JAKARTA- Lombard mungkin tak menyadari bahwa penelitiannya tentang sejarah pabrik gula di Jawa zaman pemerintahan kolonial abad ke-17 dan 18 akan menjadi kisah menyedihkan hari ini.
Jutaan orang yang bergantung pada usaha gula kini menghadapi perjuangan yang sangat rumit: petani tebu mulai beralih menanam ketela dan tanaman palawija lain, karena harga panennya yang terus terpuruk; produsen gula tumbu selalu dipermainkan tengkulak, karena tak mengembangkan diversifikasi produk lain kecuali hanya untuk bahan kecap; puluhan pabrik gula di bawah PTPN dengan kapasitas 3.000 ton perhari dimatikan, karena dianggap tidak ekonomis.
Yang tak kalah dramatis, pengonsumsinya diganjar sakit gula terutama diabetes militus (DM), karena unsur sukrose kristal yang ganas terhadap kerja pankreas. Melihat keterpurukan itu, gula yang legit rasanya mulai kehilangan aura manisnya.
Pemerintah tak tinggal diam. Ia melakukan dua langkah penting: impor gula mentah rafinasi sebesar lebih dari dua pertiga kebutuhan nasional, dan rencana pengenaan cukai bagi makanan dan minuman berpemanis.
Langkah ini penting untuk pemerintah, tetapi tidak bagi petani dan pengusaha gula. Ia tak mengubah apapun kecuali mengatasi kondisi darurat. Seperti kita tahu, kebutuhan gula nasional setiap tahun mencapai 6,5 juta ton, sedang produksi gula nasional hanya 2,1 ton. Menyisakan lubang kebutuhan menganga yang hanya bisa ditutup dengan impor gula 4,4 juta ton pertahun.
Akan halnya penderita diabetes di Indonesia yang kini menduduki posisi ke-4 terbesar dunia setelah India, China dan Amerika, rasanya masih sulit berhenti mengonsumsi gula kristal meski nanti dikenai cukai.
Bandingkan data-data berikut ini: saat wilayah Hindia Belanda dikuasai VOC abad ke-17 dan 18, produksi gula mengalami surplus bahkan menjadi pengekspor kedua terbesar dunia setelah Kuba. Keadaan berbalik setelah tiga abad berlalu. Kini Indonesia importir terbesar pertama dunia disusul China dan Amerika. Pabrik gula yang dulu tercatat sekitar ratusan unit dari kapasitas produksi menengah hingga besar, kini tersisa tinggal 40-an unit.
Catatan Lombard
Saya mulai tertarik memerhatikan pabrik gula tumbu (gula jawa dari tebu) setelah membaca laporan Denys Lombard yang dibukukan dalam “Nusa Jawa: Silang Budaya” edisi kedua Gramedia. Buku ini diterjemahkan dari hasil risetnya: “Le Carrefour Javanais, Essai d’histoire globale” (1990). Begitu penting masyarakat Indonesia membaca hasil penelitian ini sampai terjemahan versi bahasa Indonesia didahulukan terbit daripada bahasa Prancis dan Inggris.
Lombard membuat gambaran sangat lengkap ketika menulis sejarah gula di Jawa periode abad ke-17 dan 18. Ia banyak mengutip laporan juru ukur Jan Haymoon juga Aridries yang diterbitkan Bataviaasch Genootschap. Atas esai Lombard yang detail itu kita tahu bahwa bangsa Tionghoa lah dan bukan Belanda yang pertama mengajari cara membuat gula dan budi daya padi kepada masyarakat pribumi.
Lombard lahir di Marseille, Prancis, 4 Februari 1938, dan meninggal di Paris, 8 Januari 1998, di usia 60 tahun. Mendekam dalam dingin yang sarat di kabin pesawat selama 17-23 jam menyusuri jarak 11.578 km Paris-Jakarta, tak membuat ahli sejarah yang menguasai banyak bahasa, ini surut datang ke Indonesia.
Di seputar tahun saya lahir Lombard menginjakkan kaki pertama kali di Indonesia kurun 1966 hingga 1969. Ia meneliti negeri ini dan sepanjang 30 tahun setelah itu. Meneliti jejak historiografis tak hanya Indonesia, juga Cina, Khmer, Thailand dan beberapa negara di Asia Tengah. Membuat ia menguasai dengan baik bahasa negara-negara itu juga bahasa Indonesia. Oleh perhatiannya pada Asia, ia dikenal ahli sejarah Asia.
Inovasi dan Diversifikasi
Tak ada catatan signifikan tentang pengembangan teknologi pengolahan gula, baik dari bahan tebu, nira maupun aren sejak Lombard. Sampai datang berita orang muda yang bukan ahli kimia, tetapi mesin, mantan General Manager bidang engeenering di PT Pura Barutama Kudus, menemukan berbagai diversifikasi produk gula dalam bentuk liquid yang steady.
Bentuk ini tidak saja berpeluang meningkatkan produksi gula nasional dua kali lipat dalam setahun, karena unsur fruktose dan glukose pada tebu — yang biasanya terbuang hanya menjadi molases dan berharga murah — bisa diambil semua, juga bisa mengembalikan para petani kembali ke ladang tebu. Mereka tak perlu memroduksi gulu tumbu hanya untuk bahan kecap, tetapi gula semut dan cair untuk bahan roti pengganti karamel, brownis, dan gula pasir, termasuk kelak alkohol dan bio etanol dari tebu.
Saya sebulan ini intens bertemu penemu itu. Namanya Joko Wiryono. Dengan bercanda saya memanggilnya “Jokowir”. Saya membaca hasil-hasil temuannya yang sebagian sudah dipatenkan. Satu di antaranya pertama di dunia untuk gula cair dengan kadar low glikemik index (LGI). Yang mengejutkan, dia juga mengembangkan gula liquid yang sudah dikondisikan unsur anti-diabetiknya, ada juga yang diekstrak menjadi cairan polyphenol pengobat sakit kanker dan diabetes.
Semua temuan itu ia dapatkan setelah melakukan riset lebih dari 10 tahun bekerjasama dengan berbagai perguruan tinggi, praktisi dan ahli tebu di Indonesia.
Menemaninya berkeliling ke berbagai pihak berpengaruh di negeri ini untuk mengenalkan produk temuannya makin membuat saya yakin, semua tercengang, ini karena ia tak pernah melihat masalah sebagai problem, tetapi tantangan dan peluang.
Minggu sore lalu kami menemui beberapa petani tebu dan produsen gula tumbu di Kudus. Mereka generasi penerus perawat warisan China dalam pembuatan gula seperti dicatat Lombard: di daerah Kudus dan Jepara terdapat ratusan penggilingan gula yang dikelola oleh masyarakat. Kepada Jokowir, mereka berharap bisa mengubah keadaan.
Langkah Pemerintah
Perlu langkah berani pemerintah untuk mengubah semua keterpurukan itu dengan memanfaatkan temuan ini. Ia akan menjawab tantangan produktifitas gula nasional dan mereduksi biaya produksi (keduanya bisa dilakukan pada pabrik skala menengah dan besar di bawah PTPN-BUMN), peningkatan kesejahteraan petani dan pengusaha gula kelas UMKM, pengembangan diversifikasi produk, bahkan penanganan penyakit akibat gula.
Saatnya menutup lubang “tumbu” yang lama menganga dan mengembalikan gula agar bisa kembali manis rasanya. (Hasan Aoni)