JAMINAN sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Maka kelayakannya adalah adanya suatu kepastian kepada rakyat khusus pekerja, buruh, karyawan, pegawai dan keluarganya jika  sakit, kecelakaan kerja, memasuki hari tua pensiun dan meninggal dunia dipastikan mendapatkan pelayanan kesehatan dan santunan berupa uang tunai. 

Dengan demikian jaminan sosial yang dimaksudkan  dapat mempertahankan derajat kehidupan pekerja dan keluarganya tetap dapat hidup layak. Sebagaimana yang diperintahkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan kerja. Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang  Kesehatan.

Namun saat ini, hak jaminan sosial tenagakerja itu dirampas oleh Undang Undang Nomor 40 tahun 2004 Tentang SJSN dan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS yang mensyaratkan ketentuan wajib daftar kepeserta dan lunas membayar iuran bagi pekerja/buruh dan keluarganya untuk mendapatkan pelayanan jaminan sosial tenagakerja.

Dalam praktiknya pekerja/buruh dan keluarganya kehilangan haknya. Jika menunggak iuran peserta maka tidak mendapatkan pelayanan haknya. Ini tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang SJSN, Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.

Semestinya dengan status setiap orang wajib menjadi peserta maka untuk memberikan rasa keadilan bagi rakyat pekerja tanpa terdaftar dan alasan lunas iuran dapat dipastikan  mendapat pelayanan manfaat program jaminan sosial gratis. Karena iuran pekerja adalah kewajiban pemberi kerja. Jika terjadi tunggakan iuran, telah ada mekanisme penagihan dan sanksinya dendanya setiap bulan berjalan oleh BPJS bagi pemberi kerja yang melanggar pendaftaran kepesertaan dan menunggak iuran buruh yangyg dipekerjanya.

Pasal Maut

Pasal maut diatas menyebabkan hak Jaminan Sosial Tenagakerja (Jamsostek) yang dulunya dimiliki buruh menjadi disclaimer oleh Undang-Undang SJSN Pasal 20 ayat (1) Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah

Manipulasi juga dilakukan Undang-Undang SJSN pada Pasal 21 ayat (1) Kepesertaan jaminan kesehatan tetap berlaku paling lama 6 (enam) bulan sejak seorang peserta mengalami pemutusan hubungan kerja. Ayat (2) Dalam hal peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 6 (enam) bulan belum memperoleh pekerjaan dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh Pemerintah. Ayat (3) Peserta yang mengalami cacat total tetap dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh Pemerintah.

Tidak satupun dari pasal diatas yang dipenuhi. Sebaliknya, semua persoalan yang dialami buruh saat kehilangan haknya dirampas oleh Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS tidak bisa dibawa  dalam sengketa Pengadilan Hubungan Industrial.

Pemalakan pada rakyat dibuat berhutang seumur hidupnya wajib bayar iuran BPJS namun belum jelas apakah akan mendapatkan pelayanan yang dijanjikan. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang SJSN Pasal 17 (1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.

Pada pasal 17 (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.

Kenaikan iuran disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi/inflasi. Maka jika iuran tersebut berdasarkan prosentasi, iuran naik secara otomatis. Seperti yang dicantumkan dalam pasal 17 (3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.

Bukan hanya itu, pada Pasal 28 (1) Pekerja yang memiliki anggota keluarga lebih dari 5 (lima) orang dan ingin mengikutsertakan anggota keluarga yang lain wajib membayar tambahan iuran.

Pasal 1 angka 9 Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau anggota keluarganya. Janjinya, buruh dan keluarga akan mendapatkan Jaminan Kesehatan (JK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Kematian. Dalam prakteknya semua itu tidak bisa diklaim (disclaimer) oleh buruh. Karena tidak bisa diterima dan dinikmati jika pemberi kerja tidak mendaftarkan pekerjanya dan menunggak iurannya.

Pemerintah Lepas Tangan

Pemerintah berlepas tangan atas tanggung jawab kesehatan rakyatnya dan menyerahkannya pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Namun untuk mendapatkan haknya diatur dalam Pasal 20 (1) Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. (2) Anggota keluarga peserta berhak menerima manfaat jaminan kesehatan. (3) Setiap peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain yang menjadi tanggungannya dengan penambahan iuran.

 

Pada kaum buruh diatur dalam Undang-Undang SJSN pada Pasal 21 ayat (1) Kepesertaan jaminan kesehatan tetap berlaku paling lama 6 (enam) bulan sejak seorang peserta mengalami pemutusan hubungan kerja. Ayat (2) Dalam hal peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 6 (enam) bulan belum memperoleh pekerjaan dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh Pemerintah. Ayat (3) Peserta yang mengalami cacat total tetap dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh Pemerintah.

 

Padahal,—bandingkan pertentangan Undang-Undang diatas dengan Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 166 (1) Majikan atau pengusaha wajib menjamin kesehatan pekerja melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja. (2) Majikan atau pengusaha menanggung biaya atas gangguan kesehatan akibat kerja yang diderita oleh pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Pemerintah memberikan dorongan dan bantuan untuk perlindungan pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Hal diatas lebih rinci lagi ditegaskan dalam Undang-Undang Kesehatan Pasal 171 (1) Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji. (2)  Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. (3)  Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pada Pasal 172 (1)   Alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat (3) ditujukan untuk pelayanan kesehatan di bidang pelayanan publik, terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar.

Belum lagi, sesungguhnya jaminan sosial didanai oleh pemerintah dan pemberikerja yaitu APBN 5% pertahun, APBD Provinsi 10%, APBD Kabupaten/Kota 10% dan Pemberi Kerja 14,7% dari upah setiap pekerja  setiap bulan, dengan populasi pekerja yang bekerja pada majikan sebanyak 58 jutaan orang pekerja.

Mengatasi Silangsengkarut

Untuk mengatasi berbagai silangsengkarut maka, Direksi BPJS harus segera menghapus syarat ketentuan bagi pekerja dan keluarganya dalam mendapatkan manfaat jaminan sosial tenagakerja. Cukup hanya dengan surat keterangan (SUKET) dari perusahaan/Disnaker sebagai bukti masih adanya hubungan kerja, menunjukkan bukti masih menjadi pekerja dan surat berita acara (SUBER) dari Disnaker dalam hal mendapatkan Jaminan Kecelakaan kerja (JKK), Jaminan Kematian dan PHK Pensiun. Karena kewajiban mendaftarkan dan membayar iuran adalah kewajiban pemberikerja.

Segera  revisi Peraturan Presiden dengan meniadakan syarat terdaftar sebagai peserta dan lunas membayar iuran bagi pekerja dan keluarganya. Untuk mendapatkan pelayanan dan manfaat Jaminan sosial tenagakerja cukup hanya dengan surat keterangan (SUKET) atau surat berita acara (SUBER) dari pemberi kerja atau Disnaker setempat.

Segera revisi Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN dan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS untuk menghapus syarat dan ketentuan bagi pekerja dan keluarganya untuk mendapatkan pelayanan dan manfaat Jaminan sosial tenagakerja,–sampai berlanjut dengan pekerja buruh berstatus pensiun.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru